[ONESHOOT] Daddy’s Little Girl

[ONESHOOT] Daddy’s Little Girl

Author: Hyunnie2311 // Main Cast: Super Junior Sungmin, Lee Min Ji (OC) // Support Cast: Lee Sung Jin, Choi Hyun Ki (OC), Lee Min Young (OC) // Rating: T // Genre: Family // Length: Oneshoot // Disclaimer: Super Junior Sungmin and Lee Sung Jin belong to God and their parent, and the others belong to me.

*

Pria itu melangkah mantap melewati gerbang depan camp pelatihan militer yang berada di pinggir kota Seoul. Hari yang paling dinantikannya telah datang, dimana ia akan kembali bertemu dan berkumpul dengan keluarga kecilnya. Lee Sungmin, pria itu, telah kembali dari masa pengabdiannya terhadap negara. Ia kembali dengan sosok yang baru, lebih kuat dan semakin dewasa.

Sesuai dugaan, puluhan bahkan ratusan penggemar grupnya, Super Junior, telah memadati kawasan depan camp. Semua berteriak histeris ketika ia menunjukkan dirinya ke hadapan publik dalam balutan seragam militer beserta topi yang menutupi kepalanya. Mereka –para penggemar –telah siap dengan banner yang dibawa sembari memanggil-manggil namanya, berteriak, menangis, dan tersenyum menyambut kembalinya Sungmin. Ia terharu, penggemarnya masih setia menunggu dirinya kembali. Sebagai rasa terima kasih, ia membungkukkan badan sembilan puluh derajat, kemudian dilanjutkan dengan sikap hormat.

Tak hanya para penggemar, ia juga disambut oleh beberapa anggota grupnya, baik yang telah menyelesaikan wajib militer ataupun belum melaksanakan. Namun kehadiran penggemar juga kerabat dekatnya tak akan lengkap apabila keluarganya tak ada. Disaat bercengkrama singkat dengan anggota Super Junior, matanya sesekali menyusuri kawasan camp, mencari keberadaan keluarga besarnya, terutama istri dan kedua anaknya. Sungmin sungguh tak sabar untuk melihat istri, gadis kecil, juga bayi cantiknya yang baru lahir dua tahun yang lalu.

“Kau pasti mencari Hyunnie, ‘kan?” Ucapan Leeteuk sontak membuat Sungmin menoleh cepat dan segera mengangguk.

“Dia baru sampai dan masih ada di mobil bersama Sung Jin dan kedua orangtuamu, tunggulah sebentar.” Sang leader menunjuk sebuah mobil mewah yang terparkir tidak jauh dari tempatnya berdiri. Di dalam mobil berwarna hitam dengan kaca mobil yang tak kalah hitam tersebut, ada istri beserta anak-anaknya.

Jantungnya sontak berdebar saat melihat pintu belakang mobil dibuka. Sungmin mendesah pelan saat melihat kedua orangtuanya keluar dari dalam mobil bersama dengan adik semata wayangnya. Bukannya ia tidak senang melihat kehadiran keluarganya di sini, hanya saja ia lebih menantikan munculnya keluarga kecil miliknya sendiri. Keluarga dimana ia telah menjadi kepala keluarga untuk istri dan anak-anaknya.

Desahan berganti menjadi senyum bahagia. Sesosok gadis kecil keluar dari dalam mobil, dibantu oleh adiknya, Lee Sung Jin. Lee Sung Jin mengangkat tubuh gadis tersebut dengan mudah dan menggendongnya. Gadis yang digendong Sung Jin, siapa lagi kalau bukan anak tertuanya yang masih berusia empat tahun. Lee Min Young.

Tak berselang waktu lama, wanita tersayang yang paling ia tunggu mulai menampakkan diri dari dalam mobil. Dengan sangat hati-hati, wanita itu memijakkan kakinya di atas tanah sambil menggendong seorang gadis yang jauh lebih kecil dari Min Young.

Hatinya meletup-letup bahagia. Melihat ketiga anggota keluarganya datang untuk menyambut dirinya kembali kedalam hangat keluarga. Tak menyesal ia tak pernah mengambil cuti –kecuali saat istrinya melahirkan –agar dapat kembali dengan tepat waktu.

Bibirnya melengkung senyum. Entah sudah berapa lama ia tak pernah melihat paras cantik juga senyum manis milik istrinya. Terakhir kali ia melihat Hyun Ki –istri Sungmin –saat istri juga kedua anaknya datang menjenguknya di camp militer dan hanya sebentar.

“Oppa…” Hyun Ki tersenyum melihat sosoknya yang kini persis di hadapannya. Sungmin sudah tak tahan, ia pun segera memeluk wanita itu beserta Lee Min Ji, bayi cantiknya yang berada di gendongan Hyun Ki. Rasanya ia ingin menangis sekarang juga. Menangis bahagia.

“Appa…” Panggilan kecil dari Min Young membuat Sungmin merenggangkan pelukkan dan beralih pada gadis kecilnya. Sungmin mengambil Min Young dari Sung Jin dan memeluknya lembut.

“Young-ah~ Appa rindu sekali padamu. Kau tetap menjaga Eomma dan adikmu selama Appa tidak ada, bukan?” Tanya Sungmin lembut khas seorang Ayah. Min Young mengangguk polos. Menggemaskan.

“Gadis kecil Appa yang satu ini memang sangat hebat!” Sungmin mencubit pipi tembam Min Young yang dibalas dengan tawa kecil darinya.

“Nah, bagaimana dengan anak Appa yang satu lagi?” Sungmin melirik kearah Min Ji yang sibuk dengan boneka Pororo yang dipeluknya. Sungmin menurunkan Min Young kebawah dan kini memusatkan perhatian pada Min Ji.

“Min Ji-ya~ kau tak mau menyambut Appa, hm?” Sungmin bertanya pada Min Ji namun tak digubris.

“Hei~ ini Appa, Sayang!” Pria itu menyentuh pipi Min Ji dengan salah satu jarinya. Sungmin sempat tersenyum ketika Min Ji berpaling padanya, tapi seketika senyumnya memudar saat si kecil kembali memperhatikan bonekanya. Apakah Pororo jauh lebih berarti daripada ayahnya sendiri? Oh, astaga. Tidak mungkin.

“Min Ji-ya~ jangan seperti ini. Dia Appamu.” Kini Hyun Ki mulai angkat bicara. Hasilnya tetap sama, Min Ji tak merespon.

Setelah berdiam cukup lama, Min Ji mulai mengangkat wajahnya. Sontak Hyun Ki dan Sungmin mulai berseri-seri saat bayi cantik mereka melayangkan pandangan kearah Sungmin. Mengamati pria itu sejenak. Sungmin telah merentangkan tangannya, siap mengendong tubuh gendut milik Min Ji.

Tiba-tiba ia merasa seperti tersambar halilintar di siang yang panas hari ini. Min Ji mengangkat kedua tangan mungilnya dan mencoba menggapai Sung Jin yang berdiri tak jauh darinya. Lebih mencengangkan lagi, Min Ji memanggil adiknya dengan sebutan Appa.

Dia seperti dihujani salju pada musim panas ini. Tubuhnya membeku seketika. Melihat putri bungsunya memanggil ‘Appa’ di depan dirinya pada orang lain yang jelas-jelas bukan Appa-nya. Min Ji adalah anak Lee Sungmin. Bukan Lee Sung Jin.

Dia, Lee Sungmin. Seorang Appa yang tidak mendapat pengakuan dari anaknya sendiri.

*

Berbagai macam cara telah ia lakukan. Mulai dari membeli banyak mainan, mengajak jalan-jalan, sampai bertingkah seperti orang bodoh agar bisa menarik perhatian Min Ji. Namun hasilnya nihil, Min Ji masih menolak kehadirannya sebagai seorang Appa dan menganggapnya sebagai orang asing.

Sungmin merutuki dirinya sendiri. Kalau begitu dari awal dia sering mengambil cuti agar bisa menghabiskan waktu dengan anak-anaknya, terutama Min Ji.

Dan ini semua salah Sung Jin. Ia baru mendengar dari Hyun Ki jika Sung Jin mengajari Min Ji untuk memanggil dirinya Appa. Karena itulah wajah Sung Jin terekam jelas di otak anak bungsunya sebagai Appa-nya. Bukan Sungmin. Dasar sial!

Kini tenaganya sudah mencapai titik akhir. Tenaganya terkuras habis setelah beberapa jam menarik perhatian Min Ji yang hanya dihadiahi dengan putaran badan dari Min Ji. Sungmin menunduk frustasi. Anak ini benar-benar duplikat istrinya. Keras kepala. Bahkan dari kecilpun sudah terlihat. Bagaimana saat ia tumbuh besar nanti? Seratus perses Sungmin yakin, Min Ji akan menjadi Hyun Ki kedua yang membuatnya stress tak berujung.

Sungmin menidurkan tubuhnya di atas lantai rumah yang dingin. Kepalanya dihadapkan pada Min Ji yang sedang mengoceh tak jelas pada boneka Pororo favoritnya. Wajah Sungmin terlihat putus asa melihat raut wajah Min Ji yang tak menghiraukan kehadirannya.

“Min Ji-ya~ ini Appa…Masa kau tidak mengenali Appa…” gumamnya lirih.

Lagi-lagi Min Ji membelakanginya. Rasanya ia ingin berteriak, mengumpat, dan apapun yang bisa ia lakukan sekarang. Sung Jin benar-benar cari masalah dengannya. Besok-besok, ia tak akan membiarkan Sung Jin datang kerumahnya, bahkan melewati pagarnya sekalipun. Kalau perlu ia siapkan sebuah papan kecil bertuliskan ‘LEE SUNG JIN DILARANG MASUK’.

“Min Ji-ya! Appa akan membelikanmu boneka Pororo yang jauh lebih besar dan bagus daripada boneka ini asal kau memanggilku Appa. Ya?” Sungmin mengambil boneka Pororo yang ada di tangan Min Ji. Wajahnya penuh harap saat Min Ji memandangnya sejenak. Ia sungguh berharap jika gadis kecilnya mengerti dan langsung memanggilnya Appa.

Tapi ia salah. Bukannya mengerti, justru malah menangis. Gadis kecilnya menangis hebat dan memanggil-manggil Eomma-nya.

“Oh! Maafkan Appa, ini bonekamu! Cup…cup…anak Appa tidak boleh menangis!” Sungmin mulai panik. Ia segera memangku tubuh Min Ji dan menenangkannya.

“Ya! Kau apakan Min Ji, hah!?” Dengan apron yang masih melekat sempurna di tubuh rampingnya, Hyun Ki berjalan menghampiri keduanya dengan jengah.

“A-aku hanya bilang padanya untuk memanggilku Appa…”

“Kau ini bodoh atau apa, sih!? Anak kecil tak bisa dipaksa, harus pakai cara yang lembut dan butuh waktu! Dasar bodoh!” Hyun Ki memukul lengan kekarnya dengan keras lalu mengambil Min Ji dari Sungmin.

“Aduh! Sakit!”

“Kalau kau seperti ini lagi, tak ada jatah makan malam untukmu!” Ancaman keras dari istrinya membuat harga diri Sungmin semakin jatuh sebagai kepala keluarga. Sosoknya sebagai kepala keluarga kini tergantikan dengan istrinya sendiri. Diibaratkan dengan pangkat militer, Hyun Ki seperti jenderal besar dan Sungmin hanya sebagai anak buahnya.

“Annyeong! Apa yang terjadi di sini? Kenapa suasana mencekam sekali?” Sung Jin yang baru saja datang langsung mencium hawa tidak menyenangkan di dalam rumah milik kakak lelakinya. Aura mengerikan milik Hyun Ki dan aura suram milik Sungmin bergumul dalam satu ruangan, bercampur satu sama lain membuat suasana rumah tidak secerah biasanya.

“Ada apa di sini? Kalian tak ada yang menjawab pertanyaanku?”

Tak ada satupun diantara mereka yang menjawab pertanyaan Sung Jin. Sungmin masih menundukkan kepala suram di lantai, sedangkan Hyun Ki tengah menimang Min Ji hingga tangis mereda.

“Apakah Min Ji baru saja menangis?” Mendengar suara berat milik Sung Jin, sontak membuat Min Ji menegakkan kepalanya dan melihat kearah Sung Jin.

“Appa…”

Gumaman kecil Min Ji kembali membuat Sungmin dihujani salju di musim panas. Bukan hujan salju lagi namanya, melainkan badai salju. Oh, astaga. Tidak ada refleksi dirinya sekalipun dimata Min Ji. Bukan dirinyalah yang bersanding dengan Hyun Ki di dalam mata anak bungsunya, melainkan Sung Jin yang bersanding dengan istrinya sendiri.

Sementara itu, Sung Jin menegak air liurnya dengan susah payah. Ia bergidik ketika Min Ji memanggilnya Appa di depan Sungmin. Sung Jin memutar kepalanya pelan, melirik singkat pada Sungmin. Matilah dia.

Kilatan emosi nampak jelas dari mata kakak lelakinya. Tangannya terkepal, bersiap-siap untuk melayangkan satu pukulan kearah Sung Jin. Peluh keringat semakin banyak keluar dari pori-porinya, bukan karena kepanasan tapi karena ketakutan. Plastik buah yang ia bawa segera ditaruh asal di atas sofa.

“Se-sepertinya aku harus pergi. Hyunnie-ya! Aku pulang!!”

*

“Hyunnie-ya, apa yang harus kulakukan agar Min Ji menganggapku sebagai Appa?”

Hyun Ki menoleh kearah kasur, tepat dimana Sungmin menunduk putus asa. Pria itu semakin terlihat frustasi karena sifat keras kepala anak bungsunya sendiri. Sudah lebih dari seminggu, tak ada tanda-tanda berarti Min Ji akan mengenalinya sebagai seorang ayah. Anak bungsunya masih menganggapnya sebagai orang asing. Ia mencari sosok ‘Appa’ yang paling ia kenal, yang tak lain adalah adiknya.

“Aku juga sudah berusaha agar dia tidak menganggap Sung Jin Oppa sebagai Appa-nya lagi. Tapi kau tahu sendiri, anakmu itu sungguh keras kepala.” Ujar Hyun Ki sembari mengoleskan krim malam pada wajahnya.

“Kau pikir siapa yang menuruni sifat keras kepala itu, hah? Dia sangat mirip denganmu!”

“Memang!” Hyun Ki terkekeh.

Sungmin merebahkan tubuh lelahnya di atas kasur. Menggunakan kedua tangan sebagai bantalan empuk yang menopang kepalanya. Matanya menerawang kearah langit-langit kamar, berpikir keras. “Cara apalagi yang harus kita lakukan?”

“Entahlah. Sudah banyak cara kita lakukan tapi tak ada yang berhasil. Yah, nikmati saja hidupmu yang tak dapat pengakuan dari anakmu sendiri.”

“Ya!”

*

Sungmin rasanya ingin menangis bahagia sekarang juga. Ia baru saja dapat kabar dari Hyun Ki jika Sung Jin meyakinkan Min Ji bahwa ia bukanlah Appa-nya. Berawal dari Min Ji yang terus memanggilnya Appa di rumah, dan Sung Jin semakin jengah dengan tingkah laku Min Ji. Sung Jin menentangnya keras saat Min Ji memanggilnya Appa hingga menangis keras. Pada akhirnya, Min Ji tak mau digendong oleh adiknya dan memilih bersama Hyun Ki. Karena kerepotan, Hyun Ki menyuruhnya untuk segera pulang dan membantunya.

Inilah kesempatan besar baginya untuk menempatkan diri sebagai sosok Appa di dalam diri Min Ji. Ia akan mendapat pengakuan dari anaknya sendiri. Buru-buru ia merapihkan berkas kerja yang berserakan di atas meja kebesaran miliknya. Hari-hari awal ia bekerja di perusahaan ayahnya, sama sekali tidak berjalan lancar karena pikiran terbagi dua. Antara pekerjaan dan Min Ji. Dan hari ini ia seperti mendapat pencerahan.

Sungmin harus pulang. Lee Min Ji menunggu dirinya. Sambil menyilangkan kedua jari, ia segera melesat pergi ke arah lift.

*

Sampai Sungmin menginjakkan kaki di rumah mewahnya, Min Ji tak kunjung berhenti menangis di gendongan Hyun Ki. Rumah berantakan, bau gosong tercium dari dapur, dan Min Ji terus menangis. Pikiran Hyun Ki sungguh kacau, kebingungan apa yang harus ia lakukan sekarang.

“Aku pulang!” Tanpa membuka sepatu terlebih dahulu, Sungmin langsung masuk kedalam rumah.

“Oppa! Bantu aku!” Hyun Ki meringis.

“Sini, biar aku saja yang menjaga Min Ji.” Sungmin mengambil alih Min Ji dari gendongan istrinya. Layaknya seorang ahli dalam merawat anak, Sungmin menimang-nimangnya dengan lembut sambil menggumamkan kata, ‘berhentilah menangis, Sayang’.

Dalam keadaan masih menangis hebat, Sungmin mengangkat ke udara. Ditatapnya kedua mata mungil yang basah karena air mata. Pria itu tersenyum hangat.

“Appa tidak pernah mempunyai anak yang cengeng. Berhentilah menangis, Sayang. Appa di sini ada untuk Min Ji.”

Ajaib, kata-kata yang terlontar dari mulut Sungmin seakan membius Min Ji. Tangisan Min Ji mulai mereda, dan matanya yang sipit kemudian setengah terbuka memandang kearah ayahnya. Masih terdengar sesenggukan, namun jauh lebih baik.

Sungmin membawanya kearah sofa. Sungmin memeluknya lembut sembari mengusap-usap puncak kepalanya penuh sayang. Berhubung Min Ji sangat mewarisi sifat Hyun Ki, Sungmin melakukan hal-hal yang paling disukai istrinya tersebut. Mulai dari usapan kepala, usapan punggung, hingga ciuman kecil di kedua pipi. Usahanya tepat, semakin lama isakan Min Ji semakin berkurang dan pada akhirnya berhenti.

Hatinya meletup-letup bahagia ketika merasakan sentuhan kecil dari kedua tangan Min Ji yang memeluk lehernya. Kedua tangan mungil anaknya melingkar di leher, dengan kepala yang ditidurkan di atas bahu Sungmin. Apa yang paling membuat seorang ayah bahagia selain diterima oleh anaknya? Tidak ada. Tidak ada hal lain yang membuat Sungmin bahagia selain mendapat pengakuan dari anaknya sendiri untuk saat ini.

Semakin lama, Min Ji semakin menggeliat. Gadis kecil itu semakin tak bisa diam di dalam pelukkan Sungmin. “ Ada apa, Sayang?”

Min Ji melepaskan diri dari pelukan dan mencoba untuk berdiri tegak sambil bertopang tangan pada lengan Sungmin. Untuk pertama kali, Min Ji menatap kedua matanya dalam waktu yang lama. Tatapan polos milik Min Ji sungguh menghipnotisnya. Menggemaskan. Bagaimana bisa ia memiliki dua putri cantik seperti Min Young dan Min Ji? Apalagi Min Ji yang benar-benar identik seperti wanita tercintanya.

“Min Ji-ya, Appa tidak akan pernah membuatmu menangis seperti ini…” ucap Sungmin lembut.

“Appa…” Tubuhnya mulai melemas ketika mendengar kata ‘Appa’ yang keluar dari bibir mungil putrinya. Ia tidak salah dengar bukan? Min Ji sudah memanggilnya Appa bukan?

“Min Ji-ya, kau memanggilku ‘Appa’?” Sungmin bertanya, sekadar meyakinkan jika ia tak salah dengar.

“Appa…” Sungmin tersenyum bahagia. Saking bahagianya, ia langsung menggendong Min Ji kembali dan melesat kearah dapur. Memberitahukan kabar bahagia ini pada sang istri.

“Hyunnie-ya!! Min Ji memanggilku Appa!!”

*

[DRABBLE] Chansung – Hyun Ki : A Gift For You (White Day)

[DRABBLE] Chansung – Hyun Ki : A Gift for You (White Day)

Main Cast :

Choi Hyun Ki (OC)

2PM Chansung as Hwang Chansung

Disclaimer :

2PM Chansung and Super Junior Sungmin belong to Gods, their parent, and their managements, but Choi Hyun Ki belongs to me

*

Chansung mencoret angka 12 yang tertera di kalendar mejanya. Dua hari lagi adalah tanggal 14 Maret yang artinya White Day akan segera datang. Sampai sekarang ia masih belum bisa memutuskan hadiah apa yang harus ia berikan pada gadis tersebut. Pria itu tahu persis apa kesukaannya dan apa yang menjadi favoritnya, hanya ia terlalu bingung untuk memutuskan hadiah apa yang cocok.

Bukan itu saja. Bukan hanya karena banyaknya hal kesukaan yang dimiliki oleh sang gadis, tapi juga karena gadis itu telah memiliki seorang kekasih. Entahlah, apakah ia masih pantas memberikan hadiah untuk sang gadis sebagai balasan dan tanda kasih sayang di White Day nanti? Lagipula, sebagus dan semahal apapun yang diberinya, tak akan menjadi jauh lebih penting dari yang diberi oleh kekasih sang gadis.

Oh, ayolah. Chansung hanya memberikan hadiah pada gadis itu sebagai balasan karena Choi Hyun Ki –gadis itu –telah menghadiahkan sebuah coklat saat hari Valentine. Bukan coklat sebagai tanda cinta yang seperti diharapkannya, sih. Hanya sebagai tanda kasih sayang dari ‘adik’ ke ‘kakak’. Tidak lebih. Walaupun coklat miliknya jauh lebih berbeda dari coklat biasa yang yang diberikan oleh gadis itu pada teman-teman prianya yang lain. Tapi jika dibandingkan dengan coklat milik kekasihnya, jauh berada di bawah.

Sudah menjelang tengah malam, tapi Chansung masih termenung di meja belajar. Masih berpikir keras apa yang harus ia berikan pada Hyun Ki. Berulang kali Chansung merampung daftar hal yang paling disukai Hyun Ki di dalam otaknya, namun tak kunjung mendapatkan hadiah yang pas.

Gadis itu menyukai musik, menyukai es krim rasa vanilla, menyukai rilakkuma, menyukai fotografi, menyukai novel terjemahan, menyukai mawar putih, menyukai…oh, astaga! Hanya memikirkan sebuah hadiah saja, otaknya ingin pecah.

Setengah jam terus berpikir dan tiba-tiba ia menemukan titik terang. Apa ia memberikan ‘itu’ saja? Baiklah.

*

March, 14th

16.00 KST

Chansung memarkirkan mobilnya tak jauh dari rumah Hyun Ki. Pria itu tersenyum dengan wajah berseri-seri seraya melayangkan pandangan pada hadiah kecil berwarna biru laut dengan pita putih yang ada di jok sebelahnya. Bingkisan sederhana yang ia tujukan pada Hyun Ki, semoga gadis itu menyukai hadiahnya.

Sambil tersenyum, ia keluar dari mobilnya dengan hadiah di tangannya. Chansung melangkah ringan, menyusuri jalanan setapak menuju rumah Hyun Ki yang hanya terpaut beberapa meter dari parkiran mobilnya.

Senyumnya semakin mengembang ketika ia melihat sosok Hyun Ki tengah berkutat dengan kamera SLR-nya di teras depan rumah. Sendirian. Kebetulan sekali. Tinggal sedikit lagi ia akan sampai di depan pagar dan menemui Hyun Ki. Tangannya semakin kuat memegang kotak hadiahnya. Jantungnya semakin berdebar-debar karena sebentar lagi ia akan memberikan hadiah tersebut pada gadis yang masih melekat di hatinya. Langkahnya makin tak sabaran ingin segera masuk kedalam rumah Hyun Ki dan melihat respon gadis tersebut ketika menerima hadiahnya.

Namun, langkahnya berhenti mendadak saat sosok pria familiar keluar dari dalam rumah dengan membawa sebuah kotak kecil dan sebuket mawar untuk sang gadis. Lee Sungmin. Siapa lagi. Hallyu star tersebut ternyata datang jauh lebih awal dan memberikan hadiah yang sepertinya jauh lebih berharga dari yang Chansung berikan. Ditambah lagi dengan sebuket mawar putih kesukaan Hyun Ki.

Chansung mengintip momen sepasang kekasih tersebut dari balik pagar yang hampir dibukanya semula. Hyun Ki membuka kotak kecil yang diberikan Sungmin dengan kilatan mata yang cerah dan antusias. Sungmin memberinya sebuah kalung dengan liontin berbentuk kupu-kupu untuk gadisnya. Gadis itu terlihat sangat bahagia ketika Sungmin memasangkannya pada lehernya. Dan gadis itu memeluk prianya dengan sangat erat.

Lantas apa yang harus Chansung lakukan dengan hadiah yang dipegangnya ini? Hyun Ki pasti tak akan menerimanya. Hadiahnya jauh tidak ada apa-apanya dengan hadiah dari Sungmin. Lebih baik pulang saja daripada harus menanggung malu ketika membandingkan hadiahnya dengan hadiah Sungmin.

“Chansung Oppa!!” Chansung membalikkan badannya ketika suara gadis itu terdengar memanggil namanya.

Dengan canggung, Chansung terpaksa menyambut sapaannya. “Oh, Hyunnie…A-annyeong…”

“Oppa, ada apa?  Aku melihatmu baru saja mau masuk kedalam rumahku tapi pulang lagi. Ada apa?” tanya Hyun Ki.

Chansung menyembunyikan hadiahnya di balik punggung, tak ingin gadis itu melihat hadiah yang seharusnya menjadi miliknya. Chansung semakin merasa malu dan semakin tak ingin memperlihatkan hadiahnya begitu melihat kalung yang terpasang di leher jenjang Hyun Ki.

“Ah, tidak…tadinya aku mau menyapamu, tapi kulihat ada Sungmin Hyung di rumahmu. Karena takut mengganggu, jadi aku pulang saja…”

“Aish! Kenapa kau jadi seperti ini, Oppa? Jangan merasa tidak enak padaku dan Sungmin Oppa. Ayolah, kita minum teh bersama dirumahku. Sungmin Oppa menunggumu!”

“Ah, tidak usah! Aku pulang saja!”

“Oppaa~~ ayolah!!” Hadiah yang ia sembunyikan dibalik punggung tiba-tiba terjatuh kebawah saat Hyun Ki menarik tangannya paksa. Hyun Ki terkejut dan segera mengambil kotak tersebut.

“Oppa! Mianhae, aku tak sengaja!!” Hyun Ki membersihkan debu-debu kotor yang menempel pada kertas biru laut yang membungkus hadiahnya. Sejenak gadis itu terdiam, memperhatikan kotak hadiah tersebut yang sudah mulai rusak karena keras menghantam aspal jalanan. Hyun Ki menggoyang-goyangkan hadiah tersebut dan mendengar suara dentumam yang berasal dari dalam kotak. Penasaran.

“Oppa, ini hadiah buat siapa?”

Chansung menghela napas. “Sebenarnya…ini untukmu. Tapi tidak jadi, kupikir kau tidak akan suka…”

“Tidak suka? Chansung Oppa, apa yang kau katakan, eh? Siapa yang tidak suka hadiah? Hanya orang bodoh yang tidak menyukai hadiah!” Hyun Ki memajukkan bibirnya. Kenapa pria di hadapannya ini optimis sekali jika ia tidak suka hadiahnya.

“Hadiahku tidak ada apa-apanya dibandingkan dari Sungmin Hyung. Jadi kembalikan padaku! Ini untuk adikku saja!” Hyun Ki langsung menyembunyikan kotaknya di belakang punggung. Ia tak mau Chansung mengambil kembali apa yang harus menjadi miliknya. Hadiah itu sudah jatuh ditangannya dan tak bisa diambil lagi.

“Ini punyaku! Kau tak boleh mengambilnya!” tolak Hyun Ki.

“Aish! Terserah kau saja!” Sambil tersenyum, Hyun Ki membuka bungkus hadiah tersebut dan membuka kotak yang ada di dalamnya. Senyum gadis itu semakin mengembang ketika menemukan sebuah kotak musik klasik di dalam. Hyun Ki membuka kotak musik tersebut dan mendapati patung kecil penari balet berputar-putar ketika musiknya mulai bermain.

“Kau bilang aku tak suka hadiahmu ini? Astaga! Oppa, aku suka sekali!! Gomawo!!” Chansung tak menyangka Hyun Ki akan menyukai hadiahnya itu. Gadis itu tersenyum tak kalah bahagia saat mendapat hadiah dari kekasihnya. Tubuhnya terasa terhempas ringan keatas saat Hyun Ki berkata jika ia menyukai hadiahnya.

“Happy White Day, Hyunnie…”

“Happy White Day too, Oppa. Terima kasih banyak untuk hadiahnya. Aku sangat menyukai hadiahmu. Aku akan memajangnya di meja belajarku!”

Chansung tersenyum. “Terserah kau saja kau mau menaruhnya dimana. Kau mau menerimanya saja aku sudah senang.”

Dengan memamerkan rangkaian gigi putih miliknya, Hyun Ki mengalungkan tangannya di lengan Chansung dan menarik pria itu menuju rumahnya.

“Jadi, kau akan ikut minum teh bersama hari ini, ‘kan?”

“Yah, asalkan Sungmin Hyung tak meninjuku wajahku karena mengganggu waktu kalian berdua.”

“Akan kutinju balik dia. Kajja!”

*

 Alay gak sih ini drabble? -_____-

Gak tau deh ya kenapa chansung tuh menderita banget di cerita saya. One-side-loved banget dia hahaha

Jiwa virchara saya yang paling kece ini tiba-tiba bangkit lagi dan pengen nulis soal tiga manusia itu lagi wkks

Dan karena waktunya masih gak jauh-jauh dari white jadi saya bikin drabble ini dengan tema white day yang lagi-lagi menyengsarakan chansung, bikin dia gigit jari liat orang pacaran (?)

Oiya mian Sungmin cuma numpang nama doang aja disini, soalnya memang lebih cerita ke Hyunnie sama chansung :3

So happy reading and Happy White Day everyone!

-With love-

@hyunnie2311

Sung-Ki Moment : Cosmo Clock 21

Sung-Ki Moment : Cosmo Clock 21

 

Set time : During Super Show 3 Japan

 

Yokohama

18.00 JST

 

Hyunnie2311 : Hae Mi-yaa, aku sudah sampai di Yokohama, kalau Appa atau Eomma meneleponmu, bilang saja aku menginap di rumahmu dan sudah tidur~

 

Haemi29 : Mwoya…aku tidak bisa berbohong dengan orangtua, kenapa kau tidak bilang saja sendiri pada orangtuamu kalau kau pergi ke Jepang, jangan merepotkanku…

 

Hyunnie2311: sigh, kau tahu sendiri mereka sudah melarangku untuk pergi karena indeks prestasiku semester kemarin jelek, pokoknya bilang saja seperti yang sudah kukatakan tadi, akan kubawakan oleh-oleh dari sini! Annyeong~^^

 

Gadis berkuncir kuda itu menghela napas lega, setelah urusan mengenai izin orangtuanya selesai dan akan ditangani oleh Hae Mi, sahabatnya. Memang Hae Mi belum berkata jika ia menyetujuinya, tapi Hae Mi bukanlah orang yang mudah menolak apalagi jika yang meminta adalah Hyun Ki, gadis itu. Memang paling menyenangkan punya sahabat seperti Lee Hae Mi. Bukan. Bukan karena mudah dimanfaatkan, Hyun Ki bukan tipe orang yang memanfaatkan sahabatnya sendiri. Tapi karena Hae Mi benar-benar orang yang baik dan sangat bisa dipercaya olehnya.

 

Hyun Ki sudah sampai di depan Yokohama Arena setelah menempuh perjalanan memakai taksi dari bandara. Ia memandang banner super besar yang terpasang di depan gedung tersebut. Super Show 3 in Japan. Hari ini adalah hari pertama Super Show 3 berlangsung di dalam Yokohama Arena dan tinggal dua jam sebelum konser dimulai.

 

Gadis itu telah menggenggam selembar tiket Super Show 3, VIP class dengan tempat duduk barisan depan. Ia mendapatkan tiketnya langsung dari Sungmin. Pria itu menyuruhnya untuk menonton Super Show di Jepang dan sempat meminta izin pada orangtuanya. Sialnya, karena indeks prestasinya yang jelek membuat Hyun Ki dilarang keras untuk pergi ke Jepang. Dan seperti inilah keadaannya sekarang. Hanya bermodal paspor, kartu kredit dan satu tas ransel yang dibawa, Hyun Ki diam-diam pergi ke Jepang. Tak lupa meminta Hae Mi untuk membantunya berbohong sedikit pada orangtuanya.

 

Begitu sampai di Korea nanti ia harus berterima kasih sekali pada Hae Mi.

 

Ia memandangi tiket VIP yang masih berada ditangannya. Hyun Ki ingin sekali masuk kedalam, namun entah kenapa gairahnya untuk menonton tiba-tiba hilang begitu saja. Ia ingin masuk kedalam, duduk di bangku paling depan, menonton dengan gembira dan terus menyemangati para member Super Junior yang tampil di atas panggung mengerahkan seluruh kemampuan yang mereka miliki untuk menghibur para penggemarnya. Apalagi Sungmin yang memintanya untuk datang dan menonton. Bukankah ia datang kesini diam-diam tanpa sepengetahuan orang tuanya demi Sungmin? Kenapa niatnya menjadi berubah.

 

Hyun Ki jadi mengurungkan niatnya untuk masuk kedalam Yokohama Arena. Tiba-tiba ia ingin sekali berkeliling Yokohama sendirian. Kapan lagi ia bisa travelling sendiri menyusuri daerah Yokohama tanpa ada yang melarangnya? Hanya malam ini saja ia dapat merasakannya walaupun dalam waktu singkat. Kesempatan langka bagi seorang putri bungsu keluarga Choi ini untuk travelling keluar negeri tanpa ada pengawasan dari orangtua. Tapi apa yang harus ia lakukan dengan tiket ini?

 

Hyun Ki mendapati seorang gadis SMA berdiri tak jauh darinya. Dengan memegang sebuah majalah bercover Super Junior, gadis itu menghela napas memandangi bangunan kokoh Yokohama Arena dan kemudian ia berbalik dan berjalan menjauh menuju halte bus. Apakah gadis muda itu tak menonton Super Show? Seketika Hyun Ki teringat pada tiket miliknya yang tak ingin dipakai. Kalau ia memberikannya pada gadis itu, tiketnya tak akan jadi sia-sia. Lagipula Hyun Ki akan merasa senang jika apapun yang dilakukannya akan membuat orang-orang bahagia, termasuk orang yang baru ditemuinya.

 

“Excuse me! Hey!” Hyun Ki berlari kecil mendekati gadis yang ia maksud. Hyun Ki berdiri di depannya dengan napas terengah-engah, sedangkan gadis itu hanya memandanginya dengan tatapan aneh karena ada orang asing yang memanggil.

 

“Uhm, can you speak English?” Hyun Ki mengajaknya bicara dengan memakai bahasa Inggris walaupun sedikit agak ragu. Orang-orang Jepang memiliki karakter yang tak jauh beda dengan Korea, sangat menjunjung nilai nasionalisme, hingga tak banyak orang yang belajar bahasa asing karena rasa cintanya pada bahasa negaranya sendiri. Aish, kalau saja dulu ia meminta Sungmin untuk mengajarinya bahasa Jepang, ia tak akan mengalami kendala untuk berkomunikasi dengan gadis itu jika seandainya ia tak bisa berbahasa Inggris.

 

“A bit…Can I help you, Miss? Hyun Ki bernapas lega. Walaupun sedikit, setidaknya Hyun Ki yakin gadis ini akan mengerti apa yang ia bicarakan.

 

“Uhm, do you want to watch Super Show 3?” Tanya Hyun Ki secara langsung. Gadis itu mengangkat kedua alisnya sejenak, lalu kembali berwajah murung. Ia menghela napas sambil memeluk majalah Super Junior-nya di depan dada.

 

“I want to watch them, but I don’t have much money to buy a ticket and Mother doesn’t allow me to watch Super Show. So…yeah, I’m just standing here without enter the venue. I’m so envy with anyone who can watch. Hyun Ki tersenyum mendengar pengakuan sang gadis yang masih memasang wajah sedih dihadapannya ini. Tiketnya memang akan lebih berguna jika ia memberikannya pada gadis muda ini.

 

Hyun Ki menarik salah satu tangan sang gadis lalu menaruh tiket Super Show miliknya di atas telapak tangan gadis tersebut. Mata sipit gadis itu membulat ketika selembar tiket Super Show berada ditangannya. Ia menatap Hyun Ki tak percaya. Bagaimana bisa seorang gadis korea yang baru ia temui memberikan selembar tiket Super Show untuknya secara cuma-cuma?

 

“You can use my ticket. I already watched it in Korea. This is VIP class, in front of the stage. Take it.”

 

Gadis Jepang itu masih tak percaya. Ia yakin jika Hyun Ki hanya ingin bermain-main dengannya. Tiket VIP, tempat duduk terdepan. Mana mungkin ada orang yang memberi tiket paling mahal itu pada orang lain, apalagi orang asing. “You lie, right?”

 

“No, I’m not lie to you. I think this ticket will be more useful if I give it to you. I just want to go around Yokohama this night before go back to Korea. Go to venue now! Have fun!” Gadis itu tersenyum dan langsung memeluk Hyun Ki dengan erat.

 

“Thank you so much…uhm what’s your name?”

 

“You can call me Hyun Ki, Choi Hyun Ki! Bye! See you next time!” Hyun Ki berbalik badan dan melambaikan tangan padanya.

 

Gadis Jepang itu masih terpaku dengan kepergian Hyun Ki yang semakin menjauh dari penglihatannya. Gadis Korea itu benar-benar baik, batinnya.

 

Tunggu sebentar. Apakah namanya Choi Hyun Ki? Nama tersebut sangat tidak bagi seorang ELF yang sering mencari-cari berita yang terkait dengan Super Junior. Ah, iya sepertinya ia sempat melihat nama tersebut di majalah yang ia bawa ini. Dengan cepat, gadis itu membolak-balikkan halaman majalahnya, mencari nama yang tak asing itu.

 

Tepat. Nama tersebut terdapat dalam artikel berita mengenai Sungmin yang telah mempunyai kekasih. Choi Hyun Ki, adik kandung Choi Siwon dan kekasih Lee Sungmin. Benarkah gadis yang memberinya tiket tadi Choi Hyun Ki yang itu?

 

Wajahnya tak terlalu jelas karena memakai topi. Tapi siapapun Choi Hyun Ki yang ditemuinya, ia harus berterima kasih sebanyak-banyaknya. Lain kali jika mereka kembali bertemu, ia harus membawa Hyun Ki berkeliling Yokohama.

 

*

 

“Sungmin-ah!”

 

Sungmin menoleh ketika Kim Jung Hoon, manager Super Junior memanggilnya dari depan pintu ruang tunggu Super Junior. Pria yang tengah berkumpul dengan para Hyung dan Dongsaengnya itu pergi menjauh menemui Jung Hoon.

 

“Ada apa, Hyung?” tanya Sungmin.

 

“Ini untukmu dan juga yang lain.” Jung Hoon memberikannya satu bungkus besar padanya. Apa ini? Aroma lezat dan rasa hangat yang menyentuh kulitnya membuat Sungmin yakin jika isinya makanan.

 

“Dari ELF?” Jung Hoon hanya tersenyum tak menjawab.

 

“Di dalamnya ada surat, baca saja. Nanti kau tahu sendiri siapa yang memberikannya.”

 

Sembari berjalan kearah meja, Sungmin memasukkan tangannya kedalam bungkusan dan mencari-cari surat yang dimaksud oleh managernya. Ia sungguh penasaran siapa yang memberikan bungkusan besar ini padanya. Kemungkinan besar adalah fans, atau mungkin master yang memberikan ini. Ah, ia menemukannya. Secarik kertas berwarna putih yang telah dilipat rapi.

 

“Apa ini? Apakah dari fans?” Tanya Yesung penasaran dengan bungkusan besar yang ditaruh Sungmin di atas meja. Sungmin hanya mengangkat bahu sekilas lalu berjalan menuju sofa.

 

“Whoah! Bento! Daebak!” Shindong berseru kegirangan ketika ia membuka bungkusan besar tersebut dan mendapati beberapa kotak bento sesuai dengan jumlah para member Super Junior. Tak hanya Shindong, yang lain pun turut bergembira dengan adanya kiriman bento untuk mereka. Kebetulan sekali, perut mereka sudah keroncongan setelah bernyanyi, menari, dan menghibur para ELF Jepang kurang lebih tiga setengah jam.

 

Disaat yang lain mulai berebutan mengambil sekotak bento di atas meja, Sungmin malah memilih duduk di sofa sambil membuka surat yang ia dapatkan dari dalam bungkusan. Ia sungguh penasaran siapa yang mengirimi mereka bento.

 

Tunggu sebentar. Matanya melotot hanya dengan melihat pola tulisan yang ada di dalam surat. Tulisan hangul rapi dengan ukuran besar-besar disetiap hurufnya. Tulisannya sangat khas dalam pikiran Sungmin. Ia tahu siapa yang memberikan bungkusan dan menulis surat ini.

 

Aku belikan beberapa kotak bento untukmu dan yang lain. Maaf jika aku tidak  menonton  konser kalian. Aku memberikan tiketku pada anak SMA yang kutemui tadi dan aku memilih untuk berjalan-jalan saja keliling Yokohama.

Sebagai permintaan maaf, jadi kubelikan saja ini untuk kalian, semoga kalian suka!^^

 

PS: Kalau kau ingin menemuiku, aku ada di depan Yokohama Cosmo World sambil melihat Cosmo Clock 21. Kalau kau beruntung kau akan bertemu denganku.

 

Sungmin melirik arloji yang terpasang ditangannya. Hampir tengah malam. Semoga gadis itu masih berada di sana. Sungmin segera bangkit berdiri dan menyambar mantelnya yang tersampir di kursi kayu depan meja rias. Ia mengambil sekotak bento miliknya yang tersisa di atas meja lantas berlari keluar mencari Jung Hoon.

 

“Hyung, bisa antarkan aku ke Yokohama Cosmo World?”

 

*

Dengan membawa sekotak bento, Sungmin berjalan kesana kemari di sekitaran Yokohama Cosmo World mencari Hyun Ki, sang penulis surat tanpa nama. Kepalanya ditengokkan kekiri dan kanan mencari sosok gadis bertubuh kecil dalam gelap malam. Apa dia masih ada di sini? Atau sudah pergi ke hotel untuk beristirahat? Entahlah. Tapi firasatnya selalu berkecamuk, meyakinkan dirinya sendiri jika Hyun Ki masih berada di sekitar sini walaupun belum ditemukan.

 

Firasatnya benar. Ia beruntung masih mengikuti firasatnya. Sungmin merasa lega ketika kedua matanya telah menangkap sosok yang sejak tadi dicarinya tanpa henti. Sosok gadis bertubuh mungil, bermantel putih kesayangan yang paling sering dipakai dengan tas ransel biru sedang tersampir dikedua bahunya, ia berdiri tegak dengan kepala mendongak keatas. Memandang Cosmo Clock 21 yang menunjukkan pukul 11.59, satu menit sebelum waktu berganti hari.

 

“Syukurlah kau masih berada di sini…” Hyun Ki menoleh sembari menghangatkan kedua tangan dengan napasnya yang panas. Pria itu menyusulnya, bahkan jauh lebih cepat dari yang diperkirakan. Ia pikir pria itu akan datang pada dini hari dan menemukannya mati kedinginan depan Cosmo Clock 21, tapi ternyata tidak.

 

“Oppa…” Gadis itu tersenyum melihat sosok Sungmin sudah berada di depannya. Baru saja ingin memeluk tubuh kekar milih prianya, sebuah jitakan langsung mendarat di atas rambutnya yang berantakan.

 

“Dasar bocah nakal, kenapa kau bisa ada di sini? Bukankah orangtuamu melarangmu untuk pergi ke Jepang? Kau kabur? Kau ini benar-benar…” Buru-buru Hyun Ki menutup mulut Sungmin dengan kedua tangannya sebelum pria itu berbicara lebih lanjut menceramahinya yang kabur ke luar negeri tanpa sepengetahuan orangtuanya. Ia kesini untuk bertemu dengan Sungmin, melepas rindu setelah beberapa hari tak ketemu karena padatnya jadwal kerja pria itu, bukan untuk diceramahi panjang lebar.

 

“Ya!! Aku datang kesini bukan ingin diceramahi, aku datang kesini demi kau tahu!”

 

“Kalau kau datang demi aku, kenapa kau berikan tiketmu pada orang yang baru saja kau temui? Kau tahu, aku tadi terkejut ketika bangkumu diisi oleh gadis yang tak kukenal. Padahal aku mengharapkanmu yang duduk disitu…”

 

“Gadis itu lebih menginginkannya daripada aku. Aku bisa melihat kau dan yang lain setiap hari jika aku mau, tapi tidak untuknya. Jadi kuberi saja tiketku padanya. Lagipula aku ingin berkeliling Yokohama sendiri, kapan lagi aku bisa travelling sendiri di luar negeri? Kau tak marah, ‘kan? Kkk~” Hyun Ki memeluk lengan Sungmin dan menggelayut manja. Rasanya Sungmin ingin sekali kembali menjitak kepala gadis itu. Gadis itu sama sekali tak berpikir dengan nasibnya sendiri jika ia tak menemukan jalan pulang dan hilang dinegeri orang.

 

Tapi kemudian Sungmin tersenyum. Kalau tidak melakukan hal senekat apapun, bukan Hyun Ki namanya. Walaupun selalu bertindak nekat, sifatnya yang ingin membuat setiap orang bahagia membuat Hyun Ki semakin dicintai orang-orang, termasuk Sungmin.

 

“Lain kali jangan seperti ini, kau benar-benar membuatku cemas. Ngomong-ngomong apa kau sudah makan? Aku membawa bento pemberianmu, siapa tahu kau lapar.”

 

“Tenang saja, aku tidak lapar. Aku sudah…” Ucapannya terhenti ketika perutnya berbunyi. Belum lagi suara perut kosongnya yang besar terdengar jelas di telinga mereka berdua -Sungmin dan Hyun Ki. Sontak Sungmin menahan tawa. Hyun Ki tertawa garing sambil memegang perutnya.

 

“Sebenarnya aku belum makan karena aku tak lapar…”

 

“Perutmu sudah berbunyi seperti kau masih bisa bilang kalau kau tak lapar? Aish, makan saja bentoku ini.” Sungmin memberikan bentonya pada Hyun Ki.

 

“Anio, kau pasti belum makan. Bento ini kubelikan untukmu…”

 

“Aku sudah makan makanan kecil selama konser berlangsung. Kau lebih terlihat kelaparan daripada aku. Makanlah. Instingku hebat juga, untung saja instingku mengatakan jika aku harus membawa bento untukmu, hahaha…”

 

Hyun Ki terkekeh. “Itu karena kau terlalu cinta padaku sampai-sampai kau mempunyai  insting yang kuat untuk membaca pikiranku, kkk~”

 

Sungmin terkejut ketika Hyun Ki berkata seperti itu padanya. Wajahnya memerah hingga pria itu menjadi gugup dan tak tahu harus berkata apa untuk menanggapi omongan Hyun Ki. Mati kutu.

 

“A-apa yang kau katakan? Kenapa kau besar kepala sekali? Dasar bocah!” Sungmin mencubit pipi Hyun Ki gemas.

 

“Ish, aku bukan bocah! Kalau aku bocah, berarti kau adalah pedofil! Oom-oom pecinta bocah!”

 

“Siapa yang kau bilang Oom-oom, heh? Ayo pergi! Sebelum kita berdua mati kedinginan disini! Jung Hoon Hyung sudah menunggu dimobil.”

 

Sungmin menarik tangan Hyun Ki dan memasukkannya kedalam saku mantel. Digenggamnya kuat-kuat agar tangan gadisnya tak lagi kedinginan. Hyun Ki hanya tersenyum geli ketika Sungmin menggenggam tangannya. Tangannya yang semula kedinginan menjadi hangat.

 

“Oppa, kalau Eomma dan Appa memarahiku karena kabur ke Jepang tanpa izin, kau mau membelaku bukan?”

 

“Membelamu? Untuk apa? Sama sekali tak ada untungnya buatku! Aku tak mau membantumu membersihkan kamar mandi jika kau dihukum nanti!”

 

“Ya! Oppa!!”

 

*

Who’s miss Sungmin and Hyun Ki? Nobody? okay :p

Kemarin pas lagi dengerin lagu 2PM ‘Stay With Me’ tiba-tiba jadi pengen bikin dua makhluk ini dengan latar jepang dan jadilah seperti ini kkk

 

Fallin’ Love in Seoul: Seoul Subway Line 6

1333243479_70a82aae40 edit

 

 

Fallin’ Love in Seoul : Seoul Subway Line 6

Author :

Sunkyunim

Main Cast :

INFINITE Nam Woo Hyun

*

22.00 KST

Aku melihatnya duduk di bangku barisan paling pojok. Rambut terikat asal-asalan, t-shirt putih berlapis kemeja bermotif kotak-kotak biru yang mulai lusuh, celana jeans biru tua, dan sneakers putihnya yang mengusam. Gadis itu duduk sambil memegang novel romansa terjemahan. Sekali lagi, hanya memegang. Sementara sang pembaca justru tertunduk tidur dengan kepala yang terangguk-angguk mengikuti ritme laju subway yang berjalan memecah keheningan malam.

Gerbong subway kelima ini hanya terdapat lima orang. Sepasang kakek dan nenek renta yang duduk persis dihadapanku, pria kantoran yang duduk di ujung gerbong lima yang berbatasan dengan gerbong enam, aku juga gadis tersebut yang duduk diujung perbatasan gerbong lima dan empat. Keadaan sepi dan sunyi seperti ini membuatku dapat memperhatikan gerak-geriknya lebih leluasa, walaupun sejak tadi aku hanya melihatnya tidur saja.

Begitu aku tahu jika itu memang dirinya, aku tak lagi memusatkan perhatianku pada ponsel canggih yang kumiliki. Aku tak lagi fokus mendengarkan lagu aliran kesukaanku yang masih berdendang memenuhi kedua telingaku. Dia sudah mengambil alih perhatianku sekarang. Bahkan otakku sudah tak sehat lagi. Otakku sudah terpenuhi akan segala sesuatu tentangnya, termasuk juga masa-masa SMA-ku yang telah kukubur dalam-dalam.

Gadis itu cinta pertamaku dan masih tetap menjadi cintaku hingga sekarang. Dia jugalah sosok yang paling kubenci dan membuatku semakin menutupi hati untuk gadis yang datang karena sikapnya yang membuatku berharap lebih padanya dan berakhir dalam kata penolakan. Ia gadis paling jahat merangkap sebagai gadis yang paling kucinta sampai sekarang.

Aku pasti sudah hilang akal sehat. Tubuhku beranjak pergi meninggalkan posisi duduk awal dan pergi ke tempat duduknya di pojok gerbong. Aku duduk di sebelahnya yang hanya terpaut beberapa senti, dan aku dapat mendengar jelas bagaimana suara dengkuran halusnya yang keluar darinya. Dua kantung mata penghias wajah, bibir yang tampak memucat, pasti dia kelelahan. Bahkan badannya bergetar, menggigil kedinginan.

Segera kulepas mantel tebal coklat yang kupakai lalu kusampirkan pada tubuh kecilnya yang menggigil. Gadis ini tetap tak berubah, mungkin hanya tingginya saja yang bertambah. Dan dia masih tetap membuatku jadi seorang pria gila dan hilang akal sehat karena tak bisa mengontrol otakku sendiri ketika melihatnya.

Aku terkejut ketika gadis itu mulai merubah posisi tidurnya miring, dan seketika matanya terbuka seraya menguap lebar. Ia sadar akan kehadiranku di sampingnya, ia memperhatikanku dalam diam. Aku hanya tersenyum sembari mengusap-usap rambutku.

“Woo Hyun-ah?”

“Ternyata kau masih mengingatku, hahaha…” aku tertawa kecil.

“Bagaimana kabarmu?” Gadis itu hanya tersenyum tipis. “Baik. Kau?”

“Lelah. Terlalu banyak jadwal kerja. Karena hari ini libur kerja, aku memanfaatkannya untuk berkeliling Seoul sendiri, dan aku tak menyangka aku akan bertemu denganmu disini. Kau baru pulang?”

Gadis itu menggangguk seraya merapihkan rambutnya yang berantakan. “Ne, kegiatan kampusku juga banyak. Jadi ya…tiap hari aku pulang jam segini…”

Tanpa pikir panjang, aku langsung bertanya mengenai kehidupan cintanya. Mungkin aku terlihat bodoh, baru bertemu sudah bertanya mengenai kehidupan cintanya. Harus kuakui, aku memang masih mengharapkannya. Inilah yang membuatku menyebut diri sendiri sebagai pria gila dan hilang akal sehat. Tetap mengejar gadis yang telah membuatku patah hati.

“Bagaimana dengan pacarmu?”

“Ne?”

“Pacarmu…yang dulu. Saat SMA…” Gadis itu menangkap maksudku. Dia terdiam sebentar sambil menghela napas panjang. Ia memandangiku lekat-lekat dan berkata, “Aku sudah putus.”

“Benarkah?” tanyaku tak percaya, walaupun aku agak sedikit senang. Aku tak suka pacarnya yang dulu, pria yang suka tebar pesona pada seluruh gadis satu sekolahan. Padahal sama sekali tak berotak atau lebih tepatnya bodoh. Bagiku pria seperti itu tidak jauh beda dengan sampah. Dan sialnya, gadis ini justru termakan rayuan gila milik si ‘sampah’ itu. Jelas lebih baik aku kemana-mana.

“Ne, aku baru saja putus dengannya seminggu lalu. Aku baru sadar jika selama ini dia mempermainkanku. Aku merasa seperti orang bodoh termakan omongan manis miliknya. Kau pasti akan menertawakanku. Aku lebih memilih pria jahat itu dibanding kau yang jelas-jelas sungguh baik padaku.” tuturnya.

“Gwenchana. Itu ‘kan hakmu mau memilih pria mana yang lebih cocok untukmu. Mungkin saja saat itu kau pikir si sam…eh, maksudku pria itu lebih baik dan cocok daripada aku.”  Hampir saja aku menyebut pria itu ‘sampah’ didepannya. Public figure macam apa aku, berkata tidak senonoh di depan orang. Terkutuklah mulut pedasku ini.

“Padahal sebelum aku menerimanya, aku sudah menyukaimu sejak awal.”

Tunggu. Apa yang dia katakan tadi? Dia sudah menyukaiku? Apakah aku bermimpi? Aku merasa seperti orang yang delusional.

“Kau…bercanda, ‘kan? Tidak. Kau tidak mungkin menyukaiku. Kau bilang sendiri dulu kalau kau lebih suka pria itu dibanding aku.” Aku menyanggah ucapannya. Ini tidak benar. Bagiku itu salah. Ingat, Woo Hyun-ah. Dia gadis yang jahat. Dia hanya ingin membuatmu berharap.

“Aku tidak pernah bercanda. Aku selalu serius. Kau mau tahu kenapa aku menolakmu?”

Aku mengangguk pelan. Jantungku berdegup kencang. Sekian lama aku menunggu, akhirnya gadis dihadapanku ini memberitahuku alasan sebenarnya.

“Karena dulu sahabatku sangat menyukaimu. Dia bercerita padaku kalau dia menyukaimu. Aku tak ingin membuatnya membenciku karena aku memiliki perasaan yang sama dan membohonginya kalau aku tak menyukaimu.”

“Sahabatmu yang itu?”

“Ne, karena itu aku menolakmu. Dia menyatakan perasaannya setelah kau menyatakan perasaanmu padaku bukan?”

“Ne, dan aku menolaknya. Karena aku menyukaimu, bukan yang lain…”

Setelah saling jujur satu sama lain mengenai perasaan kami, kami hanya terdiam berdua di gerbong yang semakin sepi ini. Aku gugup, dia juga gugup. Aku memilih untuk melempar pandanganku kearah lain sedangkan dia malah membuka buku novelnya kembali dan tak dibaca.

“Jadi…bagaimana?” tanyaku untuk memecahkan suasana. Kulihat wajahnya memerah ketika ia angkat dan menatapku malu-malu.

“Ba-bagaimana apanya?” Tanyanya polos.

“Hubungan kita…”

“Kau mau bagaimana?” Kenapa dia malah bertanya balik? Daridulu memang dia sama sekali tak berubah, menjengkelkan.

“Kau yang bagaimana? Jangan bertanya balik lagi padaku, gadis bodoh!” Aku memukul kepalanya pelan sembari tertawa.

“Aku tak mau menyesal untuk yang kedua kalinya.” Jawabnya singkat.

“Jadi…kita pacaran?” tanyaku menyakinkannya. Dia hanya tertawa lalu mengangguk pelan. “Tapi kau harus melindungiku kalau sewaktu-waktu fans-mu menyakitiku.”

“Aku akan selalu melindungimu.”

Keputusan yang tepat untuk berkeliling Seoul dengan menaiki Seoul Subway Line 6 ini. Kalau tidak, mungkin aku tak akan menemukan cintaku kembali dan cintaku yang telah lama bersemayam tak akan terbalas. Aku akan selalu mensyukuri pertemuanku kembali dengannya ini.

Karena aku tahu cinta akan selalu pulang ke tempat asalnya.

*

 Back To Fallin’ Love in Seoul Series with Nam Woo Hyun in Seoul Subway Line 6

Kenapa aku pilih Seoul Subway Line 6? Karena kita gak tahu kapan dan dimana bakal nemuin cinta. Bisa ditemuin di taman, di rumah, di sekolah, bahkan sekelas Seoul Subway juga bisa hahaha, karena itu aku pilih Seoul Subway Line 6 buat tema keempat buat series ini.

Random, aku pilih Nam Woo Hyun setelah liat dia di sesame player sama ranking king. Sejak awal buat cerita ini emang direncanain pake member infinite, mikir-mikir mulai dari Leader Gyu, Hoya, Sungyeol, L dan akhirnya berujung pada Woo Hyun kkk

So enjoy with the series

Dan aku mulai semi-hiatus gak bisa sering-sering update blog lagi karena kembali ke realita sebagai mahasiswi yang kerjaannya pacaran dilab hahaha

yang ingin kenal sama author lebih dekat dan bertanya apapun pada author, silahkan klik gambar ulzzang cewek kembaranku itu *lol*

ditunggu buat cerita-cerita yang lain 😉

With Love

Hyunnie2311 (not Sunkyunim again)

Things Called Love : Chapter 3

tumblr_mj1b02VuFn1qdd597o1_500

 

 

Things Called Love : Chapter 3

 

Ia duduk terpaku di tepi kasurnya, memandangi coat abu-abu yang tergantung rapi di depannya. coat abu-abu milik Sang Hyun yang telah ia cuci dan disetrika sendiri setelah basah terkena air hujan karena dipakai untuk melindungi kepala dan badannya agar tak kehujanan. Soo Yeon kembali mengingat waktu dimana Sang Hyun menaruh jas abu-abu itu di atas kepalanya agar ia tak terkena air hujan. Dan dengan penuh pengertian akan sikap Soo Yeon, pria itu lebih memilih basah kuyup ketimbang Soo Yeon yang harus melakukan itu. Bukankah pria itu baik sekali?

Soo Yeon hendak berjalan mendekati tempat di mana coat abu-abu Sang Hyun tergantung. Ia memandanginya dari dekat dan jelas. Jemarinya yang lentik menyentuh bahan wool yang menjadi bahan dasar coat tersebut. Jas yang hangat dari bahan yang berkualitas. Apalagi coat ini merupakan produksi dari merk ternama. Pasti akan terasa hangat jika memakai coat-nya di udara dingin seperti ini.

Ia kembali mengingat raut wajah Sang Hyun yang tersenyum padanya ketika dirinya berkata bahwa ia akan memikirkan ajakkan Sang Hyun apabila ia ditawari makan bersama. Senyum yang indah dibalik wajahnya yang datar dan sangat kurang ekspresi. Wanita mana yang tak suka dengan senyuman seorang Park Sang Hyun? Tak ada satupun, termasuk Soo Yeon. Harus ia akui jika ia menyukai bagaimana cara Sang Hyun tersenyum. Senyum manis dengan eye-smile yang menawan.

Tak henti-hentinya ia menggali memorinya lebih dalam dan kembali mengulang waktu saat Sang Hyun tersenyum padanya. Ketika pertemuan pertama, kedua, hingga pada saat Sang Hyun mengantarnya pulang kerumah dan berpamitan dengannya.

Ah, tidak. Bukan maksudnya Soo Yeon menyukai Sang Hyun. Ia hanya menyukai senyuman Sang Hyun. Ia tak punya perasaan apa-apa untuk pria. Tak ada sama sekali. Ia harap begitu.

“Soo Yeonnie, coat milik siapa itu?” Soo Yeon tersentak ketika suara ibunya tiba-tiba masuk kedalam telinganya.

“Oh, Eom-eomma…ini…punya temanku…” jawabnya gugup. Ibunya masuk kedalam kamar dan turut memandangi coat abu-abu milik Sang Hyun.

“Apakah ini punya seorang pria?” tanya ibunya. Dengan pelan, Soo Yeon mengangguk.

“Kau pergi dengan seorang pria? Benarkah? Apakah dia pacarmu?” Begitu ibunya tahu jika pemilik coat tersebut adalah seorang pria, wajahnya yang mulai dipenuhi keriput tiba-tiba cerah dan terlihat makin bersemangat untuk bertanya lebih lanjut engenai pria tersebut.

“Anio! Dia bukan pacarku!” Soo Yeon menyanggah pertanyaan sang ibu. Tentu saja Sang Hyun bukan pacarnya. Bagaimana bisa mereka yang baru saja saling kenal langsung berpacaran? Lagipula Soo Yeon sendirilah yang memilih untuk menutup diri dari pria dan tidak berpacaran.

“Lantas kenapa kau bisa menyimpan coat milik seorang pria, Sayang?”

“Dia…teman Yeon Hee Eonnie. Yoon Hee Eonnie yang mengenalkannya padaku. Kebetulan kemarin kami bertemu dan dia mengantarku sampai rumah ketika Eomma tak bisa menjemputku.” Jawab Soo Yeon panjang lebar.

“Jadi kemarin yang mengantarmu adalah pria itu? Sayang sekali Eomma belum pulang dan tak bisa melihat pria itu. Lain kali kau harus mengenalkan pria itu pada Eomma dan Appa, ne?”

“Eomma…”

“Inilah saatnya kau harus membuka hatimu untuk seorang pria, Sayang. Eomma tak mau melihatmu seperti ini terus. Umurmu sudah matang dan sudah pantas mendapatkan seorang kekasih yang baik untukmu.” Tatapan mata ibunya yang teduh kini masuk kedalam matanya. Ia tahu ibunya sangat mengharapkan dirinya kembali membuka hati untuk menerima seorang pria masuk kedalam hidupnya. Pria yang akan mengembalikan kepribadian lamanya yang hilang setelah terjadi kejadian paling kelam dalam hidup Soo Yeon.

“Eomma…Eomma tahu aku masih belum berani untuk membuka hatiku. Aku takut jika kejadian itu akan terulang lagi…” Soo Yeon menunduk. Mencoba berbesar hati dan menahan rasa takutnya lagi yang kembali menjalar ketika mengingat masa lalunya lagi.

“Soo Yeonnie, itu hanya masa lalumu dan kau tak boleh mengingatnya lagi. Eomma dan Appa akan selalu menjagamu agar kejadian itu tak terulang lagi…” Wanita berumur 40 tahun itu memeluk anak perempuannya dengan penuh sayang.

“Eomma…gomawo…maaf selama ini aku selalu menyusahkan Eomma dan Appa…”

“Tidak, Sayang. Justru kau adalah anak yang paling Eomma dan Appa banggakan…”

Soo Yeon tersenyum dalam pelukkan hangat milik Ibunya. Memang hanya ibu dan ayahnya saja yang paling ia butuhkan saat ini. Ia belum membutuhkan seorang pria yang akan mengubahnya menjadi Lee Soo Yeon yang lama. Ia masih butuh waktu untuk menerima seorang pria masuk kedalam hidupnya. Termasuk Park Sang Hyun, pria dengan senyum menawan yang paling disukainya.

*

Ia terpaku dengan keadaan gedung berlantai 30 yang ada dihadapannya. Tinggal selangkah lagi, ia melewati pintu kaca yang terbuka otomatis ketika siapapun melewatinya dan masuk kedalam gedung perusahaan yang mewah dan megah sekelas Park Company. Lee Soo Yeon terus memandangi kesekeliling seluruh penjuru lantai dasar, bahkan perabotan sekecil apapun tak dapat luput dari penghilatan karena harganya yang tak bisa dipandang sebelah mata.

Soo Yeon mulai merapihkan penampilannya yang sedikit berantakan setelah berdesak-desakkan di dalam bus sendirian. Ah, bahkan setiap karyawan yang dilewati olehnya terlihat sungguh berkelas jika dilihat dari cara berpakaian ataupun aksesoris yang dikenakan. Tak sepertinya yang hanya memakai kemeja putih dan cardigan hitam biasa yang tak mahal juga mantel coklat yang mulai kusam.

Mungkin Park Company adalah satu-satunya perusahaan besar yang ia datangi. Meskipun ayahnya berprofesi sebagai manajer salah satu perusahaan swasta, namun gedung yang dimiliki tak semewah ini. Tempat ayahnya bekerja hanyalah perusahaan swasta yang tak besar dan sederhana. Bahkan gedungnya hanya memiliki tujuh lantai dan bangunannya termask dalam kategori gedung tua. Sungguh berbeda dan tak bisa dibandingkan dengan Park Company. Terlalu jauh drastis.

Oh, astaga! Soo Yeon tak tahan dengan pandangan karyawan-karyawan di sini. Mereka melihat aneh dan saling berbisik satu sama lain, memandangi Soo Yeon dari atas hingga bawah. Cepatlah Eonnie-nya yang satu itu datang dan menemuinya segera sebelum Soo Yeon memilih untuk kabur duluan.

“Soo Yeon-ah!” Suara familiar itu berhasil membuatnya jauh lebih tenang. Yeon Hee datang sambil berlari setelah keluar dari lift dan melihat Soo Yeon sedang berdiri sendirian di tengah ruang tunggu.

“Eonni-ya!”

“Apa kau sudah menunggu lama? Mianhae, pekerjaanku terlalu menumpuk.” Yeon Hee menarik tangannya dan segera membawa Soo Yeon untuk pergi kelantai atas. Begitu pintu lift terbuka, mereka berdua segera masuk kedalam.

“Astaga, Eonnie-ya. Park Company ini benar-benar besar, bahkan karyawannya saja terlihat sangat hebat. Aku merasa malu hanya berpakaian seperti ini.” ujarnya pelan. Yeon Hee tertawa kecil melihat sikap dongsaengnya yang begitu polos ketika berbicara dengannya.

“Tidak usah dipikirkan. Meskipun terlihat berkelas kupikir pakaian mereka hanyalah tiruan. Mereka hanya ingin terlihat lebih gaya dan berkelas. Ah, iya…jadi kau ingin bertemu dengan Sang Hyun, hm? Dalam rangka apa?”

“Ah, aku hanya ingin mengembalikan langsung coat miliknya…” Soo Yeon memperlihatkan sebuah kantong kertas yang dibawanya. Yeon Hee melirik sedikit kedalam tas kertas yang dipegang Soo Yeon dan alhasil, ia terkejut bukan main. Kenapa Soo Yeon bisa menyimpan coat abu-abu kesayangan Sang Hyun itu? Bahkan Yeon Hee masih ingat jelas saat Sang Hyun menolak permintaan Yeon Hee mentah-mentah yang ingin meminjam coat abu-abu tersebut ketika perempuan itu tak membawa payung. Alasannya sederhana, karena itu coat kesayangannya dan tak ingin ia pinjamkan pada siapapun. Lantas kenapa Soo Yeon bisa menyimpannya…

“Kau…kenapa kau bisa menyimpannya?” tanya Yeon Hee tak percaya.

“Kemarin aku bertemu dengannya ketika aku di halte, ia meminjamnya coat ini padaku agar aku tak kebasahan…memangnya kenapa?”

“A-ani…”

Sudah dipastikan. Sang Hyun benar-benar jatuh cinta pada Soo Yeon. Yeon Hee tak pernah menyangka jika Sang Hyun bisa bersikap baik pada seorang perempuan. Satu hal yang ia tahu, Sang Hyun adalah tipe pria yang paling sulit untuk didekati. Wajahnya yang kekurangan ekspresi, sikapnya yang sedingin salju, kata-katanya yang sepedas cabai, tak pernah membuat satupun wanita merasa nyaman ketika berdekatan dengannya. Hanya Yeon Hee satu-satunya wanita yang bisa dekat dengan Sang Hyun dan menjadi sahabat sampai sekarang. Itupun karena Yeon Hee adalah satu-satunya wanita yang tak bermaksud untuk mendekatinya dan menjadikan Sang Hyun sebagai seorang pacar. Disamping itu juga karena karakter Yeon Hee yang begitu tomboy dan talkative hingga membuat Sang Hyun lebih terbuka pada Yeon Hee.

Yeon Hee memang sudah menduga-duga jika Sang Hyun jatuh cinta pada Soo Yeon, dan begitu mendengar pengakuan Soo Yeon, semuanya menjadi jelas. Yeon Hee benar-benar harus pergi ke gereja dan mengucap syukur pada Tuhan karena Sang Hyun telah mendapat wanita yang menarik baginya.

Apalagi wanita yang dimaksud adalah hoobae-nya yang paling baik dan polos. Yeon Hee semakin ingin mengucap syukur karena sahabatnya memilih wanita yang tepat.

Mereka tiba di lantai teratas yang merupakan letak ruang utama milik sang direktur besar, Park Sang Hyun. Lantai ini terletak lebih ekslusif, hanya dihuni oleh beberapa karyawan termasuk Yeon Hee dengan suasana yang nyaman dan tenang. Benarkah semua isi gedung ini milik Park Sang Hyun? Soo Yeon tak dapat membayangkan jumlah harta kekayaan yang dimiliki oleh pria itu. Ini baru satu gedung utama belum gedung yang lain juga beberapa cabang restaurant yang tersebar di seluruh pelosok Korea.

“Semua ini…benar-benar miliknya?” tanya Soo Yeon dengan nada berbisik. Merasa malu jika ada yang mendengar pertanyaannya yang terkesan kampungan.

“Bohong jika kubilang tidak. Ini memang miliknya, bekerja sama dengan ayahnya yang koki terkenal. Karena ayahnya tak ingin hidup dalam dunia bisnis, ia menyerahkan semuanya pada Sang Hyun. Ayahnya memilih untuk menjadi koki saja.”

“Dan Eonnie beruntung menjadi sekretaris pribadinya.” Tambah Soo Yeon memperjelas.

“Kalau bukan karena aku orang terdekatnya, aku pasti akan ditendang keluar olehnya karena sama sekali tak memiliki skill sebagai orang kantoran. Mungkin kalau kau melamar kerja disini, kau akan merebut posisi sekretarisku!”

“Ne? Bagaimana bisa…aku bahkan lebih bodoh darimu karena aku berhenti kuliah.” Sanggahnya.

“Aku saja bisa diterima olehnya karena aku sahabatnya apalagi kau yang benar-benar disukai olehnya.” Yeon Hee terkekeh.

“Eonnie ini apa-apaan? Dia bersikap baik padaku bukan karena suka padaku, dia hanya kasihan padaku. Jangan bicara yang tidak-tidak!”

“Aku tahu persis siapa Sang Hyun. Aku yakin dia jatuh cinta padamu. Lihat saja nanti. Aku tunggu kabar darimu jika Sang Hyun sudah menyatakan suka padamu, hahaha…”

“Eonnie!”

“Yeon Hee-ya! Bagaimana data yang kuberikan tadi? Apakah sudah selesai?” Yeon Hee dan Soo Yeon sontak terdiam dan berpaling kearah sumber suara ketika suara berat milik Sang Hyun terdengar tiba-tiba dari belakang mereka.

Sang Hyun terkejut ketika Soo Yeon membungkukkan badan sembilan puluh derajat padanya dengan sopan. “A…Soo Yeon-ssi…kau tak perlu bersikap formal seperti itu padaku. Bersikaplah seperti biasa…”

Tak hanya Soo Yeon, bahkan Sang Hyun pun yang selalu menjaga image di depan siapapun juga terlihat gugup ketika berhadapan dengan Soo Yeon. Pria itu tak menyangka jika wanita itu datang kekantornya. Dan apa isi kantong kertas yang dibawa olehnya itu?

“Sang Hyun-ssi…aku ingin mengembalikan langsung coat milikmu. Terima kasih banyak karena telah mengantarku kemarin. Coat ini sudah kucuci dan kusetrika. Sekali terima kasih…” Soo Yeon memberikan kantong kertas tersebut pada Sang Hyun. Dengan ragu ia menerima kantong kertas berisi coat abu-abunya dengan perasaan gugup.

Jantungnya bahkan tiba-tiba berdebar hebat ketika tangannya menyentuh tangan milik Soo Yeon. Tangan yang halus dan kecil. Pasti tangan kecilnya itu akan sangat pas jika berada dalam genggaman hangat tangan besar milik Sang Hyun.

“Soo Yeon-ssi…bagaimana kalau kita makan siang bersama? Sebagai rasa terima kasihku karena kau telah mengembalikan coatku. Bagaimana?” Tanpa pikir panjang, Sang Hyun mengajak wanita yang dihadapannya untuk makan siang bersama. Pria ini sudah hilang akal sehat. Persetan dengan semua pekerjaannya yang menumpuk di atas meja, ia hanya ingin mengenal Soo Yeon lebih dekat dan jauh lebih dekat dari sebelumnya.

“Lalu bagaimana denganku? Astaga, aku ini benar-benar seperti lalat yang terbang berkeliaran di samping kalian.” Yeon Hee menggerutu kesal ketika kehadirannya sama sekali tak digubris oleh mereka berdua.

“Kau tetaplah di sini. Teruskan pekerjaanmu. Tak boleh makan siang jika pekerjaanmu belum selesai.” Sang Hyun berkata dengan nada skeptis. Ya, Tuhan! Bos-nya yang paling hebat ini benar-benar brengsek. Kalau saja Yeon Hee tak ingat saat ini statusnya yang hanya sebagai bawahan, mungkin ia akan melempar tubuh Sang Hyun keluar gedung.

“Aish! Bos macam apa kau! Sudahlah sana kalian pergi! Bersenang-senanglah sesuka hati kalian!” Dengan bibir yang dimajukan, Yeon Hee berjalan menuju mejanya dengan hentakan kedua kakinya yang bergema ke seluruh ruangan.

Tak peduli dengan sikap Yeon Hee, Sang Hyun pun kembali bertanya. “Bagaimana? Kau mau? Kalau tidak mau, aku akan mengantarmu pulang kerumah saja.”

“Kupikir aku akan menerima tawaranmu. Kebetulan setelah ini aku akan pergi ke studio tari.”

“Kau latihan?”

“Tidak. Aku mengajar balet.”

*

Il Mare Caffe

Gangnam-gu

“Jadi…selain menari balet untuk pertujukkan, kau mengajar balet untuk anak-anak di studio tari?” Soo Yeon mengangguk seraya meneguk lemon squash segar yang dipesannya sebagai pendamping Spagetti Bolognaise yang ia pesan.

“Ne, aku mengajar balet untuk anak-anak.” Jawab Soo Yeon. Sejak sampai di Il Mare sampai pada saat makanan yang mereka datang, tak henti-hentinya Sang Hyun bertanya mengenai apapun tentang Soo Yeon. Bahkan pasta dan ice capucchino yang dipesannya sama sekali belum tersentuh hingga pastanya mendingin dan ice capucchinonya berubah menjadi capucchino biasa. Ia terlalu tertarik mendengar cerita Soo Yeon ketimbang memanjakan perutnya. Ia lupa jika perutnya kelaparan saking terpaku dengan wanita yang kini sedang memasukkan segumpal spagetti yang melingkar di garpu miliknya.

“Memang tak seberapa penghasilanku untuk mengajar balet di sana, hanya saja aku lebih suka bekerja seperti itu daripada menjadi orang kaku yang sepanjang hari hanya menatap komputer.”

Sang Hyun mengangkat alisnya. “Apa kau sedang menyindirku?”

“O? Apa aku terkesan menyindir? Mianhae kupikir kata-kataku salah…” Sang Hyun tertawa ketika melihat reaksi Soo Yeon yang tak biasa. Ia tak menyangka jika Soo Yeon akan bereaksi seperti itu, malu dan segera minta maaf padanya karena penggunaan kata yang salah. Baru kali ini ia melihat wanita yang begitu polosnya seperti Lee Soo Yeon.

“Kenapa kau minta maaf? Aku hanya bergurau, haha..”

“Ng…kenapa pastanya tidak kau makan? Itu sudah dingin…” Soo Yeon mengalihkan pembicaraan ia sungguh malu ketika Sang Hyun tahu tentang kepolosannya yang diluar batas. Sang Hyun mengedikkan bahunya lalu mendorong piring pastanya menjauh. Ia memilih ice capucchino-nya saja.

“Tiba-tiba aku tak lapar setelah mendengar ceritamu.”

“Apakah ceritaku terlalu panjang hingga kau tak merasa lapar?” Tiba-tiba Sang Hyun menahan tawanya. Akan sungguh aneh jika ia tertawa meledak-ledak didalam italian restaurant yang terlalu ekslusif ini.

“Hanya mendengar ceritamu saja aku sudah kenyang. Kalau kau mau mungkin kau bisa memakan pastaku. Atau kau mau memesan yang lain?” tawar Sang Hyun.

“Ah, anio. Aku sudah cukup dengan Spagetti ini. Terima kasih atas makan siangnya, kau sungguh baik sekali.” Ucapnya malu-malu, ditambah lagi dengan matanya yang tak mau menatap Sang Hyun secara langsung. Tak hanya pada saat ini, sejak pertama kali pun Soo Yeon selalu menghindari tatapan mata Sang Hyun.

“Soo Yeon-ssi…ada hal yang ingin kutanyakan.”

“A-apa?” tanyanya yang lagi-lagi sama sekali tak memandang sang penanya dan memilih untuk memusatkan matanya pada makanan.

“Kenapa kau tak pernah menatap mataku ketika kita berbicara?” Pegangannya pada garpu mulai merenggang. Soo Yeon hanya diam dan tak menjawab, ia tak pernah menduga jika Sang Hyun akan bertanya tentang itu dan mungkin ia akan bertanya tentang kebiasaannya yang menjaga jarak dengan seorang pria.

“Sudah sejak pertama kali aku penasaran tentang hal ini. Aku sempat bertanya tentangmu pada Yeon Hee. Kau terlihat tak suka jika berdekatan dengan pria dan terlihat ketakutan. Sampai sekarang pun meskipun kau tidak terlihat begitu dingin lagi, kau tak pernah mau memandangku. Maaf kalau aku terkesan lancang, tapi apa yang membuatmu jadi seperti ini kalau boleh tahu? Apa ada sesuatu?”

Ia tak tahan dengan pertanyaan Sang Hyun yang menurutnya sungguh mendesak. Soo Yeon tak ingin menjawab dan tak akan pernah menjawabnya. Ini sama saja ia menggali keluar memori buruknya lagi. Tanpa mengatakan satu kata apapun, ia bangkit berdiri meninggalkan Sang Hyun.

“Soo Yeon-ssi! Kau mau kemana? Tunggu!” Sang Hyun segera mengejar wanita itu yang telah angkat kaki dari Il Mare. Kenapa Soo Yeon berjalan begitu cepat? Sang Hyun pun sampai harus berlari kencang agar dapat menahannya.

“Soo Yeon-ssi!” Sang Hyun memegang pergelangan tangannya dengan kuat-kuat.

“ANDWAE!” Soo Yeon berteriak keras seperti orang kesetanan. Melihat reaksi Soo Yeon yang tak biasa, membuat Sang Hyun melepaskan cengkraman tangannya dengan segera. Apakah ia menyakiti Soo Yeon? Tidak. Ia yakin cengkramannya tak terlalu menyakitkan, tapi kenapa reaksinya berlebihan bahkan sampai menangis dan meringkuk di jalan.

“Soo Yeon-ssi…gwenchana? Maaf, aku tak bermaksud…”

Soo Yeon menangis hebat. Hanya karena dicengkram saja kenapa reaksinya berlebihan seperti ini. Sang Hyun tak tahu lagi apa yang harus dilakukan, belum lagi semua orang tertuju kearah mereka dua dengan tatapan mengintimidasi.

“Soo Yeon-ssi, kita ke mobilku sekarang. Sebelum kita jadi pusat perhatian di sini, aku akan mengantarmu segera ke studio tari sekarang, ne?”

Dengan hati-hati, Sang Hyun menyentuh bahunya. Pria itu membantunya berdiri dan menuntunnya masuk kedalam mobil. Sang Hyun memberikan saputangannya pada Soo Yeon untuk menghapus air matanya. Soo Yeon tak mengambilnya langsung, hanya menatap saputangannya diam.

“Aku tahu kau paling tak suka disentuh oleh pria termasuk aku. Jadi, kau harus menghapus air matamu sendiri dengan saputanganku. Pakailah.” Akhirnya Soo Yeon mengambil saputangan milik Sang Hyun dan mengusapnya kedua matanya yang memerah. Aroma parfum yang sama dengan aroma parfum yang menempel pada coat abu-abu milik Sang Hyun. Aroma parfum pria yang menurutnya sangat enak dan membuatnya nyaman. Tak menyengat dan membuat hidungnya sakit.

Pelan-pelan, Soo Yeon memutar kepalanya. Melirik kearah Sang Hyun yang tengah mengemudikan mobilnya dalam kecepatan biasa dengan mata tertuju kearah depan. Matanya mulai sibuk menelusuri wajah maskulin dengan rahang keras milik pria yang ada di sebelahnya. Kulit putih, mata tajam seperti mata kucing, bibir tipis dan hidung mancung, juga rambutnya yang berwarna kecoklatan. Ini kali pertama ia menatap dalam waktu yang cukup lama.

Ia akui, Sang Hyun benar-benar tampan. Siapa yang tak akan menyukai Sang Hyun? Tampan, kaya, seorang direktur besar. Hanya wanita bodoh yang tak menyukainya. Apa itu maksudnya dia? Mungkin. Ia tak ingin membuka hati untuk pria manapun termasuk Sang Hyun. Apalagi setelah mendengar perkataan Yeon Hee beberapa jam lalu.

“Aku tahu persis siapa Sang Hyun. Aku yakin dia jatuh cinta padamu. Lihat saja nanti. Aku tunggu kabar darimu jika Sang Hyun sudah menyatakan suka padamu, hahaha…”

Benarkah Sang Hyun menyukainya?

Tidak. Kalaupun Sang Hyun menyukainya ia tak akan membuka hati untuk Sang Hyun. Biar saja ia menjadi wanita kesepian sampai tua kalau nantinya ia akan disakiti lagi oleh pria seperti sebelumnya. Itu prinsipnya dan entahlah sampai kapan. Semoga prinsipnya tetap bertahan lama.

*

Soo Young merasa gugup saat mengajar karena kehadiran Sang Hyun yang berdiri di samping pintu ruangan dan memperhatikannya yang sedang mengajar balet.

“Songsaenim. Apa itu pacar songsaenim?” salah satu muridnya tiba-tiba bertanya dengan polosnya hingga membuat Soo Yeon terkejut.

“A-anio! Dia…hanya orang aneh… Ayo kita lanjutkan latihannya.” ucapnya tanpa pikir panjang.

Soo Yeon mencoba untuk tak memperdulikan kehadiran Sang Hyun diruangan yang sama. Ia mencoba fokus melatih anak-anak berumur 7-10 tahun tersebut seperti biasa. Anggap saja Sang Hyun hanyalah patung yang ditaruh di ruangannya atau hanya sebuah bayang samar-samar. Atau mungkin hantu, anggap saja begitu. Soo Yeon tak ingin pikirannya berantakan dan rencana apa yang diajarkan diolehnya menjadi tak sesuai.

Sementara itu Sang Hyun memperhatikannya sambil tersenyum. Wanita itu sepertinya sangat menyukai anak-anak, bisa dilihat jika sorot matanya yang hangat ketika menanggapi berbagai macam pertanyaan atau keluhan yang diarahkan padanya. Pria itu tak bisa berhenti tersenyum. Apalagi pada saat Soo Yeon sedang mencontohkan gerakan balet yang diajarkannya pada anak-anak.

Lee Soo Yeon benar-benar gadis menarik.

Tiba-tiba senyum Sang Hyun memudar ketika Soo Yeon memalingkan wajahnya kearah Sang Hyun dan memandang tepat kearah matanya. Soo Yeon benar-benar melihatnya walaupun hanya sekilas dan kembali membuang muka. Apakah ini pertanda Soo Yeon mulai menerima kehadirannya?

Sepertinya ini menjadi langkah awal baginya untuk semakin mendekati Soo Yeon.

*

Am I too late to continue this story? kkk

Baru dapet ilham buat nerusin lagi, meskipun agak ancur feelnya di chapter 3 ini

maklumlah writer’s block

Oneshot Story : Forgiven

Oneshot: Forgiven

 

Note : There is no correlation with Sung-Ki Moment. This is another story with the same characters. Happy reading!

Lee Sungmin

 

Aku memarkirkan mobilku di sebuah tempat parkir kecil di sebelah gedung berukuran tidak terlalu besar tersebut di pagi menjelang siang ini. Aku menarik napas dalam-dalam, menghirup aroma udara pertengahan musim gugur yang bercampur dengan sekelebat aroma daun maple gugur yang beterbangan sesuai dengan pergerakan angin. Kuamati gedung itu dengan seksama, menelusuri dinding gedung yang sudah mulai mengelupas karena termakan waktu, namun tetap berdiri kokoh di pinggir kota.

Dengan tangan sibuk menenteng sekardus ramyeon yang baru saja kuambil dari bagasi mobilku, kakiku melangkah santai menuju pintu masuk Dongjak-gu Vocational Training Center tersebut. Mataku yang terus menatap kesekeliling penjuru gedung, menangkap pemandangan sebuah taman kecil manis yang berada di sekitar wilayah gedung. Melihat taman tersebut, membuatku menyusun rencana kecil-mendadak bagi para anak yang dirawat di sini. Bukan hal yang menarik, namun kurasa bisa menghibur. Yah, kau tahu sendiri apa hobiku. Bermain gitar atau menyanyi, oh jangan lupa mungkin mengadakan permainan kecil-kecilan yang kupikir tidak akan membuat mereka bosan dan berdiam diri saja.

Ini sudah merupakan tahun kelimaku bekerja sebagai relawan di sini. Membantu para perawat atau sekedar memberika sumbangan lalu mengajak mengobrol juga bermain para pasien yang mulai dari anak-anak sampai lansia. Aku telah menjadi relawan di sini semejak aku masih berada di bangku sekolah sampai sekarang, di mana aku menjadi bagian dari sebuah keluarga yang bernama ‘Super Junior’. Tidak hanya aku saja yang menjadi relawan di sini, bahkan teman-temanku dan juga beberapa penggemarku –terdengar kurang enak jika aku menyebutnya ‘penggemarku’ –menjadi relawan di sini walaupun hanya sekedar menyumbang.

Semenjak jadwal kerjaku semakin memadat dan menguras banyak tenagaku di umur 27 tahun, membuatku tidak bisa sesering dulu lagi mengunjungi Vocational Training Center ini. Bahkan aku ingat terakhir kali aku menginjakkan kakiku di sini yaitu bersama Eomma sekitar empat bulan yang lalu, dan itupun aku harus pergi duluan karena ada jadwal kerja yang tidak bisa kutolak. Dan hari ini –sengaja kukosongkan jadwal kerja –aku datang kesini untuk memberikan sumbangan dari keluargaku. Bukannya pamer, hanya sekedar informasi, keluargaku menyumbangkan beras juga ramyeon ke tempat ini setiap sebulan sekali, termasuk juga teman-teman dan penggemarku.

Karena Eomma, Appa, ataupun dongsaengku Sung Jin tidak dapat datang, aku menawarkan diri dengan senang hati untuk menggantikan mereka dan berencana untuk menghabiskan waktuku di sini bersama mereka. Para pasien…penyandang cacat yang membutuhkan sebuah pelatihan khusus di sini.

“Annyeong haseyo!” Sapaku pada seorang perawat yang sudah sangat kukenal. Seorang wanita paruh baya bersenyum hangat, tetap terlihat awet muda walaupun gurat-gurat keriput mulai menghiasi wajahnya.

“O, annyeong haseyo, Sungmin-ah! Aigo~ sudah lama sekali aku tidak melihatmu datang kesini!” ujarnya antusias.

“Ne, jadwal kerjaku terlalu padat sehingga aku tidak bisa menyempatkan diri untuk datang.”

“Seperti biasa, membawa beberapa karung beras dan kardus ramyeon?” aku tertawa renyah, beliau tidak perlu bertanya apa maksudku atau aku memberitahu apa maksudku untuk datang. Beliau sudah tahu.

“Ne. Eomma tidak bisa datang karena ada acara keluarga,”

“Oh, sayang sekali. Banyak sekali yang ingin kuceritakan padanya.” Aku tersenyum. Aku tahu kalau mereka merupakan teman dekat semasa sekolah sampai sekarang, wajar jika beliau kecewa begitu tahu Eomma tidak datang. Kalian harus tahu, setiap Eomma dan aku datang, aku pasti akan menjadi orang ‘terbuang’ –atau lebih halusnya ‘tersisihkan’ –karena mereka terlalu tenggelam dengan topik pembicaraan. Seperti biasa, aktivitas para wanita diwaktu senggang ataupun tidak. Bergosip. Tentang apapun.

“Kau bisa mengunjungi rumah kami kapanpun kau mau, kapan saja, itupun kalau teman bergosipmu –Eomma –ada dirumah.” Wanita bersanggul rendah itu tertawa mendengar leluconku. “Kau bisa saja, Sungmin-ah. Lain kali ajaklah teman satu grup-mu untuk datang kesini, aku yakin para pasien di sini akan terhibur dengan kalian.”

“Kuusahakan kami bisa datang bersama-sama, Ahjumma. Ah, iya apa anak-anak ada di ruangannya?” Aku bertanya mengenai pasien anak-anak, teman-teman kecilku yang sudah lama tak kutemui dalam beberapa bulan terakhir. Aku suka anak-anak, bermain dengan mereka merupakan salah satu hal favoritku. Tidak peduli apakah mereka –maaf –cacat atau normal, aku tetap menikmati waktuku bersama anak-anak. Mereka menyenangkan.

“Oh, mereka ada di taman. Bersama beberapa orang relawan dari SNU –Seoul National University.” Jawab Han Ahjumma –begitu aku memanggilnya. Relawan dari SNU? Ah, pantas saja aku sempat menangkap sebuah mobil asing yang datang.

“Relawan lain?”

“Ne, satu orang relawan baru yang sering mengunjungi tempat ini mengajak beberapa temannya untuk menjadi pekerja sukarela sampai siang.”

“Relawan baru? Nugu?” Aku penasaran.

“Seorang gadis, kau bisa melihatnya di taman kalau kau mau. Sekedar informasi untuk kau yang belum memiliki pacar sama sekali di umurmu yang sudah menginjak 27 tahun ini, dia gadis yang baik dan cantik. Dia juga menyenangkan, aku yakin kau akan suka jika kau mengenalnya.” Aku menyipitkan mata, memandang intens Han Ahjumma yang tidak ada bedanya dengan seorang ibu yang sedang memperkenalkan calon pendamping hidup pada anaknya.

“Dan sekedar informasi untuk Ahjumma, aku datang kesini untuk bermain bersama anak-anak bukan untuk mencari jodoh.” Han Ahjumma tergelak. Aku melangkah semakin masuk kedalam gedung dan meninggalkan resepsionis tempat Han Ahjumma menghabiskan waktunya setiap hari selama tidak ada kerjaan. Aku sangat tahu seluk beluk tempat ini, tanpa perlu melihat kearah papan penunjuk arah, kakiku akan melangkah dengan sendirinya ke tempat yang ingin kutuju sesuai dengan perintah otakku. Taman.

Aku bersembunyi di balik pintu berdaun dua yang menghubungkan bagian dalam Vocational Training Center dengan lorong yang di kelilingi oleh taman. Ya, aku menangkap sekitar lima orang mahasiswa –tiga orang gadis dan dua orang laki-laki –memakai almamater SNU sedang bermain bersama para anak. Mereka terlihat sangat bersenang-senang, bisa kulihat dari pancara mata bahagia mereka.

Sontak aku langsung bersembunyi di balik dinding ketika melihat kelima mahasiswa tersebut menuju kearah dalam gedung. Empat mahasiswa berpamitan pada seorang gadis bertubuh mungil lalu pergi meninggalkan gedung ini. Biar kutebak, gadis bertubuh mungil itu adalah relawan baru dan keempat mahasiswa itu adalah teman-teman yang diajaknya.

Gadis itu kembali ke tempatnya, kembali menemani para anak untuk mengobrol sambil menggambar di sebuah buku gambar berukuran kecil. Tiba-tiba aku tergerak untuk pergi ke taman dan mengajaknya…yah, sekedar berkenalan dan mengobrol. Gadis itu sama denganku bukan? Bekerja sebagai relawan di sini. Apa salahnya untuk mengenal?

Aku tersenyum pada para anak yang menyadari kehadiranku, namun tidak dengan gadis itu. Gadis itu tenggelam di buku sketsanya, melakukan hal yang sama seperti anak-anak yang lain. Menggambar sesuatu. Bahkan disaat aku sudah berdiri di hadapannya yang masih duduk santai di bawah pohon maple, dia masih tidak menyadari kehadiranku. Apa aku terlihat seperti makhluk tak kasat mata?

Aku berdeham singkat, dan gadis itu pun langsung mendongakkan kepalanya keatas. Kedua matanya terbelalak, oh ya aku tahu. Dia pasti sangat mengenaliku. Seorang laki-laki yang wajahnya sering terlihat menghiasi layar televisi. Bukan pamer, tapi memang seperti itulah kenyataannya. Gadis itu segera menaruh buku sketsanya di samping tubuhnya, lalu berdiri dan segera membungkukkan badan sopan.

“A-annyeong haseyo!” sapanya dengan suara lembut yang terdengar gugup. Aku hanya bisa tersenyum saat melihat paras wajah malu-malunya begitu melihatku.

“Annyeong haseyo. Ah, ya kau tidak perlu bersikap sesopan itu padaku.” Bibir tipisnya membentuk sebuah lekukan senyuman. Manis. Dan satu hal yang baru kusadari, aku sempat terbius dengan pancaran sinar mata milik gadis tersebut. Bola mata coklat hazel itu seperti menyihirku. Membuatku tidak ingin berpaling dari hal lain dan tetap menatap matanya yang menurutku sangat cantik.

“Namaku Lee Sungmin. Siapa namamu?” tanyaku dengan nada sedikit terbata-bata. Malu karena sejak tadi aku terus memandangnya dalam beberapa waktu hingga membuatnya bertanya ‘kenapa?’.

“Hyun Ki. Namaku Choi Hyun Ki.”

Kami berkenalan. Dan satu hal yang pasti, perkenalan kami tidak berakhir sampai di sini.

*

Choi Hyun Ki.

Nama yang manis. Menurutku. Dan seperti apa yang Han Ahjumma katakan, gadis itu memang gadis yang cukup menyenangkan. Kami memiliki beberapa kesukaan yang sama. Musim gugur, hari Jum’at, musik, anak-anak, juga wahana permainan yang menantang adrenalin. Lain kali dia akan kuajak untuk menghabiskan waktu bersama sambil melakukan kegiatan yang merupakan favorit kami berdua. Itupun jika dia tidak takut dengan ancaman para ELF.

Di saat waktu senggang, walaupun hanya memiliki beberapa jam sebelum kerja, aku menyempatkan diri untuk datang. Kali ini, alasanku untuk datang ke sini bukan hanya untuk bermain bersama anak-anak juga mengobrol dengan para lansia. Alasanku yang lain, tentu saja Hyun Ki. Gadis berumur tujuh tahun lebih muda dariku yang merupakan mahasiswa SNU di tingkat kedua. Gadis dengan bola mata hazel yang dapat membuat siapapun tersihir jika melihat kedua matanya. Jika kau melihatnya, kau seperti merasakan ada sesuatu yang menarikmu untuk segera mendekat. Perlahan demi perlahan kearahnya, tanpa mau melepaskan diri dari tarikan tersebut.

Usai menghabiskan waktu bersama di Dongjak-gu Vocational Training Center sepanjang hari, sore ini aku mengajak Hyun Ki pergi ke Kona Beans. Entahlah, aku merasa ingin mengenalkannya pada Eomma, dan aku yakin Eomma akan menilai gadis itu dengan pandangan yang sama denganku. Menyenangkan.

Tebakkanku benar. Lihatlah sekarang. Mereka –Eomma dan Hyun Ki –tidak ada ubahnya seperti sepasang sahabat yang sudah mengenal beberapa puluh tahun yang lalu. Aku yang duduk di meja yang menurutku sebuah tempat paling strategis karena bersebelahan dengan jendela, memperhatikan dengan senyum. Mereka merasa cocok satu sama lain. Hyun Ki dengan senang hati membantu Eomma untuk melayani beberapa pelanggan yang sebagian besar adalah ELF. Kurasa mereka terkejut dan cukup heran melihat gadis yang tak pernah mereka lihat sebelumnya itu. Aku bahkan bisa mendengar bisik-bisik mereka dari sini saat berjalan keluar cafe dan sedikit menyunggingkan senyum padaku. Bertanya-tanya siapa gadis itu dan apa hubunganku juga Eomma dengannya.

Kupikir ini bisa menjadi topik hangat para ELF dan mereka akan menyerbuku dengan serentetan pertanyaan yang memiliki satu maksud. Siapa gadis itu. Yang jelas, dia bukan pacarku. Hanya teman sesama relawan yang kebetulan memiliki kesamaan.

Aku memandang sebuah mug bertuliskan ‘Kona Beans’ berisikan sebuah cappucino hangat dengan asap mengepul di atas meja. Kudongakkan kepalaku keatas. Gadis itu sudah berdiri di sampingku sambil tersenyum simpul. Dia yang membawakan cappucino itu untukku.

“Melamun?” tanyanya singkat. Aku mengangkat bahu sekilas. “Seperti yang kau lihat.”

Hyun Ki tertawa. Gadis itu menarik kursi yang ada dihadapanku lalu duduk di atasnya dengan santai. Ia membawa dua mug berisi cappucino, satu untukku dan satunya lagi tentu saja untuknya. Aku memandanginya intens saat ia mulai menyeruput cappucino-nya pelan. Begitu sadar jika sedari tadi terus kupandang, gadis itu memandangku aneh. Kedua alisnya terangkat.

“Apa yang kau lihat? Cepatlah kau minum sebelum cappucino-mu mendingin. Itu buatanku dan kau harus tahu, tidak ada satupun orang –termasuk keluargaku –mengatakan kalau cappucino buatanku itu tidak enak.” Ujarnya sembari menggeser mug itu mendekat kearahku. Aku menertawakannya. Bukan. Bukan karena perkataannya yang terkesan sangat besar kepala atau percaya diri itu, tapi karena busa cappucino yang menempel di bibir atas sampai ke bagian philtrum-nya.

“Kenapa kau tertawa? Memangnya ada yang lucu?” tanya sekali lagi. Aku tidak menjawab, justru tetap tertawa. Aku mengambil sehelas tissue yang tersedia di meja yang kami tempati. Aku memajukan badanku agar tanganku dapat meraih wajahnya. Dengan tissue yang kupegang, aku menghapus sisa busa cappucino yang menempel di wajahnya. Kuusap pelan dan kupastikan tak ada yang bersisa.

Aku lihat gadis itu terdiam. Silih berganti memandangku juga memandang tanganku yang masih sibuk mengusap wajahnya. Saat ia memandangku, aku merasakan sensasi aneh di dalam diriku. Seperti ada kupu-kupu yang beterbang di dalam perutku, seperti ada sebuah dentuman keras di dadaku. Aneh, tapi menyenangkan jika dirasa. Dan sensasi tak biasa ini sudah kurasakan sejak aku semakin sering menghabiskan waktu dengannya.

“Maaf, aku terlalu refleks membersihkan busa cappucino di wajahmu.” Aku mulai salah tingkah. Alih-alih takut jika Hyun Ki tidak suka perlakuanku.

Berbanding terbalik dengan apa yang kupikirkan. Gadis itu sama sekali tidak merasa risih ataupun marah. Ia justru malah memasang wajah tak kalah gugup denganku. Dan yang tertangkap di mataku sekarang, wajahnya mulai bersemu merah di balik kulitnya yang putih halus seperti pualam. Malu.

“Anio~ tidak apa-apa…” gumamnya.

Kami sempat tak berbicara selama beberapa menit. Masih merasa gugup dan malu dengan apa yang terjadi tadi. Tidak special memang, hanya hal kecil. Tapi bagiku, hal sekecil apapun yang dilakukan, baik yang terlihat ataupun tidak terlihat, kadang bisa memberikan dampak besar.

Beberapa menit kemudian, aku memberanikan diri untuk membuka mulut. Bertanya sesuatu yang belum sempat kutanyakan padanya.

“Hyun Ki-ya, boleh aku bertanya padamu?” tanyaku ragu-ragu. Gadis itu memandangku polos. “Tentu saja boleh.”

“Kenapa kau ingin menjadi relawan? Di umur 20 tahun sepertimu harusnya kau lebih memilih menghabiskan waktu untuk bersenang-senang dengan teman sebayamu.” Ujarku, berhipotesa. Memang benar ‘kan? Sebagian gadis yang berumur sama sepertinya, lebih senang berjalan-jalan, menghabiskan waktu bersama teman sebaya, atau mengikui berbagai macam kegiatan di kampus. Umur 20 tahun, merupakan sebuah umur di mana kau merasa bahwa kau sekarang menjadi seseorang yang lebih dewasa. Membuat rencana yang menyenangkan, bebas melakukan apa saja karena kau bukanlah anak kecil yang masih terikat dengan orang tua karena mereka berpikir bahwa kau sudah bisa memilih apa yang terbaik atau terburuk untuk kehidupanmu.

Gadis itu tersenyum mendengar pernyataanku. Bukan senyum manis dan menyenangkan yang sudah biasa kulihat. Kali ini senyuman yang menurut terkesan…menyedihkan. “Oppa pikir…gadis berusia 20 tahun sepertiku ini tidak cocok menjadi seorang relawan?”

“O? Bukan begitu! Aku hanya bertanya alasanmu kenapa kau ingin menjadi relawan…” aku mengoreksi pertanyaanku yang ia pikir aku seperti meragukannya.

Hyun Ki kembali terdiam, ia memilih untuk menyeruput cappucino-nya yang mulai mendingin. Kemudian ia memangkukan wajahnya dengan salah satu tangan lalu melempar pandangannya kearah jendela.

“Alasanku menjadi relawan di sana adalah…adikku.”

*

Kini kami duduk bersisian, di sebuah bangku taman kosong tepat di bawah pohon maple berdaun kuning kecoklatan. Mungkin sebentar lagi satu per satu daun akan gugur menghujani kami berdua seperti guguran daun-daun sebelumnya. Kami memilih tempat ini karena jaraknya yang jauh dari pusat kota dan termasuk kedalam kawasan yang tidak ramai walaupun aku harus siap siaga memakai topi, masker, dan syal sebagai alat penyamaranku. Aku tidak mau gadis ini mendapat masalah besar karena tertangkap basah bersamaku dan aku tidak mau dia mati konyol ditangan para ELF.

Gadis itu, Choi Hyun Ki, memandangku dengan sendu. Bukan lagi dengan ekspresi segar dan ceria seperti biasa yang sering ia tunjukkan padaku. Ia menampilkan sisi lain seorang Choi Hyun Ki yang belum kuketahui. Sebuah sisi yang kurasa membuatnya terlihat terbebani akan sesuatu.

“Aku tidak pernah menceritakan alasanku ini sebelumnya pada semua orang, termasuk teman-teman terdekatku juga keluargaku.” Gumamnya pelan. Aku begitu terkejut mendengar pengakuannya. Rasanya tidak enak sama sekali, meminta seseorang untuk mengatakan sebuah alasan yang sebenarnya tidak pernah diketahui oleh orang lain.

“Benarkah? Ka-kalau begitu, kau tidak perlu mengatakannya padaku. Kupikir itu adalah privasimu dan aku tidak berhak tahu, lebih baik kita bicarakan hal lain saja.” Aku menarik kembali kata-kataku sebelumnya yang ingin tahu alasannya. Tidak ingin membuatnya merasa berat hati karena harus memberitahu pria yang sama sekali tidak mempunyai hubungan apapun dengannya.

Tiba-tiba gadis itu menggeleng pelan. Lagi-lagi tersenyum, walaupun bukan menampilkan senyum yang kusuka. Mata hazelnya memperlihatkan sinar kesedihan yang mendalam. Menyesal. “Aku…memutuskan untuk memberitahukan ini padamu. Karena kupikir kau adalah pria yang dapat kupercaya.”

Aku terdiam. Lantas, aku menggeser badanku semakin mendekati Hyun Ki hingga lengan kami yang berbalut mantel menempel satu sama lain. Bahkan saat angin berhembus, aku bisa mencium aroma parfum yang dipakainya. Tidak menyengat dan menusuk hidung seperti parfum yang dipakai oleh para gadis saat aku masih kuliah. Sungguh menyengat, dan hampir membuatku mati keracunan. Wangi ini justru membuatku nyaman.

“Kalau kau mempercayaiku…ceritakanlah padaku, aku siap mendengarkan. Kau tahu, aku termasuk tipikal good-listener,” ujarku untuk mencairkan suasana.

“Ceritanya panjang, dan kupikir kau akan tertidur jika mendengarkannya,” dia terkekeh. “Taruhan denganku, kalau aku tidak tertidur atau mengantuk sedikitpun, kau harus mentraktirku makan.”

Gadis itu mulai bercerita dan aku sibuk mendengarkan, juga memperhatikan gurat-gurat wajah kesedihan miliknya dan mata hazelnya yang tetap terlihat bersinar.

“Aku mempunyai adik perempuan berumur 10 tahun dan dia…cacat.” Hyun Ki menggantungkan kalimatnya saat mengucapkan kata ‘cacat’. Terdengar berat di telingaku. “Dulu aku beranggapan jika seseorang memiliki anggota keluarga yang cacat, itu hanya akan menjadi aib keluarga, tidak berguna sama sekali. Aku tidak pernah terima kalau aku mempunyai adik yang cacat. Tidak bisa berbicara dan hanya mengerti perkataan orang dengan isyarat tangan. Walaupun begitu, Eomma dan Appa tetap sayang padanya. Dan kupikir kau pasti bisa menebak tentang aku. Aku membencinya, aku tidak suka mempunyai adik yang cacat. Memalukan.”

Aku tidak berkomentar, tetap mendengarkan ceritanya yang semakin lama semakin terdengar memilukan. “Aku ingin sekali dia enyah, lebih baik aku menjadi anak tunggal untuk selamanya daripada aku memiliki adik yang cacat. Itu membuatku semakin berpikiran jahat dan picik. Aku menjahatinya, mengabaikannya, tidak pernah mengakuinya sebagai adik disaat teman-temanku datang dan bertemu dengannya. Aku hanya bilang dia anak panti asuhan yang diadopsi oleh orangtuaku karena belas kasihan.”

“Aku selalu memarahinya, mencari-cari kesalahan agar orangtuaku berpihak padaku. Kebencianku terus berlanjut sampai pada saat hari ulang tahunku…” tubuhnya mulai bergetar, dan aku melihat bulir-bulir air mata mulai jatuh di atas pahanya. Ia menunduk, menyembunyikan kesedihannya dariku. Refleks tanganku mencoba menyentuh bahunya dan segera merangkulnya.

“Kalau kau tidak ingin menceritakannya, tidak usah. Aku tidak memaksamu untuk meneruskan…” aku menahannya, tapi justru dia malah menolaknya. Ia ingin terus bercerita padaku.

“Adikku memberikan sebuah hadiah untukku. Sebuah scrapbook yang ia buat dengan susah payah, dan aku tahu dia sepanjang malam membuatkan scrapbook itu khusus untukku, sebagai hadiah ulang tahunku ke 19…”

“Saat hari ulang tahunku, Eomma dan Appa pergi keluar negeri untuk bekerja, dan aku hanya bersama adikku dan pelayan-pelayan di rumahku saja. Disaat aku tengah meniup lilin kue ulang tahunku yang dibawa oleh pelayan, adikku datang dengan riangnya memberiku sebuah scrapbook yang menurutku sangat jelek dan berantakan. Lem berantakan, potongan kertas tak beraturan, bahkan ada noda darah yang kupikir adalah darahnya membuat scrapbook itu semakin jelek dimataku…”

“Hal yang semakin membuatku terlihat seperti orang jahat, aku membanting scrapbook itu dengan kasar dan aku menginjaknya, di depan mata adikku. Aku berkata kalau hadiahnya jelek, tidak ada gunanya. Adikku menangis dan langsung berlari keluar rumah dan aku masih masih keras kepala untuk tidak peduli. Aku justru merasa senang karena dia sudah enyah dari rumahku.” Menyedihkan, komentarku yang pertama.

“Dan kau tahu, Oppa…itu hari terakhir dimana aku melihat adikku…dia…saat itu…tertabrak mobil dengan kecepatan penuh dan dia meninggal di tempat…” gadis itu semakin menangis dan membuatku langsung memeluknya dengan segera. Mengusap-usap punggungnya pelan untuk menenangkannya yang tengah kalut karena masa lalunya.

“Aku merasa bersalah, aku merasa kalau akulah yang membuatnya tertabrak mobil dan meninggal. Aku berkali-kali meminta maaf pada orangtuaku. Appa memaafkanku tapi tidak Eommaku. Kini Eomma membenciku…dia tidak pernah mau menatap wajahku dan berbicara denganku, aku seakan seperti makhluk yang tidak terlihat di matanya. Karena itulah, untuk menebus kesalahanku, aku menjadi relawan di sana, bermain dengan mereka, anak-anak penyandang cacat yang sebaya dengan adikku…”

“Aku tahu, walaupun aku bertekad menjadi relawan seumur hidupku, aku tidak akan menebus kesalahanku sebagai seorang kakak yang jahat. Tapi setidaknya bisa mengobati lukaku karena terlalu menyesali kebodohan dan kehidupanku yang gamblang.” Kini Hyun Ki semakin terisak-isak dipelukanku. Aku mengerti perasaannya. Bagaimana rasanya hidup dibayangi oleh rasa penyesalan yang tak kunjung hilang. Setiap hari kau seperti memikul beban berat di setiap waktu, tidak akan berkurang atau justru malah semakin memberat.

“Bagaimana menurutmu? Aku tidak sebaik dan menyenangkan seperti yang kau kira, aku hanya seorang kakak yang jahat…” ujarnya di sela tangisannya.

“Kau tidak jahat, Hyun Ki-ya. Kau gadis yang baik. Aku tahu itu…”

“Aku…ingin Eomma seperti dulu. Aku ingin Eomma kembali menyayangiku…kau tahu, saat aku mengobrol bersama Eomma-mu di Kona Beans, aku merasa aku sudah lama tidak memiliki waktu sebahagia ini dengan Eomma-ku. Aku ingin semuanya kembali seperti semula…” Aku merenggangkan pelukanku padanya. Aku mengangkat wajahnya dan mengusap setiap bulir air mata yang keluar dari sudut matanya.

“Kau bisa merasakannya kembali. Katakanlah pada Eomma-mu apa yang kau rasakan sekarang, kau tetap anaknya dan seorang ibu harus tetap memperhatikan anaknya walau sebesar apapun kesalahan yang diperbuat. Kau pantas mendapatkannya kembali…”

*

From : Choi Hyun Ki

 

Aku akan melakukannya sekarang…

Oppa, doakan aku 🙂

 

Dan sukses untuk performance-mu! Fighting~^^

 

Di sela menunggu penampilan Super Junior yang merupakan urutan terakhir di salah satu acara musik ditelevisi, aku mendapat sebuah pesan singkat dari Hyun Ki. Aku tersenyum tipis saat membaca isi pesan singkat dari gadis itu. Dia akan melakukannya sekarang. Aku berharap jika kehidupannya akan baik-baik saja setelah semuanya selesai.

“Kenapa senyum-senyum seperti itu?” sontak aku mengangkat wajahku. Leeteuk Hyung sedang memandangku aneh saat melihatku tersenyum sendiri, memandangi layar ponselku. Aku hanya menggeleng pelan.

“Kau mulai menyembunyikan sesuatu padaku, baiklah…”

“Hahaha, kapan-kapan akan kuberitahu, Hyung!”

“Terserah kau saja, ayo bersiap-siap! Sebentar lagi giliran kita!” Leeteuk Hyung kembali bersama para member lain yang sedang berkumpul di sofa yang tak jauh dari tempatku duduk bersantai di depan meja rias. Untuk saat ini, aku tidak terlalu tertarik dengan percakapan mereka hingga berkumpul mengerubungi sofa layaknya para ibu yang baru saja mendapat gosip baru. Aku lebih tertarik pada gadis yang satu ini, menunggu kabar baik darinya. Tiba-tiba aku tergerak untuk membalas pesan singkatnya.

 

To : Hyun Ki

 

Setelah acara ini selesai, bagaimana kalau kita minum cappucino bersama di Kona Beans? Aku ingin meminum cappucino buatanmu. Cappucino buatanmu enak sekali~^^

 

*

 

Choi Hyun Ki

 

Usai mengirim pesan singkat pada Sungmin Oppa, aku menaruh ponselku rapi di atas meja belajar. Aku akan pergi ke kamar Eomma dan melakukan hal yang sudah seharusnya aku lakukan dari awal. Aku harus melakukannya demi hubunganku dengan Eomma. Aku ingin memperbaiki semuanya.

Aku pergi ke halaman belakang, tempat Eomma menghabiskan waktu sepanjang hari di sana jika tidak ada kegiatan. Seperti biasa, Eomma selalu duduk di kursi berbahan kayu mahoni favoritnya yang di letakkan tepat di depan halaman belakang. Tentu saja dengan foto adikku di tangannya. Kedua mata hazelnya –yang diwariskan olehku –memandang foto tersebut dengan nanar. Tangannya terus membelai sosok adikku dalam bingkai foto itu. Membuatku semakin merasa menyedihkan karena merasa Eomma hanya menangisi kepergian adikku saja selama setahun ini, tidak pernah berpaling padaku. Tidak ada perhatian apapun. Tidak peduli apakah aku sudah makan atau tidak, sakit atau sehat, tidak ada kalimat cemas seperti itu lagi yang kudengar. Dan aku sangat menginginkan kalimat itu terdengar lagi di telingaku.

Aku berjalan mendeketi Eomma. Aku berdiri di depan Eomma dengan wajah nanar. Baru berdiri beberapa detik saja di sini rasanya ingin menangis. Eomma tidak menatapku, hanya menatap bingkai foto adikku.

“Eomma…mianhae…” aku meminta maaf pada Eomma.

“Eomma…” aku terus memanggilnya tanpa henti, tidak menyerah sekalipun walaupun sama sekali tidak ditanggapi. Kedua lututku kemudian melemas, aku berlutut di depan Eomma, aku menangis. Meluapkan semua apa yang kurasakan sekarang.

“Eomma! Jebal! Lihat aku! Aku ada di sini! Kenapa Eomma tidak pernah mau melihatku selama ini! Anak Eomma bukan Hyun Rin saja! Aku juga anak Eomma! Aku butuh Eomma! Aku butuh kasih sayang Eomma! Aku ingin Eomma seperti dulu lagi…” aku terisak-isak di hadapannya.

Ajaib, Eomma menolehkan kepalanya kearahku. Menatapku tidak lagi dengan tatapan mata menyudutkan dan menyalahkanku atas kepergian Hyun Rin, adikku. Kali ini Eomma menatapku dengan getir, merasa bersalah begitu tahu bagaimana perasaanku yang selama ini tidak pernah kukeluarkan sedikitpun karena aku memilih untuk diam. Eomma meneteskan air mata. Kedua tangannya menyentuh wajahku, mengangkat wajahku lalu mengusap air mataku.

Mulut Eomma yang selalu terkatup rapat untukku seketika terbuka. “Maafkan Eomma, Sayang…”

 

 

*

 

 

Kakiku melangkah ringan, berjalan melewati kerumunan para pejalan kaki yang berlawanan arah denganku. Perasaanku yang sekarang…benar-benar tak dapat kudeskripsikan dengan mudah. Kalaupun di depanku ada kertas kosong untuk kutulis, kertas itu akan tetaplah menjadi sebuah kertas kosong, aku tidak akan menulis apapun. Karena sudah kubilang sebelumnya, aku tidak mendeskripsikan perasaanku saat ini.

Masih jelas teringat diotakku, bagaimana aku memandang wajah Eomma dengan sendu, berharap jika Eomma masih sudi untuk menatap kedua mataku walaupun hanya satu detik. Aku menangis di depan Eomma, mengatakan seluruh perasaanku juga emosiku yang turut membuncah, mengeluarkan apapun yang kurasakan selama setahun penuh ini. Memberitahukan bagaimana rasanya hidup selama setahun menjadi sosok tak kasat mata di depan orang yang melahirkanmu, orang yang membesarkanmu. Menjadi seorang gadis yang hidup tanpa kasih sayang dan perhatian seorang ibu yang jelas-jelas masih berada satu tempat denganmu. Cukup menyakitkan bukan?

Aku mengeluarkan semua, berteriak hingga suaraku habis. Meminta Eomma untuk kembali seperti dulu, kembali menganggapku ada, dan memperhatikanku. Aku berlaku seperti ini karena aku anak Eomma. Aku juga butuh kasih sayang dari Eomma-ku sendiri.

Sungmin Oppa…aku harus benar-benar berterima kasih padanya. Kalau saja aku tidak bercerita padanya dan dia tidak memberikan saran padaku, aku yakin aku tidak akan pernah merasa sesenang ini. Karena Sungmin Oppa, hubunganku dengan Eomma kembali membaik dan aku sangat bersyukur akan hal itu.

Pintu Kona Beans kubuka dengan cepat hingga gemerincing lonceng kecil yang tergantung di atas terdengar cukup keras dan mengejutkan Sungmin Oppa yang sedang terpaku dengan Ipad putihnya. Dengan senyum yang sejak tadi tak kunjung memudar, aku segera berlari kecil menuju tempatnya, menarik kursi lalu duduk di atasnya.

“Eottokhae? Berjalan baik?”

Aku tersenyum, memandangnya melalui mataku yang masih terlihat sangat bengkak sehabis menangis. Aku mengangguk pelan. “Ne, gomawo, Oppa…kau sangat membantu…”

“Syukurlah sekarang hubunganmu membaik dengan Eomma-mu, Hyun Ki-ya. Aku turut senang.” Sungmin Oppa tersenyum manis, ia meraih puncak kepalaku lalu mengacak-acak poni tipisku dengan lembut. Terkejut juga berdebar-debar hingga membuat wajahku bersemu merah. Hatiku pun berdesir hangat seiring dengan wajahku yang semakin memerah ketika melihat pria itu tersenyum di hadapanku.

“Ah, iya kau masih ‘kan kalau aku memintamu untuk membuatkan cappucino untukku? Aku sangat ingin meminumnya sekarang…”

“Arraseo, aku akan membuatnya dan kau harus membayarku dua kali lipat dari harga normal!” Aku terkekeh melihatnya membulatkan kedua mata. Aku meninggalkannya dan segera berlari menuju tempat Lee Ahjumma yang masih sibuk di depan kasir Kona Beans.

“Ya! Choi Hyun Ki! Kau tidak bisa melakukan hal itu padaku!!”

*

Lee Sungmin

 

Akhir dari musim gugur yang akan segera berganti ke musim semi. Perubahan cuaca yang cukup ekstrim membuat bulu kudukku merinding. Gemetaran begitu terkena udara dingin yang menyentuh kuat kulitku.

Hari ini, tepat dimana hari ulang tahun Hyun Ki ke-21 sekaligus peringatan kematian adiknya yang menginjak tahun kedua, ia mengajakku untuk pergi ke makam Choi Hyun Rin, adiknya. Kebetulan sekali aku tidak ada jadwal kerja sehingga aku dengan senang hati untuk ikut dengannya.

Kami tiba di sebuah nisan berukirkan nama ‘Choi Hyun Rin’ di atasnya. Aku masih tetap berdiri di tempatku, sedang Hyun Ki sudah lebih dulu berlutut dan menaruh bunga mawar putih di depan nisan adiknya. Dengan senyuman khas yang kini tidak lagi terlihat menyedihkan, ia berdoa sebentar. Mengaitkan seluruh jemarinya dalam satu kepalan lalu merapalkan doa, doa terbaik untuk kehidupan adiknya di dunia yang sama sekali berbeda dengan dunia kami sekarang.

Usai berdoa, ia kembali membuka matanya, dan kali ini ia mengajak ‘adiknya’ berbicara. “Hyun Rin-ah, mianhae Eonnie baru sempat datang kesini sekarang. Dan apa kau lihat siapa ada di belakangku sekarang? Dia Lee Sungmin Super Junior. Kau suka menonton Super Junior ‘kan di televisi? Sekarang dia ada di sini, dia datang untuk menemuimu.”

Aku hanya tersenyum mendengar perkataan Hyun Ki. Aku baru tahu kalau adiknya gemar menonton kami –Super Junior –di televisi.

“Hyun Rin-ah…kau harus tahu, aku dan Eomma kembali seperti dulu lagi, Sayang. Aku senang sekali, dan seandainya kau masih ada di sini…mungkin aku akan jauh merasa lebih lengkap…” Aku turut berjongkok di samping Hyun Ki. Alih-alih ia kembali lagi menangis, aku kembali menaruh tanganku di belakang punggungnya, dan sesekali mengusap punggung kecilnya berusaha memberi kekuatan.

“Hyun Rin-ah…maafkan aku kalau selama kau hidup aku tidak pernah berlaku baik padamu, aku selalu kasar dan menganggapmu sama sekali tidak berguna. Maafkan aku…justru akulah yang tidak berguna, aku hanya cerminan anak manja yang hanya bisa merepotkan orangtua…mianhae…” Persis seperti dugaanku, dia kembali menangis.

“Adikmu pasti akan memaafkanmu, karena dia terlalu sayang padamu. Seberapa banyak kesalahan yang kau torehkan pada adikmu, kau tetap kakaknya…” Hyun Ki membenamkan kepalanya dibahuku, mencengkram kerah mantelku kuat-kuat untuk menahan rasa sedihnya. Tidak banyak yang bisa kulakukan, aku hanya berusaha untuk menenangkannya.

Hyun Ki melepaskan cengkramannya di mantelku dan menjauhkan diri dariku. Ia mengusap air matanya lalu mencoba menarik napas dalam-dalam. Jauh terlihat lebih baik. “Aku…masih menyimpan scrapbook pemberianmu, Hyun Rin-ah. Aku selalu merawatnya dan akan selalu membukanya kalau aku sedang merindukanmu…I miss you so much, dongsaeng-ah…”

“Hyun Rin-ah…kalau saja kau masih ada di sini bersama kami, aku pasti akan mengajakmu jalan-jalan atau memberikan dua tiket konser gratis Super junior juga izin masuk backstage bersama kakakmu.” Aku berceletuk hingga membuat Hyun Ki tertawa. Tidak sampai disitu saja, tanpa sadar aku mengatakan hal itu tepat di depan Hyun Ki juga adiknya.

“Dan kalau saja kau masih ada di sini, aku ingin meminta izin padamu secara langsung kalau aku ingin kakakmu menjadi pacarku.” Tawa Hyun Ki terhenti, ia menoleh cepat dan memandangku dengan tatapan terkejutnya. Aku memandangnya serius dengan senyum mengembang di bibirku.

“Kau harus tahu, Hyun Rin-ah. Aku sangat menyukai kakakmu sejak aku mengenalnya lebih jauh. Kakakmu adalah gadis yang menyenangkan dan bisa membuatku merasa lebih nyaman saat aku bersamanya…kau mengizinkanku untuk memacari kakakmu, bukan?” aku memang terkesan seperti orang gila. Tapi aku yakin kalau Hyun Rin tengah mendengar perkataanku sekarang.

“Eottokhae, Hyun Rin-ah? Bagaimana menurutmu? Apa kakakmu akan menerimaku?” tanyaku enteng sembari memandang nisan Hyun Rin dengan penuh penasaran. Kulirik sebentar, Hyun Ki tersenyum sembari mendesah pelan. Tiba-tiba ia membuka mulutnya dan melakukan hal yang sama denganku.

“Hyun Rin-ah, katakan pada pria aneh di sampingku ini kalau aku akan menerimanya karena aku memiliki perasaan yang sama dengannya.”

*

Sung-Ki’ Family Moment : Happy Father Day!

Sung-Ki’ Family Moment : Happy Father Day!

 

 Time-set : 2017 (When Min Young was 5 years old)

“Appa…” Pria yang dipanggil ‘Appa’ itu sontak mengangkat wajahnya, berpaling dari setumpuk berkas-berkas dihadapannya menuju kearah pintu yang terbuka setengah setelah didorong susah payah oleh seorang gadis mungil yang muncul dibaliknya. Pria dewasa itu membetulkan letak kacamatanya lalu tersenyum dan mengibas-ngibaskan tangannya, menyuruh sang gadis kecil untuk mendekatinya.

 

“Kenapa? Sini,” gadis kecilnya mengangguk kemudian berlari kecil menuju kursi kerja ayahnya. Sang ayah merentangkan kedua tangannya untuk meraih tubuh mungil tersebut, mengangkatnya dan menaruhnya di atas pangkuan. Sejenak ia melupakan pekerjaannya, meluangkan sedikit waktu di malam hari untuk gadis kecil yang merupakan anak pertamanya.

 

“Ada apa, Sayang?” tanyanya lembut.

 

“Appa, kamis nanti ada acara peringatan Hari Ayah, lalu…” Gadis kecil itu menggantungkan ucapannya membuat Sungmin –pria itu –mengangkat kedua alisnya. Gadis kecilnya terlihat seperti sedang berpikir, ragu untuk mengatakan kelanjutan dari kalimatnya tadi.

 

“Lalu apa?”

 

“Setiap murid harus tampil dengan Appa-nya di atas panggung. Appa…bisa datang ‘kan?” tanya gadis itu. Sungmin tertawa kecil. Tangannya yang bebas meraih puncak kepala gadisnya lalu diacak-acak rambutnya pelan.

 

“Tentu saja Appa bisa datang, Youngie-ya! Kita akan tampil bersama nanti!” Gadis yang dipanggil ‘Youngie’ itu tidak menjawab dan hanya menatap ayahnya ragu.

 

“Kenapa lagi?”

 

“Aku tidak yakin Appa akan datang. Acara-acara kemarin saja Appa janji akan datang tapi ternyata tidak…” Min Young –Youngie –menunduk, sibuk meremas-remas ujung piyama bermotif bunga-bunga yang dikenakannya.

 

Astaga, anak gadisnya yang satu ini masih saja mengingat kesalahan-kesalahan Sungmin kemarin. Baiklah, Sungmin memang salah karena sudah berjanji untuk datang namun tidak sesuai harapan. Ia tidak datang. Tapi itu sama sekali bukan maunya. Pekerjaan, meeting mendadak, atau pertemuan dengan klien sukses menyita waktunya hingga membuat ia tidak bisa memenuhi janji ataupun permintaan anak-anaknya.  Membuatnya tidak memiliki waktu banyak untuk berkumpul bersama keluarga, hingga membuat anak-anak lebih dekat dengan ibunya daripada ayahnya, yaitu dirinya sendiri.

 

“Youngie tidak perlu khawatir, kali ini Appa benar-benar berjanji untuk datang dan tampil denganmu.” Tangan kekar Sungmin menepuk puncak kepala Min Young lembut diikuti dengan usapan hangat darinya hingga terbentuk sebuah senyum kecil di wajah cantik gadis kecilnya.

 

“Yaksok?” Min Young menunjukkan jari kelingking mungilnya pada Sungmin. Pria itu juga melakukan hal yang sama seperti anaknya, menunjukkan jari kelingking lalu ditautkannya dengan jari kelingking mungil milik anak gadisnya yang seketika membuat wajah gadis itu semakin berseri-seri dan sontak memeluknya.

 

“Gomawo, Appa!” Gadis itu terus memeluk ayahnya dengan erat. Terlalu senang. Baru kali ini ia melihat Min Young begitu senang mengingat jika gadis kecil itu termasuk tipikal pendiam dan introvert, juga jarang menunjukkan sisi kekanakkan dan kesenangannya pada setiap orang.

 

“Youngie-ya~ ternyata kau di sini. Eomma sudah mencarimu kemana-mana, Sayang.” Tak lama muncul seorang wanita dewasa dari balik pintu ruang kerja Sungmin. Wanita itu melangkah masuk kedalam mendekati keduanya –Sungmin dan Min Young –lalu menggendong gadis kecil tersebut.

 

“Youngie harus tidur sekarang. Youngie tidak mau dimarahi oleh Songsaenim bukan?” Gadis itu menggeleng pelan.

 

“Jadi sekarang Youngie harus tidur. Eomma akan menemanimu, ne?” Choi Hyun Ki –wanita itu –mencubit hidung mancung milik Min Young hingga membuat gadis kecil itu tersenyum dan kemudian tertawa. Manis.

 

“Appa, aku tidur dulu.” ujar Min Young polos. Sisi polos yang dimiliki Min Young sukses membuat Sungmin merasa gemas padanya. Pria itu mengacak-acak poni halus Min Young lalu memberikan sebuah kecupan manis dipipi Min Young.

 

“Selamat bermimpi indah, Youngie-ya. Jjaljayo!”

 

“Oppa, kau juga harus tidur. Kau ‘kan harus masuk kerja besok!” ucap Hyun Ki.

 

“Ne, sedikit lagi aku akan menyelesaikan pekerjaanku.”

 

“Kajja!” Bersama Min Young di dalam gendongannya, Hyun Ki beranjak pergi dari ruang kerja Sungmin menuju kamar Min Young yang berada di lantai dua. Sungmin tersenyum saat melihat anak pertamanya itu menguap, lalu menjatuhkan kepalanya di bahu Hyun Ki dan kemudian menutup matanya. Menggemaskan.

 

Ah, iya fokus. Pria itu kembali memfokuskan dirinya pada setumpuk berkas yang tidak akan selesai dengan sendirinya. Sungmin mengerjakannya dengan cepat, tidak ingin berlama-lama di ruangan sepi yang hanya ditemani dengan suara jarum jam bergerak. Ia harus menyelesaikannya sekarang juga dan kemudian beristirahat.

 

 

*

 

Next Thursday

 

 

Gadis kecil berkuncir dua itu terus menoleh setiap menit kearah pintu aula milik taman kanak-kanaknya. Ia menunggu seseorang, siapa lagi kalau bukan ayahnya. Kakinya terus digoyang-goyangkan, seiring tolehannya kearah pintu. Kenapa ayahnya belum datang sampai sekarang? Padahal sebentar lagi acaranya sudah mau dimulai. Kemudian gadis itu mendongakkan kepalanya kesebelah, kearah ibu-nya yang kini sedang sibuk dengan adiknya yang masih berusia tiga tahun.

 

Tangan mungilnya mencengkram cardigan hijau yang dipakai Hyun Ki –ibunya –dan ditariknya dengan pelan. “Kenapa, Sayang?”

 

“Appa…kenapa belum datang?” Hyun Ki tertegun. Benar juga. Sungmin belum datang dan memperlihatkan batang hidungnya di depan Hyun Ki. Kemana pria itu? Sepertinya Hyun Ki harus menelepon Sungmin. Memastikan pria itu masih mengingat janjinya untuk datang dan tampil bersama dengan Min Young.

 

“Ng…mungkin masih dijalan, Sayang. Eomma mau keluar sebentar, Eomma harus menelepon Appamu. Chakkaman!” Sambil menggendong Min Ji –anak keduanya, Hyun Ki beranjak berdiri. Ia berjalan kearah tengah ruangan untuk menemui Hae Mi yang sedang berbicara dengan salah satu staff guru taman kanak-kanak tersebut.

 

“Hae Mi-ya!” panggilnya. Wanita yang dipanggil ‘Hae Mi’ itu menoleh, meninggalkan guru wanita itu untuk mendekati Hyun Ki.

 

“Waeyo?”

 

“Aku harus menelepon Sungmin Oppa, bisa kutitipkan Youngie dan Min Ji sebentar?”

 

“Tentu saja. Lagipula Hyuk Jae Oppa dan Jae sedang berlatih di luar jadi aku tidak ada kegiatan. Min Ji-ya~ sini sama Hae Mi Eomma~” Hae Mi meraih tubuh mungil milik Min Ji dan mengambil alih Min Ji dari ibunya. Baguslah, tidak susah untuk menitipkan Min Ji pada Hae Mi. Tidak seperti Min Young ketika masih kecil. Sulit sekali menyuruhnya untuk bersama orang lain karena karakternya yang pendiam dan hanya ingin kedua orang tuanya.

 

“Gomawo, Hae Mi-ya! Aku segera kembali!” Hyun Ki berjalan cepat, bergegas keluar dari aula tersebut dan segera menelepon Sungmin.

 

“Yeoboseyo…” Suara yang terdengar memelas itu terdengar dari seberang.

 

“Oppa! kau dimana?” Tanya Hyun Ki tanpa basa-basi dan nada lembut sekalipun. Wanita itu mulai kesal karena suaminya tak kunjung datang.

 

“Aku…di kantor…”

 

“Mworago!? Ya! Bukankah Youngie sudah mengingatkanmu hari ini untuk datang?”

 

“Dengarkan aku dulu! Aku ingat dan selalu ingat kalau hari ini aku tampil dengan Youngie di sekolahnya! Aku sudah bersiap-siap untuk pergi tadi, tapi…”

 

“Tapi apa?” Hyun Ki menyela ketika Sungmin memberikan jeda pada perkataannya.

 

“Tapi aku ada meeting mendadak. Eottokhae?”

 

“Itu bukan urusanku. Aku tidak mau tahu, terserah kau bagaimana caranya kau datang tepat waktu sebelum kalian berdua tampil. Kalau kau coba-coba membuat Youngie kita kecewa lagi, aku tidak akan memperbolehkanmu masuk kedalam rumah apalagi masuk kamar!”

 

“Ya! Hyunnie! Kau…”

 

CLICK!

 

Hyun Ki langsung memutuskan pembicaraannya dengan Sungmin. Tidak mau tahu. Terserah pria itu mau beralasan apa yang jelas pria itu harus datang sesegera mungkin sebelum gadis kecil mereka menangis kecewa dihadapan mereka berdua.

 

Hyun Ki kembali memasuki ruangan, kembali ke tempat duduknya bersama anak-anak dan para orang tua murid yang lain di barisan depan. Sadar jika ibunya sudah kembali, Min Young segera memutar badannya yang semula menghadap Hae Mi dan Min Ji menjadi kearah Hyun Ki yang tengah mendesah keras.

 

“Eomma, bagaimana Appa?” Hyun Ki hanya bisa tersenyum lalu mengusap puncak kepala Min Young. “Appa akan datang nanti.”

 

“Appa pasti datang ‘kan?” Hyun Ki mengangguk.

 

Semoga saja.

 

 

*

 

“Ya! Hyunnie! Kau…”

 

TUT TUT TUT

 

Panggilannya diputus. Ponselnya diturunkan pelan-pelan dengan wajah memelas dan ia kembali memasukkan ponselnya kedalam saku jasnya. Pria itu tidak pernah bermaksud untuk mengecewakan Min Young untuk kesekian kalinya. Ini hanya tentang masalah waktu yang membuat selalu membuat putrinya kecewa. Lalu sekarang bagaimana? Kalau ia kembali melewati momen penting seperti ini, bukan hanya Min Young yang kecewa, bahkan Hyun Ki juga akan kecewa padanya.

 

“ARRGH!! Mati aku!” Sungmin meremas kuat-kuat rambut hitamnya. Frustasi.

 

“Sungmin-ah?” Sungmin mengangkat kepalanya, mendapati sosok tegas milik ayahnya sudah berdiri di sampingnya. Buru-buru ia merapihkan rambut juga penampilannya yang mulai berantakan saking frustasinya.

 

“O, Appa…” ucapnya ragu-ragu.

 

“Ada apa denganmu? Ada masalah?”

 

“Ng…anio…tidak ada apa-apa…”

 

“Benarkah? Sebentar lagi meeting akan dimulai. Ayo kita masuk bersama-sama,” Sang ayah mengajaknya untuk masuk bersama. Perlukah hari ini ia menyalahkan ayahnya? Ayahnya-lah yang membuat meeting mendadak hari ini, dan membuat rencananya berantakan. Beliau membuat meeting hanya bertujuan untuk mengetahui perkembangan perusahaannya yang kini dikelola oleh anaknya.

 

Anio. Jangan menyalahkan ayahmu sendiri. Dia tidak tahu apa-apa. Kaulah yang harus menyelesaikannya sendiri, batin Sungmin sembari meredakan emosinya.

 

“Ah, Appa! Chakkaman!” panggilnya.

 

“Kenapa?”

 

“Ah…tidak…tidak ada apa-apa…” Sungmin mengutuk dirinya sendiri, ia tidak bisa mengatakannya secara langsung pada ayahnya. Ditambah dengan melihat wajah bijak ayahnya juga para karyawan yang sudah berkumpul ruang meeting semakin membuatnya mengurungkan niat untuk tidak ikut rapat dan pergi sesegera mungkin ke sekolah Min Young.

 

Sungmin melihat arah jarum jam yang terlihat di arloji miliknya. Acara sudah dimulai. Pria itu hanya bisa berdoa agar meeting dapat selesai dengan cepat dan ia sampai tepat waktu di sekolah Min Young.

 

*

 

“Min Young-ah, sebentar lagi giliranmu! Ayo bersiap-siap!” Guru kelas Min Young memanggil gadis itu yang tengah duduk bersama Hyun Ki di barisan bangku para orangtua murid dan anak-anaknya.

 

Gadis kecil itu hanya diam dan melemparkan pandangan kearah Hyun Ki. Memandangnya dengan wajah sendu. Matilah kau, Lee Sungmin, batin Hyun Ki. Hyun Ki beranjak dari duduknya, mengajak staff itu berbicara berdua mengenai suaminya yang tak kunjung datang sampai sekarang dengan sesekali melirik kearah Min Young yang terus-terusan menunduk dan sama sekali tidak berniat untuk menonton penampilan teman-temannya bersama sang ayah.

 

“Jwesonghamnida, Songsaenim. Min Young Appa…belum datang sampai sekarang, jadi bagaimana?”

 

“Tidak apa-apa, Nyonya. Sambil menunggu ayahnya bagaimana kalau Min Young tetap pergi ke backstage untuk bersiap-siap?”

 

“Ah…baiklah,” ragu-ragu Hyun Ki kembali ke tempat asalnya. Wanita itu berjongkok di samping Min Young, tersenyum tipis memperhatikan garis wajah polos milik anaknya yang kini berubah sendu sembari memandangi lantai marmer di bawahnya.

 

“Youngie-ya~ kata Songsaenim kita harus ke backstage sekarang. Sebentar lagi penampilanmu. Kajja!” Hyun Ki mengusap-usap puncak kepala Min Young. Bukannya menurut, gadis itu justru menyandarkan tubuh mungilnya di kursi, mulai meremas ujung white-dress yang dikenakannya juga menggoyang-goyangkan kedua kaki kecilnya.

 

“Appa…tidak datang…” gumamnya kecil bahkan hampir tidak terdengar karena tertelan suara musik lagu anak-anak yang terlalu mendominasi di seluruh penjuru ruangan.

 

“Anio~ Appa datang, Sayang. Kita akan menunggu Appa di backstage. Ada Yun Jae di sana dan kau bisa bermain dengannya sambil menunggu Appa. Ne?” Min Young mengangguk pelan. Gadis itu turun dari bangkunya lalu meraih tangan Hyun Ki yang mengajaknya untuk bergandengan.

 

*

 

Min Young semakin menunduk, penampilannya sengaja diubah menjadi penampilan terakhir sembari menunggu Sungmin datang. Hyun Ki yang duduk di sebelahnya terus menerus mencoba untuk menghubungi Sungmin namun tidak ada jawaban. Tidak aktif. Pria itu benar-benar…rutuknya dalam hati.

 

Gadis kecil itu sedang menahan tangisnya, air mata yang keluar buru-buru dihapusnya dengan kasar. Kalau begitu sejak awal lebih baik ia tidak datang ke sekolah dan berdiam diri saja dirumah daripada berada di tempat ini, menunggu sang ayah yang tidak tahu kapan datang. Disisi lain Hyun Ki memandang iba gadis kecilnya itu. Kekecewaan Min Young kali benar-benar tidak bisa ditoleransi lagi, bisa-bisa hubungan ayah dan anak tersebut bisa makin renggang dan anak ini bisa saja tidak mau bicara lagi dengan ayahnya. Astaga, demi Tuhan Hyun Ki tidak tahu harus bagaimana lagi.

 

Hyun Ki berdiri, berhadapan dengan Min Young yang masih duduk dalam keadaan menundukkan kepalanya. Wanita itu berjongkok, memandang gadis itu dalam-dalam dengan sinar mata menenangkan.

 

“Youngie-ya~ uljima…” gumam Hyun Ki pelan dan lembut.

 

“Eomma…aku…tidak mau tampil…”

 

“Anio, Sayang. Kau harus tampil. Bagaimana kalau Youngie tampil bersama Eomma? Eomma bisa menggantikan Appa di atas panggung jadi kau tetap bisa tampil seperti semua teman-temanmu. Ya?” Min Young menggeleng, tangannya semakin meremas ujung white-dress. Jauh lebih kasar dari sebelumnya.

 

“Tidak mau…aku tidak mau tampil…Appa…jahat…” Min Young bicara dengan suara bergetar membuat sang ibu turut merasa bersalah karena tidak bisa berbuat apa-apa untuk gadis kecilnya.

 

“Sayang, sini peluk Eomma.” Hyun Ki merentangkan kedua tangannya hangat. Gadis itu turun dari bangkunya lalu memeluk Hyun Ki dengan erat. Menangis.

 

“Youngie-ya~” suara laki-laki kecil sontak membuat Hyun Ki menoleh. Yun Jae tengah berlari kecil menuju kearahnya lalu memandang gadis kecil yang tengah menangis itu dengan polos.

 

“Hyunnie-ya? Youngie kenapa?” Hyuk Jae –ayah Yun Jae –yang kebetulan sedang bersama Yun Jae bertanya pada Hyun Ki.

 

“Ini semua karena Hyung-mu…” gumam Hyun Ki sinis.

 

“Mwo? Sungmin Hyung?”

 

“Siapa lagi kalau bukan dia…”

 

“Youngie-ya, bukannya setelah ini kau tampil?” tanya Yun Jae pada Min Young yang masih sesenggukan dipelukan ibunya. “Aku tidak mau…aku mau pulang…Appa tidak datang…”

 

“Youngie-ya…kau bisa meminjam Appa-ku jika kau ingin tampil…” jawab Yun Jae polos hingga membuat Hyuk Jae melotot. Entah polos atau bagaimana, perkataan Yun Jae termasuk kedalam perkataan yang tidak mengenakkan untuk gadis polos seperti Min Young.

 

“Lee Yun Jae! Jangan berkata seperti itu…” Hyuk Jae berkata tegas.

 

“Tidak mau…aku mau Appa…” Jawab Min Young disela isakkannya.

 

Hyun Ki bangkit berdiri, menggendong Min Young sembari mengusap-usap punggung kecil miliknya dengan hangat. Berusaha untuk menenangkan sang anak agar tangisannya reda. Sementara itu Min Young masih sesenggukan, memeluk leher ibunya dengan kepala yang ditopangkan di atas bahu Hyun Ki. Wajah dan matanya masih memerah.

 

“Youngie-ya~ bagaimana kalau Youngie bermain dengan Hyuk Jae Ahjussi? Kita juga bermain bersama Yun Jae. Supaya Youngie tidak menangis lagi,” Hyuk Jae mengelus puncak kepala Min Young, mengajaknya untuk bermain bersama. Namun lagi-lagi Min Young hanya menggeleng dan terus menangis.

 

“Youngie-ya~ Hyuk Ahjussi dan Yun Jae mengajakmu bermain. Kau tidak mau? Atau Youngie mau bermain dengan Eomma?” Min Young tetap menggeleng. Hyun Ki mendesah pelan.

 

“Youngie hanya mau Appa-nya bukan yang lain,” gumam Hyun Ki.

 

“Dia bukan anakku, tapi aku merasa aku juga ikut repot dan merasa bersalah karena pria itu,” decak Hyuk Jae. Hyun Ki mengangkat bahunya dan kembali berusaha menenangkan anaknya.

 

*

 

Sungmin bergegas keluar dari mobilnya kemudian berlari cepat mencari letak aula. Sebentar lagi acara akan segera selesai. Astaga, bagaimana keadaan anaknya…ia harus cepat.

 

Pria itu bernafas lega saat menemukan sebuah gedung berukuran cukup besar dengan spanduk bertuliskan ‘Acara Peringatan Hari Ayah’ di atasnya. Sungmin kembali memacu kecepatannya, terus berlari seperti orang kesetanan untuk mencari Min Youngnya. Di pintu depan, ia bertemu guru yang ia ketahui adalah guru kelas Min Young.

 

“Songsaenim, annyeong haseyo.” Sungmin membungkukkan badannya sopan.

 

“O, Min Young Appa! Akhirnya Anda datang!” serunya dengan wajah berseri-seri.

 

“Jwesonghamnida, saya datang terlambat. Dimana Min Young?”

 

“Oh, Min Young ada di backstage bersama Eomma-nya. Mari saya antarkan!”

 

*

 

“Youngie-ya~ uljima…” Hyun Ki terus menepuk-nepuk punggung kecil Min Young. Entah sudah berapa lama gadis kecil itu menangis dipelukannya. Hyun Ki memandangi jam yang terpasang di dinding backstage. Tinggal beberapa menit lagi acara selesai, dan sampai sekarang suaminya masih belum datang. Karena sibuk menenangkan Min Young, bahkan Hyun Ki tidak tahu di mana Min Ji dan Hae Mi sekarang. Ah, mungkin sedang berada di luar.

 

“Youngie-ya!!” Hyun Ki menoleh. Matanya melebar ketika melihat Sungmin berjalan masuk kedalam backstage bersama guru Min Young. “Oppa!”

 

Sungmin berjongkok dihadapan Hyun Ki, tangannya meraih tubuh kecil Min Young. “Youngie-ya~ ini Appa, Sayang…”

 

Min Young memutar kepalanya, memperlihatkan wajah sembabnya pada ayahnya. “Aigoo~ anak Appa sedang menangis rupanya.” Sungmin menarik tubuh kecil gadis kecilnya lalu menggendongnya kuat. Pria itu mencium pipi Min Young lalu kembali mengusap-usap punggungnya. Gadis itu kembali menangis. Bukan karena kesal atau sedih, melainkan senang karena Appanya sudah datang dan kini menggendongnya.

 

“Maafkan Appa, Sayang. Appa salah karena terlambat. Youngie masih mau tampil dengan Appa ‘kan?” tanya Sungmin lembut. Gadis itu mengusap air matanya lalu mengangguk. Sungmin tersenyum.

 

“Youngie sekarang harus tersenyum kalau ingin tampil dan jangan menangis lagi, arrachi?” Hyun Ki mengusap wajah Min Young yang basah, menghapus air mata bening milik anaknya yang masih terus keluar. Gadis kecil itu tersenyum manis dan kembali mengangguk.

 

“Kalau begitu Min Young dan Min Young Appa harus bersiap-siap sekarang. Mari saya antar!”

 

“Oppa, aku akan kembali ke bangku penonton, aku akan merekam penampilan berdua!”

 

“Ne. Kajja, Youngie-ya!”

 

*

 

“Gom sema-ri-ga, han chi-be-yi-so, appa gom omma gom ae-gi gom, appa gommun tung-tung-hae, omma gommun nal-shin-hae, ae-gi gommun na bul-gwi-yo-wo, hishuk hishuk cha-rhan-da…” Gadis kecil itu bergerak lincah di atas panggung tampil bersama ayahnya sambil menyanyikan lagu ‘Gom Se Mari’. Sambil tertawa kecil, Hyun Ki merekam dari awal sampai akhir penampilan kedua orang anggota keluarga kecilnya tersebut.

Wajah Min Young…benar-benar terlihat senang saat tampil bersama ayahnya, begitupun sang ayah. Pria itu tidak merasa malu menari konyol sesuai dengan lagunya karena ada gadis kecil tersebut di samping. Tidakkah Hyun Ki bahagia melihat sebuah kehangatan yang terpancar dari kedua orang itu di atas panggung?

Begitu selesai, riuh tepuk tangan mulai memenuhi seluruh isi ruangan. Hyun Ki pun turut bertepuk tangan untuk mereka dan tak lupa memberi acungan jempol kepada keduanya yang kini tengah tersenyum lebar.

Sungmin mengecup pipi Min Young kembali. Gadis kecilnya tersenyum lalu menghadiahi sebuah pelukan kecil darinya untuk Sungmin. Erat dan hangat.

*

“Youngie-ya~ bagaimana perasaanmu setelah tampil bersama Appa, Sayang?” Hyun Ki bertanya pada Min Young yang berada di gendongan Sungmin. Min Young diam sejenak, memalingkan wajahnya kearah Sungmin sekilas lalu kembali kearah Hyun Ki.

“Ng!” Gadis itu mengangguk singkat sambil tersenyum. “Aigoo~ neomu kyeowo~” Gemas, Hyun Ki mencubit salah satu pipi Min Young dengan tangan yang bebas –sementara tangannya yang lain menggendong Min Ji.

“Appa…ini…” Setangkai bunga carnation pink digenggamnya diberikan untuk sang ayah. Melambangkan betapa gadis kecil itu sangat menyayangi ayahnya dan berterima kasih pada ayahnya karena telah datang dan tampil bersama.

Sebelum pulang bersama kedua orangtua juga adiknya, Min Young sempat pergi sebentar menemui gurunya. Ia meminta bantuan gurunya untuk mencari sebuah carnation pink yang ingin ia berikan kepada ayahnya. Karena telah dipersiapkan oleh sang guru di sebuah tempat, Min Young mengambil setangkai bunga carnation tersebut dan kemudian dibawanya.

“Ini buat Appa?” tanya Sungmin. Min Young mengangguk. Sungmin tersenyum lalu mengambil bunga tersebut dari tangan Min Young. “Bunganya bagus sekali, Sayang. Terima kasih.” Sungmin mengacak-acak poni halus milik anaknya.

Min Young kembali tersenyum, juga kembali memeluk ayahnya dengan erat. “Gomawo, Appa. Youngie sayang Appa.”

*

Lyrics Translation

Once there were three bears
who lived in a cottage
Papa Bear
Mama Bear
Baby Bear
Papa Bear was chubby and fat
Mama Bear was slender and tall
Baby Bear was the cutest one of all
That’s because he was so small

*

Sung-Ki Moment : Grateful

Sung-Ki Moment : Grateful

 

 

May 22nd 2012

Hospital

02.00 PDT

 

Namja itu sibuk memijit-mijit tengkuk lehernya tegang, diiringi dengan mulut yang menguap lebar saking mengantuk dan lelahnya. Baru saja ia menyelesaikan sebuah acara musik bersama grupnya, Super Junior, dan ia sekarang sudah berada di rumah sakit. Ia tidak bisa seperti yang lain, beristirahat di hotel tempat mereka menginap, berselimutkan selimut tebal putih yang nyaman di atas tempat tidur yang empuk, mengiringi mereka menuju alam mimpi. Ia tidak ingin tidur dan tidak berniat untuk tidur. Namja itu tetap bersikeras menahan rasa kantuknya yang besar dengan cara menikmati fitur-fitur canggih yang ada di Ipad putih milik yeoja yang kini berbaring di depannya. Tidak sadarkan diri dengan selang infus dan alat bantu pernapasan terpasang di wajahnya.

 

Istrinya tak kunjung sadar sejak kemarin akibat kejadian tadi malam. Hyun Ki –istrinya –terpeleset kedalam kolam renang yang jelas-jelas merupakan tempat yang paling dihindari olehnya karena trauma berat. Dan ini salahnya, kalau saja saat itu mereka tidak bertengkar dan tidak mementingkan ego masing-masing, ia yakin saat ini ia sudah berada di hotel, tertidur sambil memeluk tubuh istrinya dengan tersenyum. Tidak seperti ini. Terus menunggu kesadaran sang istri yang entah kapan sadarnya.

 

Lee Sungmin –namja itu –sudah merasa bosan dengan Ipad yang setia menemaninya sejak beberapa jam yang lalu. Berbagai fitur-fitur menarik tetap tidak akan menghilangkan bosan yang mendera. Ditaruhnya Ipad milik Hyun Ki tersebut di atas meja, kemudian ia menarik kursi yang didudukinya mendekat pada ranjang rawat Hyun Ki. Namja itu terus memperhatikan lekuk wajah pucat namun tetap kelihatan cantik itu dengan desahan pelan. Kembali mengingat apa yang dikatakan dokter sebelumnya setelah Hyun Ki diperiksa.

 

“Kami tidak bisa memastikan kapan istri Anda akan sadar, karena shock berat yang dialaminya. Terus berdoa agar diberikan yang terbaik oleh Tuhan.”

 

Sungmin meraih tangan Hyun Ki lalu diremasnya lembut dan penuh cintanya. Pelan-pelan ia mengangat tangan lemas tersebut dan kemudian ditaruhnya di atas perut yeoja itu bersama dengan tangannya. Merasakan bersama-sama sebuah kehidupan baru di perut istrinya tercinta.

 

“Mianhae atas sikapku kemarin, Hyunnie-ya. Aku benar-benar tidak bermaksud seperti itu padamu, maafkan aku…” lirihnya dengan senyum miris. Disaat tangannya –bersama tangan Hyun Ki tentunya –sibuk mengelus lembut perut yang kini mulai terlihat besar milik istrinya, tangannya yang lain terangkat untuk meraih puncak kepala Hyun Ki dan kemudian diusap, sebuah kebiasaan yang sering ia lakukan saat bersama Hyun Ki-nya.

 

“Aku tadi…sempat berbicara dengan dokter mengenai kandunganmu. Syukurlah kandunganmu baik-baik saja, walaupun dokter tidak yakin apakah kejadian tadi akan sangat berpengaruh pada kandunganmu.”

 

“Cepatlah kau sadar dan kita akan menjalani kehidupan seperti biasa. Kita akan menghabiskan waktu bersama lebih banyak. Kau, aku, dan anak kita. Hanya kita bertiga.” Sungmin bangkit berdiri, membungkukkan badannya sebagian agar bisa mencapai tubuh sang istri. Sedetik kemudian, ia memberikan kecupan penuh sayang dipuncak kepalanya. Memberikan seluruh perasaan cintanya untuk Hyun Ki, seiring dengan doa yang selalu ia panjatkan untuk kesadaran dan kesembuhan Hyun Ki.

 

 

Disaat masih mengecup puncak kepala Hyun Ki, sontak ia merasakan sebuah sentuhan hangat di dalam genggaman tangannya. Membuatnya sedikit tercengang dan segera melepaskan kecupannya dari kepala istrinya. Kedua matanya melebar dan mulutnya sempat terbuka. Nafasnya naik-turun dibalik wajahnya yang berseri-seri, menarik sebuah senyuman bahagia di wajahnya yang lelah.

 

“Hyunnie-ya! Kau sudah sadar? Apa kau bisa mendengarku?” tanya bertubi-tubi.

 

Kedua mata milik Hyun Ki kembali terbuka, kembali memperlihatkan bola mata coklat beningnya yang cantik. Ruangan putih beraroma khas itu membuatnya berpikir dalam diam dan kemudian ia –Hyun Ki –tahu dimana dirinya sekarang. Sinar lampu ruangan yang menyilaukan tertutup oleh kepala seseorang yang kini memandang intens di atasnya, terlihat seperti siluet karena membelakangi cahaya namun ia tahu siapa pemilik sebenarnya. Hyun Ki tersenyum lemah, ia mendapati suaminya tengah berwajah senang karena kesadarannya.

 

“Hyunnie-ya…syukurlah…”

 

 

*

 

June, 13rd 2012

Home

01.00 KST

 

 

Namja berjalan terhuyung-huyung menuju ruang tengah rumahnya. Begitu melihat sofa yang terletak di tengah ruangan, ia langsung berjalan cepat dan menghempaskan badannya yang lelah di atas sofa. Sungmin –namja itu –tidak sanggup untuk naik ke lantai dua menuju kamarnya, kedua matanya sudah mendesak untuk tertutup secepatnya dan badannya tak lagi punya tenaga untuk naik keatas yang rasanya terlihat seperti mempunyai beribu-ribu anak tangga.

 

Matanya perlahan mulai terpejam rapat, namun tak lama kembali terbuka setelah mendengar suara dentingan piano di ruang musik yang tak jauh dari tempatnya. Siapa yang bermain piano malam-malam begini? Sungmin bukanlah tipikal orang yang mudah percaya dengan makhluk tak kasat mata. Ia tidak percaya dan tidak akan mau percaya. Pasti Hyun Ki. Siapa lagi kalau bukan Hyun Ki, tidak ada penghuni lain di rumah ini selain dirinya dan Hyun Ki.

 

Sungmin melangkahkan kakinya berat menuju ruang musik. Ia memutar kenop pintunya dan kemudian mendorongnya kedalam. Hyun Ki tengah bermain sendirian ditemani dengan lampu kecil dengan sinar remang-remang. Yeoja itu terus memainkan jemari-jemari lentiknya di atas tuts piano sembari menikmati alunan melodi yang dibuatnya sediri. Menghayati. Namja itu tersenyum melihat sosok anggun milik istrinya disaat bermain piano. Jarang-jarang ia menemukan Hyun Ki bermain piano sendirian diruang musik dan kadang enggan memainkannya jika disuruh.

 

“Jadi kau ada di sini?” Permainan Hyun Ki pun terhenti. Yeoja itu menoleh dan mendapati namja-nya berdiri di samping pintu ruang musik sambil tersenyum. Canggung, ia memutar badannya menghadap kearah Sungmin dengan senyum aneh mengembang.

 

“Op-Oppa…mendengarkan permainanku, ya? Pasti aneh sekali…” ia menggaruk kepalanya, menimbulkan sedikit ‘kerusakan’ di rambut ikalnya.

 

“Kata siapa permainanmu aneh? Permainanmu bagus.” Sungmin melangkahkan kakinya masuk dan mengambil posisi duduk di samping Hyun Ki.

 

“Kenapa kau belum tidur?”

 

“Aku tidak ingin tidur sebelum Oppa datang. Aku ingin menunggumu.” Jawabnya enteng sembari memain-mainkan kedua kakinya.

 

“Mwo? Kau baru saja sembuh dan pulang dari rumah sakit kemarin, dan sekarang kau mulai nakal lagi.” Sungmin tiba-tiba mencubit hidung mancung milik Hyun Ki saking gemasnya, membuat Hyun Ki meringis seraya memukul tangan Sungmin yang mencubitnya.

 

“Shireo! Aku ingin tidur setelah Oppa datang.” Yeoja itu mencibir hingga membuat Sungmin terkekeh. “Jadi…kau ingin tidur bersamaku supaya kau bisa memelukku? Wah…kau genit sekali.”

 

Sontak, Hyun Ki langsung memukul bahu Sungmin keras dan kemudian ia membuang muka, menyembunyikan semburat merah yang terlihat jelas di pipinya. “Aku tidak genit! Jangan menggodaku!”

 

“Aegi-ya~ Eomma-mu genit sekali pada Appa!”

 

“Anio!”

 

Sungmin tergelak. Gelak tawanya memenuhi seluruh isi ruang musik disaat Hyun Ki mencibir kesal dan memandangnya galak. Sejak dulu, memang paling menyenangkan jika ada kesempatan untuk menggoda Hyun Ki. Sebuah kepuasan tersendiri. Tangannya kemudian menarik tubuh kecil kecil Hyun Ki dan kemudian memeluknya dengan erat. Ia menjatuhkan kepalanya di atas puncak kepala Hyun Ki sembari memejamkan kedua matanya. Terus-menerus mencium aroma wangi menenangkan yang hanya dimiliki oleh Hyun Ki-nya, yang tidak akan ditemuinya di yeoja lain.

 

“Kau tahu, aku sangat bersyukur bisa menjalani hidup denganmu. Ditambah lagi dengan kehadiran seorang anak diperutmu, membuatku semakin merasa lebih hidup.” Hyun Ki tersenyum, kedua tangannya terangkat untuk merengkuh badan kekar yang tengah memeluknya itu.

 

“Nado, Oppa. Aku juga merasakan hal yang sama denganmu. Kalau saja saat itu –tahun lalu –aku tidak kuat dan memilih untuk menyerah, aku tidak akan pernah merasakan kehidupan seperti ini. Hidup sebagai seorang istri, menunggu kehamilan selama sembilan bulan yang akan membawaku menjadi seorang ibu…”

 

“Semua yang terjadi jangan diingat-ingat lagi. Semuanya sudah lewat. Lupakan, lebih baik kita mengingat jika lima bulan lahir anak ini akan lahir~” Sungmin menaruh tangannya di depan perut Hyun Ki dan mengelusnya pelan. Namja itu melepaskan pelukannya pada Hyun Ki, berdiri dari duduknya lalu berjongkok di depan Hyun Ki. Menaruh telinganya di depan perut Hyun Ki, mendengarkan pergerakan kecil yang –mungkin –ditimbulkan oleh janin yang ada di kandungan istrinya.

 

“Aegi-ya~ bagaimana kabarmu? Appa benar-benar tidak sabar melihatmu lahir dan tumbuh bersama Appa dan Eomma. Kau tidak sabar melihat Appa-mu yang paling tampan ini bukan?”

 

Hyun Ki tertawa mendengar pertanyaan Sungmin. “Ya! Kenapa kau tertawa!”

 

“Tidak apa-apa. Aegi~ya, cepatlah kau lahir, Sayang. Eomma dan Appa menunggu kehadiranmu.” Hyun Ki pun turut mengelus perutnya sendiri. Sungmin kembali memeluk Hyun Ki erat.

 

“Kita tidur sekarang, kajja.” Hyun Ki mengangguk, ia mengikuti Sungmin dari belakang dengan tangan yang terus menggenggam kuat tanpa ingin dilepas.

 

*

tidak sesuai dengan ekspetasiyang diharapkan  -___-

aku gak bisa ngembangin lebih banyak lagi, dan hasilnya cuma segitu

tapi setidaknya utang sudah lunas, dan kisah 2012 selesai u.u

thank you

Drabble : Being A Number One

 

Drabble : Being A Number One

 

Gadis itu menghela napas berat sembari memandang kecewa lembaran kertas bertuliskan peringkat hasil ujian akhir semester yang baru saja dilewatinya seminggu yang lalu. Ia kembali mendesah kecewa ketika melihat nomor peringkat yang didapat. Peringkat dua. Sudah ia duga, namun tidak pernah sekalipun ia harapkan jika kali ini ia akan kembali mendapat peringkat tersebut. Ia –gadis itu –sudah belajar siang dan malam tanpa kenal waktu, merelakan waktu tidur juga waktu bersenang-senangnya selama satu semester hanya untuk mendapat peringkat yang lebih baik yaitu peringkat satu. Namun lagi-lagi ia harus kembali menyimpan obsesinya itu dan kembali berjuang lebih keras di semester berikutnya. Berjuang lebih keras? Harus sekeras apalagi ia berjuang?

Ia tidak akan bisa mengalahkannya. Sampai kapanpun, ia akan terus menempati peringkat kedua selama pria itu masih berada di tempat yang sama dengannya.

Ketika satu persatu murid mulai berdatangan, Rian –gadis itu –mundur selangkah dan berbalik badan meninggalkan papan pengumuman yang kini dipenuhi oleh murid sekolahnya. Ia berjalan pelan, menyusuri lorong kelas yang sepi sembari menunduk lemas. Apa yang harus ia katakan nanti pada orang tuanya? Rian sudah berjanji jika semester ini ia akan merebut peringkat satu dari pria itu. Dan hasilnya gagal. Orangtuanya memang tidak terlalu mengharapkan Rian mendapat peringkat satu, tapi karena semasa sekolah dasar dan sekolah menengah sudah terbiasa mendapatkan peringkat satu, membuatnya terobsesi dengan angka urutan awal tersebut. Menjadi nomor satu adalah tujuannya. Ia tidak ingin dikalahkan oleh siapapun dan ia harus jadi yang terbaik dari yang terbaik.

Rian tepat menghentikan langkahnya di depan ruang musik. Hatinya tiba-tiba tergerak untuk memasuki ruangan tersebut. Ia membuka pintu bermodelkan geser tersebut dan mengintip sebentar ke dalam. Baguslah tidak ada orang, kesempatan bagi dirinya untuk menenangkan hati sejenak.

Rian berjalan menuju sebuah grand piano hitam yang berdiri tegak di tengah-tengah ruangan. Ia duduk di depannya lalu menekan salah satu tuts piano dengan asal. Terhenti sejenak untuk berpikir, sedetik kemudian kesepuluh jarinya diletakkan di atas rangkaian tuts piano tersebut lalu memainkannya dengan pelan. Moonlight Sonata. Salah satu karya terbaik Beethoven yang sangat dikuasai oleh Rian.

Seiring dengan permainan pianonya yang terus mengalun indah memenuhi seluruh penjuru ruangan, bukannya jauh merasa lebih tenang justru malah semakin membuatnya emosi. Dadanya terasa jauh lebih sesak. Ah, iya memainkan lagu ini membuatnya kembali mengingat saat-saat dimana ia dikalahkan oleh orang yang sama di dalam resital piano seminggu yang lalu. Permainan piano pria itu, jauh lebih menarik hati para juri daripada permainannya. Dan ia harus kembali menerima peringkat dua. Lagi. Apakah kemampuannya hanya bisa disandingkan dengan peringkat dua?

Begitu sampai pada tahap klimaks, emosinya yang semakin memuncak membuat permainannya menjadi kasar dan tidak teratur seperti permainan yang biasanya. Satu not pun meleset, sukses membuatnya mengakhiri permainan dengan hentakkan keras pada piano tersebut dan berdecak.

Damn!” rutuknya kesal.

“Permainan macam apa itu? Tidak bagus sama sekali.” Sebuah kritikan dengan intonasi datar tersebut sontak membuat Rian menoleh. Aish, pria itu…kenapa dia harus berada di sini? Bisakah hari ini Rian hidup tenang tanpa ada satu hal yang berhubungan dengan pria tersebut? Demi apapun, Rian sudah muak.

“Sejak kapan kau berada di sini?” Tanya Rian sinis.

Pria itu melangkah masuk kedalam ruangan setelah sekian lama berdiri di samping daun pintu ruangan, memperhatikan dan mendengarkan permainan piano Rian yang sama sekali bukanlah permainan Rian yang sebenarnya. Yang Seung Ho –pria itu –menghela napas panjang. Kalau sudah begini, Seung Ho tahu apa yang gadis berambut ikal sebahu itu pikirkan. Mengenalnya dan berada di kelas yang sama selama tiga tahun belakangan, tidak membuatnya asing dengan sosok seorang Ariana Choi, gadis berdarah campuran Amerika-Korea tersebut.

“Sejak aku melewati ruang musik, dan mendengar sebuah permainan piano yang menurutku sedang dimainkan oleh seorang bocah berumur lima tahun. Aku tidak menyangka kalau itu kau.” Kata Seung Ho enteng yang sama sekali tidak ditanggapi oleh Rian.

Sementara itu, Rian hanya menatap tuts-tuts piano dengan sendu sembari sesekali menekannya pelan dengan asal. Tangannya kembali tertarik lalu ditaruhnya di atas kedua paha. Rian hanya diam dan sama sekali tidak punya gairah untuk membalas lelucon-konyol milik Seung Ho tersebut. Saat-saat seperti ini bukan saatnya untuk bercanda. Ia hanya ingin sendiri, dan tidak mau diganggu.

“Pergilah…”

“Mwo? Kau mengusirku pergi? Kau tidak bisa mengusirku semudah itu, Nona. Berani sekali kau padaku.” Seung Ho menolaknya dengan nada sarkatis.

“Jangan ganggu aku! Aku ingin sendirian sekarang!!” Rian membentak Seung Ho tiba-tiba hingga membuat mulut pria itu kembali menutup. Oke, dia tidak akan memancing emosi Rian lagi. Wanita memang makhluk yang paling menakutkan jika sudah dilanda emosi. Namun bukannya segera angkat kaki dari ruang musik, Seung Ho malah semakin mendekati Rian yang masih duduk terpekur di depan grand piano. Ia tepat berhenti di belakang punggung kecil Rian. Tangannya sempat terangkat, mencoba untuk menyentuh bahu atau puncak kepala gadis itu, namun ia tarik kembali karena terlalu malu dan ia merasa itu bukan image-nya.

“Biar kutebak. Hasil ujian semester? Resital piano seminggu yang lalu?” Rian sama sekali tidak bergeming. Tetap menunduk dan kini kedua tangannya aktif meremas ujung rok seragam yang dikenakannya. Tapi beberapa menit kemudian, ia pun angkat bicara.

“Kalau karena keduanya memangnya kenapa? Apa kau akan tertawa? Silahkan saja tertawa. Kau berhak untuk tertawa karena aku lagi-lagi tidak bisa membuktikan omonganku sendiri. Bukankah aku memalukan?”

Seung Ho tertawa sinis. Oh, ayolah. Kenapa gadis itu bisa mempunyai pikiran seperti itu tentangnya hah? Yang Seung Ho, bukanlah tipikal seorang pria yang akan tertawa di atas kesedihan seseorang. Sama sekali bukan gayanya. Kalau seperti ini, bukankah pikiran wanita itu rumit sekali?

Seung Ho mengambil posisi duduk tepat di samping Rian. Ia memandang grand piano di hadapannya itu sebentar, lalu memainkannya dengan asal. Walaupun asal, namun tetap saja terdengar indah. Karena tangan seorang pianis handal mungkin. “Buat apa aku tertawa, tidak ada yang lucu.”

“Aku…sampai kapanpun…tidak akan pernah mengalahkanmu…” Suara yang kini terdengar serak itu sontak membuat Seung Ho menoleh. Dia sama sekali tidak mengerti apa yang Rian katakan barusan. “Pardon me?

“Aku tidak akan pernah bisa mengalahkanmu. Aku tidak akan pernah bisa selangkah lebih maju darimu…”

“Kalau kau benar-benar ingin mengalahkanku, mungkin kau harus berusaha lebih keras lagi,” jawab Seung Ho enteng.

Sesaat kemudian, Seung Ho hampir saja terjatuh dari duduknya begitu mendengar bunyi piano yang ditekan kasar secara tiba-tiba oleh Rian. Pria itu mengelus-elus dadanya. Seung Ho mulai memasang tatapan tidak suka atas tindakkan bodoh Rian yang hampir membuatnya terjatuh dan terkena serangan jantung.

“Ya! Apa-apaan kau hah!? Kau mau membuatku mati mendadak hah!?”

“KAU PIKIR AKU HARUS BERUSAHA SEKERAS APALAGI HAH!? KAU BISA BERKATA DENGAN MUDAH KARENA KAU SAMA SEKALI TIDAK MENGERTI PERASAANKU!!” Rian berteriak hebat. Lagi-lagi ia dikejutkan oleh teriakan Rian yang super nyaring dan bisa membuat gendang telinganya pecah. Ia bukan Rian yang biasanya, Rian tidak pernah sampai se-emosi ini walaupun sering dikalahkan oleh Seung Ho.

“Rian-ah…”

“Kau tentu saja tidak pernah mengerti karena kau tidak pernah berada di dalam posisiku! Tertekan di antara orang-orang yang selalu menjadi nomor satu! Dulu kakakku, dan sekarang kau!!” Seung Ho pun mulai merasa bersalah dan panik karena omongannya yang lagi-lagi tidak terdengar enak di telinga Rian. Baiklah, Seung Ho bukan orang yang pandai untuk menghibur.

“Aku…sudah berusaha sekuat tenaga untuk mengalahkanmu, tapi tetap saja…aku hanya menjadi nomor dua dan kau tetap menjadi nomor satu. Tidak hanya akademik, bahkan di salah satu bidang yang kuyakini adalah bakatku, yang merupakan harapanku satu-satunya, setelah ada kau…aku hanya menjadi nomor dua. Apa kau puas melihatku seperti ini?” Napasnya mulai terengah-engah lalu sedetik kemudian tangisannya mulai pecah. Rian menangis di depan Seung Ho, dan sukses membuat pria itu makin panik.

Seung Ho menghela napas panjang. Gadis ini benar-benar terobsesi menjadi nomor satu. “Haruskah kau menjadi nomor satu?”

“Hanya dengan menjadi nomor satu aku bisa membuktikan pada orang tuaku kalau aku juga bisa seperti kakakku. Aku juga ingin membuat orang tuaku bangga karena aku bisa mendaatkan nomor satu walaupun orang tuaku tidak memaksaku untuk mendapatkan itu.” Ujar Rian di sela tangisannya.

“Sejak kecil, aku selalu bersaing dengan kakakku untuk mendapat peringkat satu di sekolah. Mulai dari sekolah dasar hingga sekolah menengah, kami –aku dan kakakku –tidak pernah sekalipun turun peringkat dan tetap memegang peringkat satu di sekolah…”

“Tapi begitu aku naik ke sekolah menengah atas, dan aku harus bertemu dan bersaing denganmu…aku…aku…aish! Kenapa harus ada kau di sini hah!?”

Seung Ho beranjak dari duduknya dan berdiri di hadapan Rian yang masih saja menundukkan wajah untuk menyembunyikan wajahnya yang memerah dan basah akibat menangis. Kedua tangan pria itu terangkat lalu menyentuh puncak kepala Rian juga bahunya. Mengusap-usap pelan untuk memberinya sekedar ketenangan.

“Ng…aku tidak pandai menghibur orang, tapi…uljima…aku paling tidak suka melihat seorang gadis menangis di depanku, apalagi kau. Kau sangat jelek kalau sedang menangis.”

“Aku tahu kau sedang berusaha menghiburku, tapi kau tidak perlu menyebutku jelek, Yang Seung Ho.” Sindir Rian yang kini tengah mengusap wajahnya sendiri yang basah.

“Aish, terserah kau saja. Kau harus tahu, peringkat itu tidaklah penting. Peringkat bukanlah sebuah satuan untuk mengukur kadar kepandaian seseorang. Jangan terlalu terobsesi pada nomor satu, walaupun kau tidak bisa nomor satu, aku yakin orang tuamu juga bangga padamu, Rian-ah…” ujar Seung Ho mencoba memberi semangat pada Rian.

“Kau boleh tidak mendapat nomor satu di bidang akademik ataupun dibidang khususmu, tapi tanpa kau sadari, bisa saja kau menjadi nomor satu di dalam satu hal yang tidak pernah kau sangka-sangka,” tambahnya.

“Ah, ya. Kau juga harus tahu, menjadi nomor satu bukan mauku. Aku juga tidak tahu bagaimana bisa aku selalu mendapatkan peringkat satu. Kau tahu sendiri aku lebih suka bermain daripada belajar. Wah, Tuhan benar-benar memberikanku otak yang sangat cemerlang walaupun aku tidak pernah mengasahnya dengan baik.”

Jujur Rian sedikit terhanyut bahkan tersentuh dengan ucapan Seung Ho, namun kemudian terdengar sangat mengganggu karena omongan besar kepala milik pria itu. Sombong sekali.

“Kata-katamu yang terakhir sungguh menjengkelkan.” Rian mengangkat kepalanya lalu menyipitkan matanya pada Seung Ho.

“Kau tidak percaya padaku? Kau tahu, aku sama sekali tidak pernah menyentuh buku di rumah. Aku lebih memilih tidur saja atau bermain piano di rumah. Lihatlah, tidak belajar pun aku masih bisa meraih peringkat nomor satu se-angkatan bukan?”

“Dasar sombong! Kusumpahi bibirmu akan semakin menebal!!” Rian memukul lengan Seung Ho pelan sembari tertawa kecil.

“Sial!” Seung Ho meraih puncak kepala Rian lalu diacak-acaknya dengan gemas.

“Seung Ho-ya…gomawo…kau membuatku jauh lebih baik…” Gumam Rian pelan.

“Cheonmaneyo. Masih terobsesi menjadi nomor satu lagi dan mengalahkanku, Nona Choi?”

“Hm…sepertinya masih. Aku masih merasa penasaran apakah aku bisa mengalahkanmu atau tidak.”

“Mau mengadakan perjanjian?” Tantang Seung Ho.

“Perjanjian? Apa?”

“Kalau semester depan kau bisa menjadi nomor satu, aku akan menuruti semua perkataanmu.”

“Kalau kau yang menang?”

“Aku akan memintamu satu hal.”

“Apa itu?”

“Kau harus menjadi pacarku.”

*

 

The one of my weird drabbles -____-

Dan saya males buat ngebacanya lagi

kalo ada typo sorry, saya terlalu males buat nge-editnya

annyeong!

Sung-Ki Moment : Hyunnie-ya…

Sung-Ki Moment : Hyunnie-ya…

May, 18th 2012

22.00 KST

“Hyunnie-ya, besok…kau tidak usah ikut denganku, ya. Lihat keadaanmu sekarang. Wajahmu pucat dan kau sangat kelelahan. Lebih baik kau istirahat dirumah saja.”

 

“Aniyo, Oppa. Aku tidak apa-apa…aku akan sehat lagi besok setelah tidur nanti.”

 

“Hyunnie-ya, bisakah kau mendengar perkataanku sekali saja?”

 

“Oppa…jebal…aku ingin ikut denganmu ke LA, aku tidak ingin sendirian disini…aku ingin menemanimu selama di LA nanti…”

 

“Tapi…”

 

“Oppa…”

 

“Kau benar-benar keras kepala…baiklah…”

*

May, 20th 2012

 

Hyatt Regency Orange County Hotel, California

Los Angeles

23.30 PDT

“Hyunnie-ya? Gwenchana-yo?” Hyun Ki mengangkat kepalanya berat dan ditolehkan kearah sumber suara dengan pelan. Seorang yeoja kini mengambil posisi duduk disampingnya, memasang wajah cemas secemas suaranya saat memanggil Hyun Ki. Hyun Ki tersenyum tipis dibalik paras wajahnya yang terlihat sayu dan pucat.

“Gwenchana. Aku baik-baik saja.” Jawabnya. Sunny –yeoja itu –sama sekali tidak percaya dengan jawaban dongsaengnya. Bagaimana bisa Hyun Ki berkata kalau dirinya baik-baik saja dengan wajah sepucat itu? Yeoja itu hanya tidak ingin siapapun mencemaskan keadaannya.

“Baik-baik saja bagaimana? Lihat wajahmu sekarang. Pucat sekali…”

“Mungkin aku hanya kelelahan. Dengan istirahat sebentar aku akan kembali sehat. Eonnie, kau tenang saja…” Hyun Ki lagi-lagi menyunggingkan senyumnya. Sunny menghela napas pelan, dongsaengnya yang satu ini benar-benar keras kepala.

“Bagaimana kalau kupanggilkan Sungmin Oppa dan menyuruhnya untuk membawamu kekamar?” tawar Sunny.

“Eonnie-yaa…kau tahu ‘kan namja itu sangat amat cerewet jika menyangkut keadaanku? Jangan panggil Oppa…”

“Aish, arraseo…kutinggal sebentar, ya. Aku ingin menemui member SNSD yang lain. Kau mau ikut?” Hyun Ki mengangguk. Yeoja itu mulai beranjak dari duduknya. Astaga, tubuhnya terasa berat dan lemas. Lebih parah dari sebelumnya. Sepertinya ia benar-benar harus kembali ke kamarnya untuk beristirahat. Mungkin kelelahan karena waktu istirahatnya yang kurang selama berada di Korea maupun di Los Angeles sekarang.

“Eonnie, sepertinya aku…” Kalimatnya terputus ketika matanya mulai berkunang-kunang dan kepalanya mulai terasa sakit dan pusing. Sunny mulai panik setelah melihat perubahan mimik muka milik Hyun Ki yang seperti menahan sakit, lalu dengan sigap ia langsung merangkul bahu dongsaeng kesayangannya tersebut. “Hyunnie-ya! Gwenchana?”

“Mollaso…tapi kepalaku terasa pusing…” Hyun Ki mengerjapkan kedua matanya berkali-kali. Oh, sial! Penglihatannya semakin kabur, bahkan Sunny yang berada di sampingnya dan berjarak kurang dari satu meter pun tidak terlihat jelas. Jangan bilang jika ia akan ambruk begitu saja di ruangan ini dan membuat gempar orang-orang yang tengah bersantai di dalam satu ruangan yang sama dengannya.

“Aigo! Sungmin Oppa!!” Sunny mulai berteriak hingga membuat mata setiap orang tertuju padanya. Hyun Ki semakin lemas dan hampir terjatuh kebawah jika tidak di rangkul olehnya. Sunny semakin panik saat mata Hyun Ki mulai tertutup pelan-pelan.

Sementara itu, Sungmin yang merasa namanya dipanggil langsung menoleh. Begitu melihat keadaan istrinya yang berada di rangkulan Sunny dalam keadaan tidak sadarkan diri langsung segera berlari cepat, dalam keadaan panik tentu saja. “Astaga! Hyunnie-ya!”

Sungmin mengambil alih tubuh Hyun Ki dari Sunny. “Hyunnie-ya! Ireona!” namja itu menyentuh kening istrinya. Panas. Yeoja itu demam. Tanpa pikir panjang, Sungmin menggendong Hyun Ki dengan bridal style dan langsung membawanya kekamar dengan segera.

*

Kedua mata yeoja itu mulai terbuka secara perlahan dan memandang lurus keatas sambil mengerjapkan mata. Dia sudah berada di tempat berbeda dari sebelumnya. Ah, dia tahu ruangan ini. Sudah jelas ini kamar yang ditempatinya dengan Sungmin untuk beberapa hari kedepan. Kenapa dia berada di sini? Bukannya tadi dia berada di ruang makan untuk acara makan malam bersama dengan yang lain? Hyun Ki ingat. Terakhir kali ia merasa kepalanya sakit dan kemudian pandangannya makin kabur dan hitam seketika. Pingsan.

“Kau sudah sadar?” Suara berat itu sontak membuat Hyun Ki menoleh lemah. Sungmin tengah duduk di sofa dengan Ipad di tangannya. Ipad yang menemaninya selama menunggu Hyun Ki terbangun dari tidurnya. Ditaruhnya Ipad itu sembarangan di atas sofa lalu berjalan dan duduk di tepi tempat tidur.

“Oppa…”

“Kenapa kau tidak bilang padaku kalau kau kurang sehat hah?” Sungmin memotong ucapan Hyun Ki tiba-tiba. Mulut yeoja itu terbuka pelan dan menjawabnya lemah.

“Kau…kenapa selalu saja membuatku cemas? Aku sudah bilang padamu dan aku sudah menyuruhmu untuk tidak ikut. Tapi kau tetap saja masih keras kepala dan bersikeras untuk ikut denganku. Kau…sungguh merepotkan…” Sungmin mendesis. Memadang Hyun Ki dengan tatapan kesal.

“Aku tidak bilang padamu karena aku tidak ingin membuatmu merasa terbebani karena keadaanku. Kau tahu sejak awal sebelum kau melarangku, aku bilang padamu kalau aku ingin menemanimu, mendampingimu selama berada di LA. Apalagi setelah…meninggalnya halmeoni, aku semakin ingin ikut denganmu. Apa aku salah? Aku merepotkanmu? Aku tidak peduli bagaimana keadaanku, aku hanya ingin menemanimu. Itu saja. Apa aku salah?”

“Demi Tuhan! Kau itu sedang hamil, Choi Hyun Ki! Pikirkan kesehatanmu! Kau pikir dengan adanya kejadian ini aku tidak merasa terbebani!? Astaga…” Sungmin meremas rambutnya, kemudian memijat keningnya pelan. “Harusnya dari awal aku tetap melarangmu untuk ikut dan tidak luluh dengan bujukanmu…”

Yeoja itu kemudian bangkit dari posisi tidurnya, kemudian menyingkap selimut yang menutupi tubuhnya lalu beranjak berdiri. Ia memandang namjanya dengan mata berair dan memanas. “Sepertinya kau sama sekali tidak mengharapkan kehadiranku. Maaf jika aku merepotkanmu, Tuan. Dan mungkin kau benar, seharusnya aku tidak berada disini.”

Dengan langkah terhuyung-huyung, Hyun Ki mencoba untuk berjalan cepat keluar dari kamarnya. Sesegera mungkin, Sungmin langsung menyusul dan mencengkram tangan Hyun Ki untuk menahan langkahnya. “Ya! Mau kemana kau!? Kau sedang sakit!”

“Buat apa kau memikirkan keadaanku? Bukankah aku sangat merepotkan bagimu? Pikirkan saja hal lain yang sama sekali tidak merepotkan ketimbang memikirkan aku!” Hyun Ki menggertak Sungmin dengan suara lemahnya. Dengan tenaga yang masih tersisa, Hyun Ki menarik tangan yang dicengkram Sungmin dengan kasar.

Sungmin tidak mengejar istrinya. Ia justru hanya berdiri kaku di depan kamarnya dan memandang punggung kecil dan lemah milik Hyun Ki yang semakin menjauh. Namja itu makin merasa frustasi dan emosinya semakin tidak terkontrol. Tiba-tiba ia mengerang dan memukul dinding yang ada disampingnya dengan kasar. Pikirannya tidak karuan seperti emosinya. Sifat keras kepala Hyun Ki membuat kepalanya sakit.

Keterlaluankah dia? Seharusnya dia tidak perlu membentak Hyun Ki seperti beberapa menit yang lalu. Keadaan Hyun Ki sedang memburuk dan bentakkan justru membuat Hyun Ki semakin buruk. Aish, babo kau, Lee Sungmin! Kenapa kau tidak mengejarnya! Istrimu sedang sakit! Sungmin segera melangkahkan kakinya cepat menuju lift. Segera mencari Hyun Ki yang sekarang entah pergi kemana.

*

Hyun Ki berjalan pelan, semakin mengeratkan cardigan putih yang menutupi tubuhnya dengan erat. Dengan langkah berat dan terhuyung-huyung karena rasa pusing yang dirasakannya, ia tetap berjalan menyusuri tepi kolam. Memandang jalan beralaskan bebatuan dengan tatapan nanar. Matanya masih memanas dan air matanya masih terus mendesak keluar namun buru-buru dihapusnya dengan kasar.

Tidak sanggup berjalan lagi, Hyun Ki langsung mengambil posisi duduk di pinggir kolam renang. Kedua kakinya ditarik dan dipeluk dengan pelan, tidak ingin menekan perutnya yang terlihat mulai membesar. Tangannya ditumpukan diatas kedua lututnya lalu ia membenamkan wajah diatasnya. Hyun Ki mencoba meluapkan emosinya dengan tangisan. Di tengah malam seperti ini, mungkin orang-orang sudah berada di kamarnya masing-masing dan beristirahat, terutama para anak didik asuhan SM Entertainment, jadi tidak mungkin mereka akan melihatnya disini tengah menangis.

“Kau…sungguh merepotkan…” kata-kata suaminya kembali teringat di otaknya. Sebegitu merepotkannya-kah dirinya, sampai-sampai dengan entengnya Sungmin berkata seperti itu di depannya dengan wajah kesal, emosi, entah apalah itu, Hyun Ki tidak mau mengingatnya lagi.

Padahal yeoja itu hanya ingin menemaninya, mendampinginya selama berada di Los Angeles untuk beberapa hari kedepan. Disaat siapapun sedang berduka, bukankah butuh sebuah dukungan dari orang terdekatnya? Hyun Ki tahu pasti jika saat ini suaminya masih berduka atas meninggalnya sang nenek. Terlihat seperti biasa saja, namun bagi Hyun Ki hanyalah sebuah tipuan. Namja itu tidak ingin terlihat lemah, ia tetap berusaha tersenyum dan ceria di depan para fans dan orang-orang terdekatnya. Tentu saja Hyun Ki tahu tipikal seorang Lee Sungmin sebagai istrinya.

Tapi ternyata kepergiannya kesini justru malah membuat suaminya merasa kerepotan hingga melempar kata-kata…tidak mengenakkan yang bisa menusuk hatinya dalam sekejap.

Berpikirlah positif, Hyun Ki. Mungkin Oppa sedang tidak dalam mood yang baik. Dia tidak sengaja berkata seperti itu padamu. Semuanya baik-baik saja, tidak ada yang perlu di khawatirkan, Hyun Ki mencoba bersugesti dalam hati. Mencoba untuk melupakan pertengkaran kecil yang terjadi sekitar setengah jam yang lalu, berpikir positif jika Sungmin tidak bermaksud berkata seperti itu. Sepertinya ia harus minta maaf pada Sungmin. Ia harus kembali ke kamar sekarang dan terbebas dari udara dingin yang makin lama menusuk tubuhnya berkali-kali.

“Aduh!” Hyun Ki tidak bisa mengangkat kepalanya. Ternyata gelang yang terpasang di pergelangan tangan sukses tersangkut di rambut ikalnya saat menangis.

“Eottokhae…” Hyun Ki mulai mencoba untuk melepas gelangnya dengan paksa. Oh, sial. Setelah gelangnya terlepas dari rambutnya, terpental jauh kearah kolam renang dan kini mulai hanyut secara perlahan menuju tengah-tengah kolam. Bagaimana caranya ia bisa mengambil gelang tersebut sementara dia…tidak mau ‘mencari masalah’ dengan kolam renang yang ada di hadapannya.

Dengan wajah gelisah, Hyun Ki menoleh ke kanan dan ke kiri. Sayang sekali, tidak ada satupun benda yang bisa membantunya untuk meraih gelang tersebut. Bagaimana ini? Dia, Choi Hyun Ki, tidak akan pernah mau ‘berurusan’ dengan apapun yang berhubungan dengan kumpulan air dalam jumlah besar seperti kolam renang. Cukup sekali pada saat ia berumur lima tahun dan hampir membuatnya kehilangan nyawa karena tenggelam di kolam renang.

Traumanya muncul pada saat keluarga besarnya mengadakan acara keluarga di salah satu rumah milik kerabatnya. Hyun Ki kecil –yang saat itu berumur lima tahun –bermain bola di pinggir kolam renang tanpa sepengetahuan orang tua dan kakak laki-lakinya –Siwon. Bola yang dimainkannya tiba-tiba terpantul kearah kolam dan saat itu juga Hyun Ki mencoba untuk meraihnya. Tangan mungilnya terus direntangkan, tidak mau berhenti sampai jemarinya bisa menyentuh bola tersebut dan bisa menariknya. Tiba-tiba kakinya tergelincir dan membuatnya terjatuh kedalam kolam renang. Beberapa kerabatnya juga termasuk keluarganya tengah berkumpul bersama di dalam rumah dan sama sekali tidak sadar jika anaknya jatuh kedalam kolam. Gadis kecil itu kesulitan bernapas, tertelan banyak air. Kalau saja ayahnya tidak sadar dan tidak cepat-cepat menyelamatkan gadis kecilnya, mungkin Hyun Ki tidak bisa diselamatkan. Hyun Ki menangis dan sejak itu ia mengalami trauma. Ketakutan berkepanjangan.

Sampai sekarang, Hyun Ki tidak pernah mau diajak berenang. Takut jika mimpi buruknya akan terjadi lagi. Tapi kenapa hari ini…dengan bodohnya ia justru malah pergi ke area kolam renang bahkan duduk di pinggirnya.

Kini yeoja itu sangat takut. Takut untuk menggapai gelang yang masih mengambang diatas permukaan kolam renang yang tenang itu. Tapi gelang itu…gelang itu adalah hadiah pemberian Sungmin di ulang tahunnya ke-20. Gelang sederhana yang selalu melingkar di pergelangan tangannya dan tidak pernah dibiarkan terlepas sekalipun.

Bagaimana ini?

Hyun Ki kemudian menarik napas dalam-dalam disaat jantungnya berdetak cepat. Tenang saja, cukup dengan merentangkan tangan saja, kau bisa mengambilnya, kau akan baik-baik saja, batinnya dalam hati. Ia harus mengambil gelang itu. Harus.

Dibayangi dengan perasaan takut, Hyun Ki mencoba untuk merentangkan tangannya, meraih gelang yang dihiasi dengan ornament kupu-kupu perak tersebut yang makin lama makin menjauh dari jangkauannya. Eottokhae? Jantungnya semakin berdebar kencang saat memandang jauh kedalam dasar kolam yang entahlah seberapa dalamnya. Tenanglah, Hyun Ki. Tenang. Kau tidak akan jatuh…hilangkan pikiran ketakutanmu itu. Hyun Ki terus membatin.

“Se…dikit…lagi…” gumam Hyun Ki dengan gemetaran. Hanya butuh jangkauan sedikit lebih jauh, ia akan segera mendapatkan gelang kesayangannya tersebut. “Hyun Ki…kau…bisa…”

Tanpa di duga, ketakutannya kembali muncul saat kedua kakinya mulai kehilangan keseimbangan. Pinggiran kolam yang terlalu licin, membuat kedua kakinya tergelincir dan terdorong masuk kedalam kolam. Dasar kolam yang terlalu dalam, membuatnya sulit untuk naik ke permukaan.

“Tolong aku!!” teriaknya dengan keras. Pikirannya kembali melayang ke beberapa tahun lalu, tepat dimana dia mengalami hal yang sama. Tenggelam dan membuatnya ketakutan. Mimpi buruknya terjadi lagi.

Hyun Ki mulai kesulitan bernapas, air kolam mulai masuk lewat mulut dan hidungnya hingga mengganggu sistem pernapasannya. Yeoja itu mulai kehabisan tenaga. Tubuhnya mulai melemas dan penglihatannya semakin kabur. Disaat itu juga, benaknya terus memanggil Sungmin. Berharap jika Sungmin akan menemukannya dan menolongnya. Panggilan di dalam hatinya berhenti sampai suara itu jelas terdengar di telinganya tengah memanggil namanya dengan keras.

“Hyun Ki-ya!!” Ia tidak bsia mendengar lagi. Tubuhnya semakin lemah, hingga pada akhirnya matanya tertutup dan tidak sadarkan diri di dalam air.

*

Seorang namja tengah berjalan menuju kedalam hotel setelah berjalan-jalan sendirian di taman untuk menikmati udara malam. Ia mulai menguap lebar, badannya pun terasa pegal. Namja itu benar-benar butuh istirahat setelah tampil di SMTOWN Concert yang telah sukses di selenggarakan beberapa jam yang lalu. Ah, apa fisiknya akan bertahan sampai besok? Sampai rangkaian satu konser yang bertajuk MBC Korean Music Wave itu berakhir? Semoga saja.

“Tolong aku!!” Langkah Shim Changmin –namja itu –tiba-tiba terhenti. Sepasang telinganya mendengar teriakkan minta tolong yang berasal dari arah kolam renang hotel. Ditambah lagi dengan riak-riak air yang tidak biasa, membuatnya berpikir jika orang tersebut tenggelam di kolam renang dan butuh pertolongan darinya.

Tidak peduli dengan rasa lela yang mendera di tubuhnya, Changmin segera memacu kecepatan berlarinya untuk segera sampai di area kolam renang hotel. Namja itu terkejut ketika melihat seorang yeoja yang berada di tengah-tengah kolam renang, berusaha mencapai permukaan dengan sekuat tenaga, mencari pertolongan dari siapapun yang ada di sekitarnya. Lampu taman remang-remang membuat kedua matanya tidak bisa melihat jelas siapa yeoja tersebut. Namun sepersekian detik kemudian, ia sadar jika yeoja itu adalah Choi Hyun Ki.

“Hyun Ki-ya!!” Changmin melihat gerakan Hyun Ki mulai berkurang. Kedua matanya semakin lama semakin menutup dan tubuhnya terlihat mulai melemas. Sebelum yeoja itu benar-benar tenggelam dan kehabisa nafas, Changmin segera lompat kedalam kolam untuk menolong Hyun Ki.

Changmin berenang dengan cepat lalu menarik tubuh Hyun Ki dan membawanya keluar dari kolam renang. Namja itu menggendongnya dan membaringkannya di tepian. Dengan wajah panik, Changmin segera menepuk-nepuk kedua pipi Hyun Ki. Kemudian memeriksa frekuensi nafas dongsaengnya dengan cara menaruh kepalanya di atas dada. Astaga, deru nafasnya melemah bahkan hampir tidak terdengar.

“Hyun Ki-ya…ireona…” Changmin berseru panik. Apa yang harus ia lakukan sekarang? Memberinya napas buatan? Perlukah? Aish, sudahlah. Tanpa pikir panjang, namja itu segera memberikan bantuan pernafasan dengan napas buatan. Sepuluh detik…tiga puluh detik…satu menit…tidak ada reaksi sama sekali.

“Hyun Ki-ya…jebal…ireona…”

*

Sungmin masih sibuk berjalan mondar-mandir, berkeliling hotel dan mendatangi berbagai tempat yang kemungkinan besar didatangi oleh istrinya. Dari sekitar hampir sepuluh ruangan yang didatanginya, sosok Hyun Ki masih belum ditemukan. Sungmin mulai frustasi. Kemana dia? Mungkinkah dia diluar? Atau mungkin…di area kolam renang. Sungmin langsung menggeleng cepat. Tidak. Hyun Ki selalu menghindari area kolam renang. Sungmin tahu persis jika Hyun Ki trauma dan takut dengan kolam renang.

Melihat beberapa member Super Junior, SHINee, juga termasuk Seung Mi dan Hye Mi masih tengah bersantai dan mengobrol bersama di ruangan yang sebelumnya dipakai untuk tempat berkumpul dan berpesta bersama dengan seluruh anak didik SM Entertainment juga para staff SM, Sungmin segera berlari kecil menghampiri mereka yang tengah tertawa karena lelucon yang dilontarkan oleh Shindong. Bertanya tentang Hyun Ki tentunya. “Apa kalian melihat Hyun Ki?”

“Hyun Ki? Bukankah dia sedang sakit dan berada di kamar bersamamu?” Leeteuk bertanya balik pada Sungmin.

“Hyun Ki pergi keluar dari kamar setelah…bertengkar kecil denganku…aku sedang mencarinya dan sampai sekarang aku tidak menemukannya…” gumam Sungmin dengan nada menyesal. Ia sangat menyesali ucapan bodohnya tadi pada Hyun Ki.

“Kalian bertengkar? Aigo~ kalian berdua…selalu saja meributkan hal-hal kecil…” Shindong mulai angkat bicara, menanggapi Sungmin. “Ini semua salahku, Hyung.”

“Sungmin Oppa, apa kau perlu bantuan untuk mencari dimana Hyunnie? Kami siap membantu.” Seung Mi menawarkan diri, diiringi dengan anggukkan dari yang lain. Dengan senyum tipis, Sungmin menolak. Ia berpikir jika ia akan menemukannya sendiri. “Ani. Tidak perlu. Aku akan mencarinya sendiri. Tapi kalau seandainya kalian melihat Hyun Ki, segera telepon aku.”

Sungmin kembali mencari Hyun Ki. Kembali berkeliling dan mendatangi ruang-ruang yang belum sempat dijangkau olehnya. Ia tidak peduli jika harus mengelilingi seluruh isi hotel ini, mulai dari lantai terbawah sampai lantai teratas. Ia hanya ingin Hyun Ki-nya segera di temukan. Keadaannya yang tidak baik bisa saja kemungkinan Hyun Ki ambruk akan terjadi lagi. Demi Tuhan, semoga tidak terjadi apa-apa padanya.

Langkahnya terhenti sejenak, menyadari jika jantungan semakin berdetak cepat dan tidak karuan. Perasaannya pun juga tidak setenang sebelumnya. Ada apa dengannya? Sungmin segera membuang pikiran-pikiran negatif yang muncul akibat perasaan tidak tenangnya tersebut.

“Sungmin Oppa?” suara familiar itu sontak membuatnya berbalik badan. Hae Mi dan Hyuk Jae –kedua dongsaengnya –sudah berdiri tepat di belakangnya dengan penuh tanda tanya.

“Oh, kalian…” ucap Sungmin linglung.

“Kenapa Oppa ada disini? Kau terlihat sangat kebingungan…” Hae Mi bertanya. “A-aku…aku…sedang mencari Hyun Ki. Apa kalian melihat Hyun Ki?”

“Mwo? Bukannya anak itu sedang sakit, Hyung?” Kali ini Hyuk Jae yang membuka mulut. Sungmin mengigit bibir bawahnya. Bagaimana ini? Haruskah ia berkata yang sebenarnya di depan mereka berdua terutama Hae Mi? Hae Mi pasti akan marah jika tahu kalau ia bertengkar dengan Hyun Ki. Sudahlah, ia tidak peduli semarah apapun Hae Mi padanya. Ia hanya memikirkan Hyun Ki sekarang, bukan hal lain.

“Aku…bertengkar dengan Hyun Ki. Hyun Ki langsung pergi keluar setelah mendengar kata-kataku…” Hae Mi mengerutkan dahinya, begitupun dengan Hyuk Jae.

“Bertengkar? Memangnya apa yang kau katakan, Oppa?” tanya Hae Mi.

“Aku berkata padanya kalau dia…sangat merepotkan, Hae Mi-ya. Sungguh, aku tidak bermaksud berkata seperti itu. Aku juga tidak tahu kenapa kata-kata itu keluar dari mulutku! Aku…” Ucapannya terhenti saat melihat raut wajah Hae Mi yang berubah seketika setelah mendengar penjelasan darinya. Ya, tidak salah lagi. Hae Mi marah padanya.

“Oppa! Kata-katamu itu sungguh keterlaluan! Sudah tahu kondisi Hyunnie sedang tidak baik dan kau malah membuatnya semakin tidak baik, bahkan buruk! Apa yang dipikiranmu saat itu!? Kau jahat sekali, Oppa!” Hae Mi tidak bisa menahan emosinya. Ia menggertak Sungmin dengan nada kesal yang melengking. Yeoja itu sama sekali tidak menyukai jika ada seseorang yang menyakiti sahabatnya, bahkan Sungmin sekalipun.

“Tenanglah, sayang. Jangan terlalu emosi pada Sungmin Hyung. Jangan membuat keadaan semakin buruk.” Hyuk Jae mencoba menenangkan istrinya.

“Aku tahu aku sangat keterlaluan, dan aku menyesali semuanya sekarang. Tapi saat itu pikiranku sedang kacau, Hae Mi-ya…” lirih Sungmin.

Hae Mi terdiam lalu kemudian menghela napas, mencoba untuk meredam seluruh kekesalannya terhadap Sungmin dan mulai berpikir dengan tenang. “Aku dan Hyuk Jae Oppa akan membantumu untuk mencari Hyunnie.”

“Tidak usah. Kalian istirahat saja, biar aku yang…”

“Oppa! Jangan melarangku. Aku juga sama khawatirnya denganmu. Aku tidak ingin terjadi apa-apa Hyunnie.” Hae Mi memotong ucapan Sungmin dalam sekejap. Oke, dia tidak bisa menolak. Ditambah lagi dengan Hyuk Jae yang memberikan isyarat untuk memperbolehkan Hae Mi dan dirinya ikut mencari Hyun Ki.

“Gomawo…neomu neomu gomawo…” Sungmin tersenyum miris.

“Jadi…darimana kita harus mencari anak itu?” tanya Hyuk Jae. “Aku tahu, Hyuk Jae-ya. Aku sudah mencarinya dimanapun tapi aku tetap tidak menemukannya…”

“Apa Hyung sudah mencarinya di luar hotel?”

“Ani. Kupikir dia tidak ada diluar.” Jawab Sungmin. “Apalagi menuju arah kolam renang. Hyunnie mempunyai trauma dengan kolam renang.”

“Tapi ada kemungkinan Hyunnie berada di luar, Oppa. Pikiran dan emosi yang kacau bisa saja membuatnya memilih untuk pergi keluar hotel. Lagipula…sejak tadi firasatku tidak enak…”

Firasat tidak enak Hae Mi membuat Sungmin meneguk air liurnya dengan susah payah. Apa firasat Hae Mi sama dengan yang dirasakan olehnya? Ah, semoga tidak terjadi apa-apa.

“Siapapun tolong aku!!”

Suara teriakkan keras tiba-tiba menggema di seluruh penjuru ruangan hotel lantai dasar, termasuk kooridor hotel tempatnya berdiri bersama Hae Mi dan Hyuk Jae. Tahu jika pemilik suara itu adalah Shim Changmin, Sungmin sontak segera menoleh kearah sumber suara yang berasal pintu yang menghubungkan ruangan dalam hotel dengan area kolam renang. Tak hanya Sungmin, Hae Mi dan Hyuk Jae pun melakukan hal yang sama. Sungmin menatap Changmin dalam diam saat melihat namja itu muncul dalam keadaan basah kuyup dengan seorang yeoja yang ada di gendongannya. Tunggu sebentar. Cardigan putih dengan dress merah marun itu…bukankah itu Hyun Ki?

“Hyun Ki!!” Sungmin berseru panik. Namja itu langsung berlari secepat mungkin menghampiri Changmin yang masih berdiri tepat di depan pintu masuk. Wajahnya semakin panik dan mulai pucat saat mendapati sosok Hyun Ki dalam keadaan tidak sadar di gendongan Changmin. Tak ada bedanya dengan Changmin, Hyun Ki-nya basah kuyup dan tubuhnya dingin hingga buku-buku jarinya memutih.

“Ya Tuhan, Hyunnie…Changmin-ah! Apa yang terjadi!?” tanyanya dengan tidak sabaran.

“Hyun Ki tercebur kedalam kolam renang, Hyung. Aku menemukannya saat Hyun Ki berteriak minta tolong…” Jawab Changmin gelisah dengan mata silih berganti tertuju pada Sungmin dan juga Hyun Ki.

“Mwoya!? Kenapa dia bisa berada di kolam renang…” Sungmin mengambil alih tubuh Hyun Ki dari gendongan Changmin. Mata Sungmin intens menatap Hyun Ki yang sama sekali tidak bereaksi dan tetap tidak bergerak di dalam gendongannya. Deru nafas lemah yang keluar dari hidung mancungnya membuat Sungmin semakin panik. Wajahnya makin pucat dan tubuhnya makin dingin. Jadi ini jawaban dari perasaan tidak tenangnya. Kenapa bisa terjadi seperti ini, batinnya dalam hati.

Dengan bantuan Changmin, Sungmin membawa Hyun Ki ke sofa lalu dibaringkan di dalam pangkuannya. Sungmin merangkulnya dengan erat, mengusap wajah pucuat Hyun Ki dan berharap jika yeoja itu merespon tindakannya. Sementara itu, Hae Mi mencoba menggosok-gosok tangan Hyun Ki, sekedar meredam dingin dengan kehangatan yang ditimbulkan.

“Hyunnie-ya…ireona…” Hae Mi tidak bisa menahan tangisannya lagi.

Tak lama, satu persatu orang yang berada di lantai yang sama, seperti beberapa member Super Junior, Seung Mi, Hye Mi, juga yang lain mulai berdatangan menghampiri tempat dimana Sungmin berada. Mereka sontak terkejut melihat situasi yang cukup mencemaskan.

“Omo! Hyunnie-ya!”

“Hyunnie-ya!”

“Hyunnie-ya…ireona…jebal…” Sungmin terus memanggil Hyun Ki-nya.

“Oppa! Pakaikan handuk ini pada Hyunnie!” Seung Mi memberikan sehelai handuk tebal yang ia dapatkan dari salah satu karyawan hotel dan diberikannya pada Sungmin. Dengan pikiran yang kacau dan tergesa-gesa, Sungmin segera memakaikan handuk tebal tersebut pada Hyun Ki, diusap-usapkan dengan cepat, untuk meredam hawa dingin yang menjelajari tubuh istrinya. Wajah Hyun Ki semakin pucat dan bibirnya memutih. Nafasnya yang makin melemah membuat Sungmin semakin ketakutan dan tidak bisa berpikir secara sehat.

“Cepat panggil ambulance!!”

*

Laju kecepatan ambulance semakin cepat, menerobos kerumunan kota di malam hari menuju rumah sakit yang dituju. Sungmin –yang berada di dalam ambulance bersama beberapa perawat –terus meremas tangan Hyun Ki yang masih mendingin. Masker oksigen telah terpasang di wajah Hyun Ki untuk membantunya bernafas. Tangan mungilnya diangkat lalu dikecupnya lembut. Usai mengecup tangan istrinya, Sungmin mengusap-usap puncak kepala Hyun Ki dengan pelan seperti yang sering dilakukannya setiap hari tanpa henti.

“Hyunnie-ya…ireona…” lirihnya.

Ini salahnya. Kalau saja ia menemukannya lebih cepat, kalau saja ia tidak berkata macam-macam dan menyakitkan pada Hyun Ki…mungkin saat ini ia sedang memandang Hyun Ki-nya yang tertidur lelap di sampingnya, lalu memeluknya dengan erat dan penuh kasih sayang.

Sungmin terus memandang Hyun Ki nanar, mendengar frekuensi nafas milik istrinya yang masih belum stabil dan normal. Memastikan ada atau tidaknya suatu kemajuan yang bisa membuatnya sedikit bernapas lega. Ini sudah kali kedua ia berada di dalam posisi tertekan, melihat Hyun Ki dalam kondisi kritis yang sama sekali tidak pernah diharapkannya akan terjadi lagi seperti sebelumnya.

“Hyunnie-ya…” ia kembali bergumam pelan. Berharap jika Hyun Ki mendengar suara lirihnya.

Ingat akan sesuatu, Sungmin mulai merogoh saku jaketnya. Mengambil sebuah gelang perak yang mulai mengering di dalam saku. Gelang milik Hyun Ki, pemberiannya di hari ulang tahun ke-20-nya. Ia memandang gelang tersebut sebentar, sembari mengingat kata-kata Changmin yang dilontarkan padanya.

“Hyung, aku menemukannya di genggaman Hyun Ki. Kupikir dia tercebur ke dalam kolam renang karena berusaha untuk mengambil gelang ini…”

 

Yeoja itu sampai melupakan trauma masa kecilnya hanya untuk mengambil gelang pemberiannya. Gelang yang tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan nyawanya sendiri. Rasanya, Sungmin ingin berteriak dan memarahinya sekarang juga karena tindakkan bodoh yang membuatnya menjadi seperti ini.

“Kau bodoh, Choi Hyun Ki…”

Disaat para perawat sedang sibuk memasang selang infus dan kembali memeriksa keadaan Hyun Ki, Sungmin masih tetap menatap intens wajah pucat istrinya. “Cepatlah kau bangun. Aku tidak sabar untuk memarahimu karena tindakkan bodoh yang kau lakukan tadi…”

Sungmin memajukan badannya, mendekatkan diri pada wajah Hyun Ki. Ia meraih puncak kepala Hyun Ki dan mengecupnya lembut, beberapa saat dengan penuh kasih sayang. “Hyunnie-ya…mianhae…jheongmal mianhae…”

*

Don’t forget to visit alloffiction.wordpress.com

and of course free to stalk @hyunnie2311 < that’s Choi Hyun Ki’ account^^

Gomawo 🙂