[ONESHOOT] Daddy’s Little Girl

[ONESHOOT] Daddy’s Little Girl

Author: Hyunnie2311 // Main Cast: Super Junior Sungmin, Lee Min Ji (OC) // Support Cast: Lee Sung Jin, Choi Hyun Ki (OC), Lee Min Young (OC) // Rating: T // Genre: Family // Length: Oneshoot // Disclaimer: Super Junior Sungmin and Lee Sung Jin belong to God and their parent, and the others belong to me.

*

Pria itu melangkah mantap melewati gerbang depan camp pelatihan militer yang berada di pinggir kota Seoul. Hari yang paling dinantikannya telah datang, dimana ia akan kembali bertemu dan berkumpul dengan keluarga kecilnya. Lee Sungmin, pria itu, telah kembali dari masa pengabdiannya terhadap negara. Ia kembali dengan sosok yang baru, lebih kuat dan semakin dewasa.

Sesuai dugaan, puluhan bahkan ratusan penggemar grupnya, Super Junior, telah memadati kawasan depan camp. Semua berteriak histeris ketika ia menunjukkan dirinya ke hadapan publik dalam balutan seragam militer beserta topi yang menutupi kepalanya. Mereka –para penggemar –telah siap dengan banner yang dibawa sembari memanggil-manggil namanya, berteriak, menangis, dan tersenyum menyambut kembalinya Sungmin. Ia terharu, penggemarnya masih setia menunggu dirinya kembali. Sebagai rasa terima kasih, ia membungkukkan badan sembilan puluh derajat, kemudian dilanjutkan dengan sikap hormat.

Tak hanya para penggemar, ia juga disambut oleh beberapa anggota grupnya, baik yang telah menyelesaikan wajib militer ataupun belum melaksanakan. Namun kehadiran penggemar juga kerabat dekatnya tak akan lengkap apabila keluarganya tak ada. Disaat bercengkrama singkat dengan anggota Super Junior, matanya sesekali menyusuri kawasan camp, mencari keberadaan keluarga besarnya, terutama istri dan kedua anaknya. Sungmin sungguh tak sabar untuk melihat istri, gadis kecil, juga bayi cantiknya yang baru lahir dua tahun yang lalu.

“Kau pasti mencari Hyunnie, ‘kan?” Ucapan Leeteuk sontak membuat Sungmin menoleh cepat dan segera mengangguk.

“Dia baru sampai dan masih ada di mobil bersama Sung Jin dan kedua orangtuamu, tunggulah sebentar.” Sang leader menunjuk sebuah mobil mewah yang terparkir tidak jauh dari tempatnya berdiri. Di dalam mobil berwarna hitam dengan kaca mobil yang tak kalah hitam tersebut, ada istri beserta anak-anaknya.

Jantungnya sontak berdebar saat melihat pintu belakang mobil dibuka. Sungmin mendesah pelan saat melihat kedua orangtuanya keluar dari dalam mobil bersama dengan adik semata wayangnya. Bukannya ia tidak senang melihat kehadiran keluarganya di sini, hanya saja ia lebih menantikan munculnya keluarga kecil miliknya sendiri. Keluarga dimana ia telah menjadi kepala keluarga untuk istri dan anak-anaknya.

Desahan berganti menjadi senyum bahagia. Sesosok gadis kecil keluar dari dalam mobil, dibantu oleh adiknya, Lee Sung Jin. Lee Sung Jin mengangkat tubuh gadis tersebut dengan mudah dan menggendongnya. Gadis yang digendong Sung Jin, siapa lagi kalau bukan anak tertuanya yang masih berusia empat tahun. Lee Min Young.

Tak berselang waktu lama, wanita tersayang yang paling ia tunggu mulai menampakkan diri dari dalam mobil. Dengan sangat hati-hati, wanita itu memijakkan kakinya di atas tanah sambil menggendong seorang gadis yang jauh lebih kecil dari Min Young.

Hatinya meletup-letup bahagia. Melihat ketiga anggota keluarganya datang untuk menyambut dirinya kembali kedalam hangat keluarga. Tak menyesal ia tak pernah mengambil cuti –kecuali saat istrinya melahirkan –agar dapat kembali dengan tepat waktu.

Bibirnya melengkung senyum. Entah sudah berapa lama ia tak pernah melihat paras cantik juga senyum manis milik istrinya. Terakhir kali ia melihat Hyun Ki –istri Sungmin –saat istri juga kedua anaknya datang menjenguknya di camp militer dan hanya sebentar.

“Oppa…” Hyun Ki tersenyum melihat sosoknya yang kini persis di hadapannya. Sungmin sudah tak tahan, ia pun segera memeluk wanita itu beserta Lee Min Ji, bayi cantiknya yang berada di gendongan Hyun Ki. Rasanya ia ingin menangis sekarang juga. Menangis bahagia.

“Appa…” Panggilan kecil dari Min Young membuat Sungmin merenggangkan pelukkan dan beralih pada gadis kecilnya. Sungmin mengambil Min Young dari Sung Jin dan memeluknya lembut.

“Young-ah~ Appa rindu sekali padamu. Kau tetap menjaga Eomma dan adikmu selama Appa tidak ada, bukan?” Tanya Sungmin lembut khas seorang Ayah. Min Young mengangguk polos. Menggemaskan.

“Gadis kecil Appa yang satu ini memang sangat hebat!” Sungmin mencubit pipi tembam Min Young yang dibalas dengan tawa kecil darinya.

“Nah, bagaimana dengan anak Appa yang satu lagi?” Sungmin melirik kearah Min Ji yang sibuk dengan boneka Pororo yang dipeluknya. Sungmin menurunkan Min Young kebawah dan kini memusatkan perhatian pada Min Ji.

“Min Ji-ya~ kau tak mau menyambut Appa, hm?” Sungmin bertanya pada Min Ji namun tak digubris.

“Hei~ ini Appa, Sayang!” Pria itu menyentuh pipi Min Ji dengan salah satu jarinya. Sungmin sempat tersenyum ketika Min Ji berpaling padanya, tapi seketika senyumnya memudar saat si kecil kembali memperhatikan bonekanya. Apakah Pororo jauh lebih berarti daripada ayahnya sendiri? Oh, astaga. Tidak mungkin.

“Min Ji-ya~ jangan seperti ini. Dia Appamu.” Kini Hyun Ki mulai angkat bicara. Hasilnya tetap sama, Min Ji tak merespon.

Setelah berdiam cukup lama, Min Ji mulai mengangkat wajahnya. Sontak Hyun Ki dan Sungmin mulai berseri-seri saat bayi cantik mereka melayangkan pandangan kearah Sungmin. Mengamati pria itu sejenak. Sungmin telah merentangkan tangannya, siap mengendong tubuh gendut milik Min Ji.

Tiba-tiba ia merasa seperti tersambar halilintar di siang yang panas hari ini. Min Ji mengangkat kedua tangan mungilnya dan mencoba menggapai Sung Jin yang berdiri tak jauh darinya. Lebih mencengangkan lagi, Min Ji memanggil adiknya dengan sebutan Appa.

Dia seperti dihujani salju pada musim panas ini. Tubuhnya membeku seketika. Melihat putri bungsunya memanggil ‘Appa’ di depan dirinya pada orang lain yang jelas-jelas bukan Appa-nya. Min Ji adalah anak Lee Sungmin. Bukan Lee Sung Jin.

Dia, Lee Sungmin. Seorang Appa yang tidak mendapat pengakuan dari anaknya sendiri.

*

Berbagai macam cara telah ia lakukan. Mulai dari membeli banyak mainan, mengajak jalan-jalan, sampai bertingkah seperti orang bodoh agar bisa menarik perhatian Min Ji. Namun hasilnya nihil, Min Ji masih menolak kehadirannya sebagai seorang Appa dan menganggapnya sebagai orang asing.

Sungmin merutuki dirinya sendiri. Kalau begitu dari awal dia sering mengambil cuti agar bisa menghabiskan waktu dengan anak-anaknya, terutama Min Ji.

Dan ini semua salah Sung Jin. Ia baru mendengar dari Hyun Ki jika Sung Jin mengajari Min Ji untuk memanggil dirinya Appa. Karena itulah wajah Sung Jin terekam jelas di otak anak bungsunya sebagai Appa-nya. Bukan Sungmin. Dasar sial!

Kini tenaganya sudah mencapai titik akhir. Tenaganya terkuras habis setelah beberapa jam menarik perhatian Min Ji yang hanya dihadiahi dengan putaran badan dari Min Ji. Sungmin menunduk frustasi. Anak ini benar-benar duplikat istrinya. Keras kepala. Bahkan dari kecilpun sudah terlihat. Bagaimana saat ia tumbuh besar nanti? Seratus perses Sungmin yakin, Min Ji akan menjadi Hyun Ki kedua yang membuatnya stress tak berujung.

Sungmin menidurkan tubuhnya di atas lantai rumah yang dingin. Kepalanya dihadapkan pada Min Ji yang sedang mengoceh tak jelas pada boneka Pororo favoritnya. Wajah Sungmin terlihat putus asa melihat raut wajah Min Ji yang tak menghiraukan kehadirannya.

“Min Ji-ya~ ini Appa…Masa kau tidak mengenali Appa…” gumamnya lirih.

Lagi-lagi Min Ji membelakanginya. Rasanya ia ingin berteriak, mengumpat, dan apapun yang bisa ia lakukan sekarang. Sung Jin benar-benar cari masalah dengannya. Besok-besok, ia tak akan membiarkan Sung Jin datang kerumahnya, bahkan melewati pagarnya sekalipun. Kalau perlu ia siapkan sebuah papan kecil bertuliskan ‘LEE SUNG JIN DILARANG MASUK’.

“Min Ji-ya! Appa akan membelikanmu boneka Pororo yang jauh lebih besar dan bagus daripada boneka ini asal kau memanggilku Appa. Ya?” Sungmin mengambil boneka Pororo yang ada di tangan Min Ji. Wajahnya penuh harap saat Min Ji memandangnya sejenak. Ia sungguh berharap jika gadis kecilnya mengerti dan langsung memanggilnya Appa.

Tapi ia salah. Bukannya mengerti, justru malah menangis. Gadis kecilnya menangis hebat dan memanggil-manggil Eomma-nya.

“Oh! Maafkan Appa, ini bonekamu! Cup…cup…anak Appa tidak boleh menangis!” Sungmin mulai panik. Ia segera memangku tubuh Min Ji dan menenangkannya.

“Ya! Kau apakan Min Ji, hah!?” Dengan apron yang masih melekat sempurna di tubuh rampingnya, Hyun Ki berjalan menghampiri keduanya dengan jengah.

“A-aku hanya bilang padanya untuk memanggilku Appa…”

“Kau ini bodoh atau apa, sih!? Anak kecil tak bisa dipaksa, harus pakai cara yang lembut dan butuh waktu! Dasar bodoh!” Hyun Ki memukul lengan kekarnya dengan keras lalu mengambil Min Ji dari Sungmin.

“Aduh! Sakit!”

“Kalau kau seperti ini lagi, tak ada jatah makan malam untukmu!” Ancaman keras dari istrinya membuat harga diri Sungmin semakin jatuh sebagai kepala keluarga. Sosoknya sebagai kepala keluarga kini tergantikan dengan istrinya sendiri. Diibaratkan dengan pangkat militer, Hyun Ki seperti jenderal besar dan Sungmin hanya sebagai anak buahnya.

“Annyeong! Apa yang terjadi di sini? Kenapa suasana mencekam sekali?” Sung Jin yang baru saja datang langsung mencium hawa tidak menyenangkan di dalam rumah milik kakak lelakinya. Aura mengerikan milik Hyun Ki dan aura suram milik Sungmin bergumul dalam satu ruangan, bercampur satu sama lain membuat suasana rumah tidak secerah biasanya.

“Ada apa di sini? Kalian tak ada yang menjawab pertanyaanku?”

Tak ada satupun diantara mereka yang menjawab pertanyaan Sung Jin. Sungmin masih menundukkan kepala suram di lantai, sedangkan Hyun Ki tengah menimang Min Ji hingga tangis mereda.

“Apakah Min Ji baru saja menangis?” Mendengar suara berat milik Sung Jin, sontak membuat Min Ji menegakkan kepalanya dan melihat kearah Sung Jin.

“Appa…”

Gumaman kecil Min Ji kembali membuat Sungmin dihujani salju di musim panas. Bukan hujan salju lagi namanya, melainkan badai salju. Oh, astaga. Tidak ada refleksi dirinya sekalipun dimata Min Ji. Bukan dirinyalah yang bersanding dengan Hyun Ki di dalam mata anak bungsunya, melainkan Sung Jin yang bersanding dengan istrinya sendiri.

Sementara itu, Sung Jin menegak air liurnya dengan susah payah. Ia bergidik ketika Min Ji memanggilnya Appa di depan Sungmin. Sung Jin memutar kepalanya pelan, melirik singkat pada Sungmin. Matilah dia.

Kilatan emosi nampak jelas dari mata kakak lelakinya. Tangannya terkepal, bersiap-siap untuk melayangkan satu pukulan kearah Sung Jin. Peluh keringat semakin banyak keluar dari pori-porinya, bukan karena kepanasan tapi karena ketakutan. Plastik buah yang ia bawa segera ditaruh asal di atas sofa.

“Se-sepertinya aku harus pergi. Hyunnie-ya! Aku pulang!!”

*

“Hyunnie-ya, apa yang harus kulakukan agar Min Ji menganggapku sebagai Appa?”

Hyun Ki menoleh kearah kasur, tepat dimana Sungmin menunduk putus asa. Pria itu semakin terlihat frustasi karena sifat keras kepala anak bungsunya sendiri. Sudah lebih dari seminggu, tak ada tanda-tanda berarti Min Ji akan mengenalinya sebagai seorang ayah. Anak bungsunya masih menganggapnya sebagai orang asing. Ia mencari sosok ‘Appa’ yang paling ia kenal, yang tak lain adalah adiknya.

“Aku juga sudah berusaha agar dia tidak menganggap Sung Jin Oppa sebagai Appa-nya lagi. Tapi kau tahu sendiri, anakmu itu sungguh keras kepala.” Ujar Hyun Ki sembari mengoleskan krim malam pada wajahnya.

“Kau pikir siapa yang menuruni sifat keras kepala itu, hah? Dia sangat mirip denganmu!”

“Memang!” Hyun Ki terkekeh.

Sungmin merebahkan tubuh lelahnya di atas kasur. Menggunakan kedua tangan sebagai bantalan empuk yang menopang kepalanya. Matanya menerawang kearah langit-langit kamar, berpikir keras. “Cara apalagi yang harus kita lakukan?”

“Entahlah. Sudah banyak cara kita lakukan tapi tak ada yang berhasil. Yah, nikmati saja hidupmu yang tak dapat pengakuan dari anakmu sendiri.”

“Ya!”

*

Sungmin rasanya ingin menangis bahagia sekarang juga. Ia baru saja dapat kabar dari Hyun Ki jika Sung Jin meyakinkan Min Ji bahwa ia bukanlah Appa-nya. Berawal dari Min Ji yang terus memanggilnya Appa di rumah, dan Sung Jin semakin jengah dengan tingkah laku Min Ji. Sung Jin menentangnya keras saat Min Ji memanggilnya Appa hingga menangis keras. Pada akhirnya, Min Ji tak mau digendong oleh adiknya dan memilih bersama Hyun Ki. Karena kerepotan, Hyun Ki menyuruhnya untuk segera pulang dan membantunya.

Inilah kesempatan besar baginya untuk menempatkan diri sebagai sosok Appa di dalam diri Min Ji. Ia akan mendapat pengakuan dari anaknya sendiri. Buru-buru ia merapihkan berkas kerja yang berserakan di atas meja kebesaran miliknya. Hari-hari awal ia bekerja di perusahaan ayahnya, sama sekali tidak berjalan lancar karena pikiran terbagi dua. Antara pekerjaan dan Min Ji. Dan hari ini ia seperti mendapat pencerahan.

Sungmin harus pulang. Lee Min Ji menunggu dirinya. Sambil menyilangkan kedua jari, ia segera melesat pergi ke arah lift.

*

Sampai Sungmin menginjakkan kaki di rumah mewahnya, Min Ji tak kunjung berhenti menangis di gendongan Hyun Ki. Rumah berantakan, bau gosong tercium dari dapur, dan Min Ji terus menangis. Pikiran Hyun Ki sungguh kacau, kebingungan apa yang harus ia lakukan sekarang.

“Aku pulang!” Tanpa membuka sepatu terlebih dahulu, Sungmin langsung masuk kedalam rumah.

“Oppa! Bantu aku!” Hyun Ki meringis.

“Sini, biar aku saja yang menjaga Min Ji.” Sungmin mengambil alih Min Ji dari gendongan istrinya. Layaknya seorang ahli dalam merawat anak, Sungmin menimang-nimangnya dengan lembut sambil menggumamkan kata, ‘berhentilah menangis, Sayang’.

Dalam keadaan masih menangis hebat, Sungmin mengangkat ke udara. Ditatapnya kedua mata mungil yang basah karena air mata. Pria itu tersenyum hangat.

“Appa tidak pernah mempunyai anak yang cengeng. Berhentilah menangis, Sayang. Appa di sini ada untuk Min Ji.”

Ajaib, kata-kata yang terlontar dari mulut Sungmin seakan membius Min Ji. Tangisan Min Ji mulai mereda, dan matanya yang sipit kemudian setengah terbuka memandang kearah ayahnya. Masih terdengar sesenggukan, namun jauh lebih baik.

Sungmin membawanya kearah sofa. Sungmin memeluknya lembut sembari mengusap-usap puncak kepalanya penuh sayang. Berhubung Min Ji sangat mewarisi sifat Hyun Ki, Sungmin melakukan hal-hal yang paling disukai istrinya tersebut. Mulai dari usapan kepala, usapan punggung, hingga ciuman kecil di kedua pipi. Usahanya tepat, semakin lama isakan Min Ji semakin berkurang dan pada akhirnya berhenti.

Hatinya meletup-letup bahagia ketika merasakan sentuhan kecil dari kedua tangan Min Ji yang memeluk lehernya. Kedua tangan mungil anaknya melingkar di leher, dengan kepala yang ditidurkan di atas bahu Sungmin. Apa yang paling membuat seorang ayah bahagia selain diterima oleh anaknya? Tidak ada. Tidak ada hal lain yang membuat Sungmin bahagia selain mendapat pengakuan dari anaknya sendiri untuk saat ini.

Semakin lama, Min Ji semakin menggeliat. Gadis kecil itu semakin tak bisa diam di dalam pelukkan Sungmin. “ Ada apa, Sayang?”

Min Ji melepaskan diri dari pelukan dan mencoba untuk berdiri tegak sambil bertopang tangan pada lengan Sungmin. Untuk pertama kali, Min Ji menatap kedua matanya dalam waktu yang lama. Tatapan polos milik Min Ji sungguh menghipnotisnya. Menggemaskan. Bagaimana bisa ia memiliki dua putri cantik seperti Min Young dan Min Ji? Apalagi Min Ji yang benar-benar identik seperti wanita tercintanya.

“Min Ji-ya, Appa tidak akan pernah membuatmu menangis seperti ini…” ucap Sungmin lembut.

“Appa…” Tubuhnya mulai melemas ketika mendengar kata ‘Appa’ yang keluar dari bibir mungil putrinya. Ia tidak salah dengar bukan? Min Ji sudah memanggilnya Appa bukan?

“Min Ji-ya, kau memanggilku ‘Appa’?” Sungmin bertanya, sekadar meyakinkan jika ia tak salah dengar.

“Appa…” Sungmin tersenyum bahagia. Saking bahagianya, ia langsung menggendong Min Ji kembali dan melesat kearah dapur. Memberitahukan kabar bahagia ini pada sang istri.

“Hyunnie-ya!! Min Ji memanggilku Appa!!”

*

Oneshot Story : Forgiven

Oneshot: Forgiven

 

Note : There is no correlation with Sung-Ki Moment. This is another story with the same characters. Happy reading!

Lee Sungmin

 

Aku memarkirkan mobilku di sebuah tempat parkir kecil di sebelah gedung berukuran tidak terlalu besar tersebut di pagi menjelang siang ini. Aku menarik napas dalam-dalam, menghirup aroma udara pertengahan musim gugur yang bercampur dengan sekelebat aroma daun maple gugur yang beterbangan sesuai dengan pergerakan angin. Kuamati gedung itu dengan seksama, menelusuri dinding gedung yang sudah mulai mengelupas karena termakan waktu, namun tetap berdiri kokoh di pinggir kota.

Dengan tangan sibuk menenteng sekardus ramyeon yang baru saja kuambil dari bagasi mobilku, kakiku melangkah santai menuju pintu masuk Dongjak-gu Vocational Training Center tersebut. Mataku yang terus menatap kesekeliling penjuru gedung, menangkap pemandangan sebuah taman kecil manis yang berada di sekitar wilayah gedung. Melihat taman tersebut, membuatku menyusun rencana kecil-mendadak bagi para anak yang dirawat di sini. Bukan hal yang menarik, namun kurasa bisa menghibur. Yah, kau tahu sendiri apa hobiku. Bermain gitar atau menyanyi, oh jangan lupa mungkin mengadakan permainan kecil-kecilan yang kupikir tidak akan membuat mereka bosan dan berdiam diri saja.

Ini sudah merupakan tahun kelimaku bekerja sebagai relawan di sini. Membantu para perawat atau sekedar memberika sumbangan lalu mengajak mengobrol juga bermain para pasien yang mulai dari anak-anak sampai lansia. Aku telah menjadi relawan di sini semejak aku masih berada di bangku sekolah sampai sekarang, di mana aku menjadi bagian dari sebuah keluarga yang bernama ‘Super Junior’. Tidak hanya aku saja yang menjadi relawan di sini, bahkan teman-temanku dan juga beberapa penggemarku –terdengar kurang enak jika aku menyebutnya ‘penggemarku’ –menjadi relawan di sini walaupun hanya sekedar menyumbang.

Semenjak jadwal kerjaku semakin memadat dan menguras banyak tenagaku di umur 27 tahun, membuatku tidak bisa sesering dulu lagi mengunjungi Vocational Training Center ini. Bahkan aku ingat terakhir kali aku menginjakkan kakiku di sini yaitu bersama Eomma sekitar empat bulan yang lalu, dan itupun aku harus pergi duluan karena ada jadwal kerja yang tidak bisa kutolak. Dan hari ini –sengaja kukosongkan jadwal kerja –aku datang kesini untuk memberikan sumbangan dari keluargaku. Bukannya pamer, hanya sekedar informasi, keluargaku menyumbangkan beras juga ramyeon ke tempat ini setiap sebulan sekali, termasuk juga teman-teman dan penggemarku.

Karena Eomma, Appa, ataupun dongsaengku Sung Jin tidak dapat datang, aku menawarkan diri dengan senang hati untuk menggantikan mereka dan berencana untuk menghabiskan waktuku di sini bersama mereka. Para pasien…penyandang cacat yang membutuhkan sebuah pelatihan khusus di sini.

“Annyeong haseyo!” Sapaku pada seorang perawat yang sudah sangat kukenal. Seorang wanita paruh baya bersenyum hangat, tetap terlihat awet muda walaupun gurat-gurat keriput mulai menghiasi wajahnya.

“O, annyeong haseyo, Sungmin-ah! Aigo~ sudah lama sekali aku tidak melihatmu datang kesini!” ujarnya antusias.

“Ne, jadwal kerjaku terlalu padat sehingga aku tidak bisa menyempatkan diri untuk datang.”

“Seperti biasa, membawa beberapa karung beras dan kardus ramyeon?” aku tertawa renyah, beliau tidak perlu bertanya apa maksudku atau aku memberitahu apa maksudku untuk datang. Beliau sudah tahu.

“Ne. Eomma tidak bisa datang karena ada acara keluarga,”

“Oh, sayang sekali. Banyak sekali yang ingin kuceritakan padanya.” Aku tersenyum. Aku tahu kalau mereka merupakan teman dekat semasa sekolah sampai sekarang, wajar jika beliau kecewa begitu tahu Eomma tidak datang. Kalian harus tahu, setiap Eomma dan aku datang, aku pasti akan menjadi orang ‘terbuang’ –atau lebih halusnya ‘tersisihkan’ –karena mereka terlalu tenggelam dengan topik pembicaraan. Seperti biasa, aktivitas para wanita diwaktu senggang ataupun tidak. Bergosip. Tentang apapun.

“Kau bisa mengunjungi rumah kami kapanpun kau mau, kapan saja, itupun kalau teman bergosipmu –Eomma –ada dirumah.” Wanita bersanggul rendah itu tertawa mendengar leluconku. “Kau bisa saja, Sungmin-ah. Lain kali ajaklah teman satu grup-mu untuk datang kesini, aku yakin para pasien di sini akan terhibur dengan kalian.”

“Kuusahakan kami bisa datang bersama-sama, Ahjumma. Ah, iya apa anak-anak ada di ruangannya?” Aku bertanya mengenai pasien anak-anak, teman-teman kecilku yang sudah lama tak kutemui dalam beberapa bulan terakhir. Aku suka anak-anak, bermain dengan mereka merupakan salah satu hal favoritku. Tidak peduli apakah mereka –maaf –cacat atau normal, aku tetap menikmati waktuku bersama anak-anak. Mereka menyenangkan.

“Oh, mereka ada di taman. Bersama beberapa orang relawan dari SNU –Seoul National University.” Jawab Han Ahjumma –begitu aku memanggilnya. Relawan dari SNU? Ah, pantas saja aku sempat menangkap sebuah mobil asing yang datang.

“Relawan lain?”

“Ne, satu orang relawan baru yang sering mengunjungi tempat ini mengajak beberapa temannya untuk menjadi pekerja sukarela sampai siang.”

“Relawan baru? Nugu?” Aku penasaran.

“Seorang gadis, kau bisa melihatnya di taman kalau kau mau. Sekedar informasi untuk kau yang belum memiliki pacar sama sekali di umurmu yang sudah menginjak 27 tahun ini, dia gadis yang baik dan cantik. Dia juga menyenangkan, aku yakin kau akan suka jika kau mengenalnya.” Aku menyipitkan mata, memandang intens Han Ahjumma yang tidak ada bedanya dengan seorang ibu yang sedang memperkenalkan calon pendamping hidup pada anaknya.

“Dan sekedar informasi untuk Ahjumma, aku datang kesini untuk bermain bersama anak-anak bukan untuk mencari jodoh.” Han Ahjumma tergelak. Aku melangkah semakin masuk kedalam gedung dan meninggalkan resepsionis tempat Han Ahjumma menghabiskan waktunya setiap hari selama tidak ada kerjaan. Aku sangat tahu seluk beluk tempat ini, tanpa perlu melihat kearah papan penunjuk arah, kakiku akan melangkah dengan sendirinya ke tempat yang ingin kutuju sesuai dengan perintah otakku. Taman.

Aku bersembunyi di balik pintu berdaun dua yang menghubungkan bagian dalam Vocational Training Center dengan lorong yang di kelilingi oleh taman. Ya, aku menangkap sekitar lima orang mahasiswa –tiga orang gadis dan dua orang laki-laki –memakai almamater SNU sedang bermain bersama para anak. Mereka terlihat sangat bersenang-senang, bisa kulihat dari pancara mata bahagia mereka.

Sontak aku langsung bersembunyi di balik dinding ketika melihat kelima mahasiswa tersebut menuju kearah dalam gedung. Empat mahasiswa berpamitan pada seorang gadis bertubuh mungil lalu pergi meninggalkan gedung ini. Biar kutebak, gadis bertubuh mungil itu adalah relawan baru dan keempat mahasiswa itu adalah teman-teman yang diajaknya.

Gadis itu kembali ke tempatnya, kembali menemani para anak untuk mengobrol sambil menggambar di sebuah buku gambar berukuran kecil. Tiba-tiba aku tergerak untuk pergi ke taman dan mengajaknya…yah, sekedar berkenalan dan mengobrol. Gadis itu sama denganku bukan? Bekerja sebagai relawan di sini. Apa salahnya untuk mengenal?

Aku tersenyum pada para anak yang menyadari kehadiranku, namun tidak dengan gadis itu. Gadis itu tenggelam di buku sketsanya, melakukan hal yang sama seperti anak-anak yang lain. Menggambar sesuatu. Bahkan disaat aku sudah berdiri di hadapannya yang masih duduk santai di bawah pohon maple, dia masih tidak menyadari kehadiranku. Apa aku terlihat seperti makhluk tak kasat mata?

Aku berdeham singkat, dan gadis itu pun langsung mendongakkan kepalanya keatas. Kedua matanya terbelalak, oh ya aku tahu. Dia pasti sangat mengenaliku. Seorang laki-laki yang wajahnya sering terlihat menghiasi layar televisi. Bukan pamer, tapi memang seperti itulah kenyataannya. Gadis itu segera menaruh buku sketsanya di samping tubuhnya, lalu berdiri dan segera membungkukkan badan sopan.

“A-annyeong haseyo!” sapanya dengan suara lembut yang terdengar gugup. Aku hanya bisa tersenyum saat melihat paras wajah malu-malunya begitu melihatku.

“Annyeong haseyo. Ah, ya kau tidak perlu bersikap sesopan itu padaku.” Bibir tipisnya membentuk sebuah lekukan senyuman. Manis. Dan satu hal yang baru kusadari, aku sempat terbius dengan pancaran sinar mata milik gadis tersebut. Bola mata coklat hazel itu seperti menyihirku. Membuatku tidak ingin berpaling dari hal lain dan tetap menatap matanya yang menurutku sangat cantik.

“Namaku Lee Sungmin. Siapa namamu?” tanyaku dengan nada sedikit terbata-bata. Malu karena sejak tadi aku terus memandangnya dalam beberapa waktu hingga membuatnya bertanya ‘kenapa?’.

“Hyun Ki. Namaku Choi Hyun Ki.”

Kami berkenalan. Dan satu hal yang pasti, perkenalan kami tidak berakhir sampai di sini.

*

Choi Hyun Ki.

Nama yang manis. Menurutku. Dan seperti apa yang Han Ahjumma katakan, gadis itu memang gadis yang cukup menyenangkan. Kami memiliki beberapa kesukaan yang sama. Musim gugur, hari Jum’at, musik, anak-anak, juga wahana permainan yang menantang adrenalin. Lain kali dia akan kuajak untuk menghabiskan waktu bersama sambil melakukan kegiatan yang merupakan favorit kami berdua. Itupun jika dia tidak takut dengan ancaman para ELF.

Di saat waktu senggang, walaupun hanya memiliki beberapa jam sebelum kerja, aku menyempatkan diri untuk datang. Kali ini, alasanku untuk datang ke sini bukan hanya untuk bermain bersama anak-anak juga mengobrol dengan para lansia. Alasanku yang lain, tentu saja Hyun Ki. Gadis berumur tujuh tahun lebih muda dariku yang merupakan mahasiswa SNU di tingkat kedua. Gadis dengan bola mata hazel yang dapat membuat siapapun tersihir jika melihat kedua matanya. Jika kau melihatnya, kau seperti merasakan ada sesuatu yang menarikmu untuk segera mendekat. Perlahan demi perlahan kearahnya, tanpa mau melepaskan diri dari tarikan tersebut.

Usai menghabiskan waktu bersama di Dongjak-gu Vocational Training Center sepanjang hari, sore ini aku mengajak Hyun Ki pergi ke Kona Beans. Entahlah, aku merasa ingin mengenalkannya pada Eomma, dan aku yakin Eomma akan menilai gadis itu dengan pandangan yang sama denganku. Menyenangkan.

Tebakkanku benar. Lihatlah sekarang. Mereka –Eomma dan Hyun Ki –tidak ada ubahnya seperti sepasang sahabat yang sudah mengenal beberapa puluh tahun yang lalu. Aku yang duduk di meja yang menurutku sebuah tempat paling strategis karena bersebelahan dengan jendela, memperhatikan dengan senyum. Mereka merasa cocok satu sama lain. Hyun Ki dengan senang hati membantu Eomma untuk melayani beberapa pelanggan yang sebagian besar adalah ELF. Kurasa mereka terkejut dan cukup heran melihat gadis yang tak pernah mereka lihat sebelumnya itu. Aku bahkan bisa mendengar bisik-bisik mereka dari sini saat berjalan keluar cafe dan sedikit menyunggingkan senyum padaku. Bertanya-tanya siapa gadis itu dan apa hubunganku juga Eomma dengannya.

Kupikir ini bisa menjadi topik hangat para ELF dan mereka akan menyerbuku dengan serentetan pertanyaan yang memiliki satu maksud. Siapa gadis itu. Yang jelas, dia bukan pacarku. Hanya teman sesama relawan yang kebetulan memiliki kesamaan.

Aku memandang sebuah mug bertuliskan ‘Kona Beans’ berisikan sebuah cappucino hangat dengan asap mengepul di atas meja. Kudongakkan kepalaku keatas. Gadis itu sudah berdiri di sampingku sambil tersenyum simpul. Dia yang membawakan cappucino itu untukku.

“Melamun?” tanyanya singkat. Aku mengangkat bahu sekilas. “Seperti yang kau lihat.”

Hyun Ki tertawa. Gadis itu menarik kursi yang ada dihadapanku lalu duduk di atasnya dengan santai. Ia membawa dua mug berisi cappucino, satu untukku dan satunya lagi tentu saja untuknya. Aku memandanginya intens saat ia mulai menyeruput cappucino-nya pelan. Begitu sadar jika sedari tadi terus kupandang, gadis itu memandangku aneh. Kedua alisnya terangkat.

“Apa yang kau lihat? Cepatlah kau minum sebelum cappucino-mu mendingin. Itu buatanku dan kau harus tahu, tidak ada satupun orang –termasuk keluargaku –mengatakan kalau cappucino buatanku itu tidak enak.” Ujarnya sembari menggeser mug itu mendekat kearahku. Aku menertawakannya. Bukan. Bukan karena perkataannya yang terkesan sangat besar kepala atau percaya diri itu, tapi karena busa cappucino yang menempel di bibir atas sampai ke bagian philtrum-nya.

“Kenapa kau tertawa? Memangnya ada yang lucu?” tanya sekali lagi. Aku tidak menjawab, justru tetap tertawa. Aku mengambil sehelas tissue yang tersedia di meja yang kami tempati. Aku memajukan badanku agar tanganku dapat meraih wajahnya. Dengan tissue yang kupegang, aku menghapus sisa busa cappucino yang menempel di wajahnya. Kuusap pelan dan kupastikan tak ada yang bersisa.

Aku lihat gadis itu terdiam. Silih berganti memandangku juga memandang tanganku yang masih sibuk mengusap wajahnya. Saat ia memandangku, aku merasakan sensasi aneh di dalam diriku. Seperti ada kupu-kupu yang beterbang di dalam perutku, seperti ada sebuah dentuman keras di dadaku. Aneh, tapi menyenangkan jika dirasa. Dan sensasi tak biasa ini sudah kurasakan sejak aku semakin sering menghabiskan waktu dengannya.

“Maaf, aku terlalu refleks membersihkan busa cappucino di wajahmu.” Aku mulai salah tingkah. Alih-alih takut jika Hyun Ki tidak suka perlakuanku.

Berbanding terbalik dengan apa yang kupikirkan. Gadis itu sama sekali tidak merasa risih ataupun marah. Ia justru malah memasang wajah tak kalah gugup denganku. Dan yang tertangkap di mataku sekarang, wajahnya mulai bersemu merah di balik kulitnya yang putih halus seperti pualam. Malu.

“Anio~ tidak apa-apa…” gumamnya.

Kami sempat tak berbicara selama beberapa menit. Masih merasa gugup dan malu dengan apa yang terjadi tadi. Tidak special memang, hanya hal kecil. Tapi bagiku, hal sekecil apapun yang dilakukan, baik yang terlihat ataupun tidak terlihat, kadang bisa memberikan dampak besar.

Beberapa menit kemudian, aku memberanikan diri untuk membuka mulut. Bertanya sesuatu yang belum sempat kutanyakan padanya.

“Hyun Ki-ya, boleh aku bertanya padamu?” tanyaku ragu-ragu. Gadis itu memandangku polos. “Tentu saja boleh.”

“Kenapa kau ingin menjadi relawan? Di umur 20 tahun sepertimu harusnya kau lebih memilih menghabiskan waktu untuk bersenang-senang dengan teman sebayamu.” Ujarku, berhipotesa. Memang benar ‘kan? Sebagian gadis yang berumur sama sepertinya, lebih senang berjalan-jalan, menghabiskan waktu bersama teman sebaya, atau mengikui berbagai macam kegiatan di kampus. Umur 20 tahun, merupakan sebuah umur di mana kau merasa bahwa kau sekarang menjadi seseorang yang lebih dewasa. Membuat rencana yang menyenangkan, bebas melakukan apa saja karena kau bukanlah anak kecil yang masih terikat dengan orang tua karena mereka berpikir bahwa kau sudah bisa memilih apa yang terbaik atau terburuk untuk kehidupanmu.

Gadis itu tersenyum mendengar pernyataanku. Bukan senyum manis dan menyenangkan yang sudah biasa kulihat. Kali ini senyuman yang menurut terkesan…menyedihkan. “Oppa pikir…gadis berusia 20 tahun sepertiku ini tidak cocok menjadi seorang relawan?”

“O? Bukan begitu! Aku hanya bertanya alasanmu kenapa kau ingin menjadi relawan…” aku mengoreksi pertanyaanku yang ia pikir aku seperti meragukannya.

Hyun Ki kembali terdiam, ia memilih untuk menyeruput cappucino-nya yang mulai mendingin. Kemudian ia memangkukan wajahnya dengan salah satu tangan lalu melempar pandangannya kearah jendela.

“Alasanku menjadi relawan di sana adalah…adikku.”

*

Kini kami duduk bersisian, di sebuah bangku taman kosong tepat di bawah pohon maple berdaun kuning kecoklatan. Mungkin sebentar lagi satu per satu daun akan gugur menghujani kami berdua seperti guguran daun-daun sebelumnya. Kami memilih tempat ini karena jaraknya yang jauh dari pusat kota dan termasuk kedalam kawasan yang tidak ramai walaupun aku harus siap siaga memakai topi, masker, dan syal sebagai alat penyamaranku. Aku tidak mau gadis ini mendapat masalah besar karena tertangkap basah bersamaku dan aku tidak mau dia mati konyol ditangan para ELF.

Gadis itu, Choi Hyun Ki, memandangku dengan sendu. Bukan lagi dengan ekspresi segar dan ceria seperti biasa yang sering ia tunjukkan padaku. Ia menampilkan sisi lain seorang Choi Hyun Ki yang belum kuketahui. Sebuah sisi yang kurasa membuatnya terlihat terbebani akan sesuatu.

“Aku tidak pernah menceritakan alasanku ini sebelumnya pada semua orang, termasuk teman-teman terdekatku juga keluargaku.” Gumamnya pelan. Aku begitu terkejut mendengar pengakuannya. Rasanya tidak enak sama sekali, meminta seseorang untuk mengatakan sebuah alasan yang sebenarnya tidak pernah diketahui oleh orang lain.

“Benarkah? Ka-kalau begitu, kau tidak perlu mengatakannya padaku. Kupikir itu adalah privasimu dan aku tidak berhak tahu, lebih baik kita bicarakan hal lain saja.” Aku menarik kembali kata-kataku sebelumnya yang ingin tahu alasannya. Tidak ingin membuatnya merasa berat hati karena harus memberitahu pria yang sama sekali tidak mempunyai hubungan apapun dengannya.

Tiba-tiba gadis itu menggeleng pelan. Lagi-lagi tersenyum, walaupun bukan menampilkan senyum yang kusuka. Mata hazelnya memperlihatkan sinar kesedihan yang mendalam. Menyesal. “Aku…memutuskan untuk memberitahukan ini padamu. Karena kupikir kau adalah pria yang dapat kupercaya.”

Aku terdiam. Lantas, aku menggeser badanku semakin mendekati Hyun Ki hingga lengan kami yang berbalut mantel menempel satu sama lain. Bahkan saat angin berhembus, aku bisa mencium aroma parfum yang dipakainya. Tidak menyengat dan menusuk hidung seperti parfum yang dipakai oleh para gadis saat aku masih kuliah. Sungguh menyengat, dan hampir membuatku mati keracunan. Wangi ini justru membuatku nyaman.

“Kalau kau mempercayaiku…ceritakanlah padaku, aku siap mendengarkan. Kau tahu, aku termasuk tipikal good-listener,” ujarku untuk mencairkan suasana.

“Ceritanya panjang, dan kupikir kau akan tertidur jika mendengarkannya,” dia terkekeh. “Taruhan denganku, kalau aku tidak tertidur atau mengantuk sedikitpun, kau harus mentraktirku makan.”

Gadis itu mulai bercerita dan aku sibuk mendengarkan, juga memperhatikan gurat-gurat wajah kesedihan miliknya dan mata hazelnya yang tetap terlihat bersinar.

“Aku mempunyai adik perempuan berumur 10 tahun dan dia…cacat.” Hyun Ki menggantungkan kalimatnya saat mengucapkan kata ‘cacat’. Terdengar berat di telingaku. “Dulu aku beranggapan jika seseorang memiliki anggota keluarga yang cacat, itu hanya akan menjadi aib keluarga, tidak berguna sama sekali. Aku tidak pernah terima kalau aku mempunyai adik yang cacat. Tidak bisa berbicara dan hanya mengerti perkataan orang dengan isyarat tangan. Walaupun begitu, Eomma dan Appa tetap sayang padanya. Dan kupikir kau pasti bisa menebak tentang aku. Aku membencinya, aku tidak suka mempunyai adik yang cacat. Memalukan.”

Aku tidak berkomentar, tetap mendengarkan ceritanya yang semakin lama semakin terdengar memilukan. “Aku ingin sekali dia enyah, lebih baik aku menjadi anak tunggal untuk selamanya daripada aku memiliki adik yang cacat. Itu membuatku semakin berpikiran jahat dan picik. Aku menjahatinya, mengabaikannya, tidak pernah mengakuinya sebagai adik disaat teman-temanku datang dan bertemu dengannya. Aku hanya bilang dia anak panti asuhan yang diadopsi oleh orangtuaku karena belas kasihan.”

“Aku selalu memarahinya, mencari-cari kesalahan agar orangtuaku berpihak padaku. Kebencianku terus berlanjut sampai pada saat hari ulang tahunku…” tubuhnya mulai bergetar, dan aku melihat bulir-bulir air mata mulai jatuh di atas pahanya. Ia menunduk, menyembunyikan kesedihannya dariku. Refleks tanganku mencoba menyentuh bahunya dan segera merangkulnya.

“Kalau kau tidak ingin menceritakannya, tidak usah. Aku tidak memaksamu untuk meneruskan…” aku menahannya, tapi justru dia malah menolaknya. Ia ingin terus bercerita padaku.

“Adikku memberikan sebuah hadiah untukku. Sebuah scrapbook yang ia buat dengan susah payah, dan aku tahu dia sepanjang malam membuatkan scrapbook itu khusus untukku, sebagai hadiah ulang tahunku ke 19…”

“Saat hari ulang tahunku, Eomma dan Appa pergi keluar negeri untuk bekerja, dan aku hanya bersama adikku dan pelayan-pelayan di rumahku saja. Disaat aku tengah meniup lilin kue ulang tahunku yang dibawa oleh pelayan, adikku datang dengan riangnya memberiku sebuah scrapbook yang menurutku sangat jelek dan berantakan. Lem berantakan, potongan kertas tak beraturan, bahkan ada noda darah yang kupikir adalah darahnya membuat scrapbook itu semakin jelek dimataku…”

“Hal yang semakin membuatku terlihat seperti orang jahat, aku membanting scrapbook itu dengan kasar dan aku menginjaknya, di depan mata adikku. Aku berkata kalau hadiahnya jelek, tidak ada gunanya. Adikku menangis dan langsung berlari keluar rumah dan aku masih masih keras kepala untuk tidak peduli. Aku justru merasa senang karena dia sudah enyah dari rumahku.” Menyedihkan, komentarku yang pertama.

“Dan kau tahu, Oppa…itu hari terakhir dimana aku melihat adikku…dia…saat itu…tertabrak mobil dengan kecepatan penuh dan dia meninggal di tempat…” gadis itu semakin menangis dan membuatku langsung memeluknya dengan segera. Mengusap-usap punggungnya pelan untuk menenangkannya yang tengah kalut karena masa lalunya.

“Aku merasa bersalah, aku merasa kalau akulah yang membuatnya tertabrak mobil dan meninggal. Aku berkali-kali meminta maaf pada orangtuaku. Appa memaafkanku tapi tidak Eommaku. Kini Eomma membenciku…dia tidak pernah mau menatap wajahku dan berbicara denganku, aku seakan seperti makhluk yang tidak terlihat di matanya. Karena itulah, untuk menebus kesalahanku, aku menjadi relawan di sana, bermain dengan mereka, anak-anak penyandang cacat yang sebaya dengan adikku…”

“Aku tahu, walaupun aku bertekad menjadi relawan seumur hidupku, aku tidak akan menebus kesalahanku sebagai seorang kakak yang jahat. Tapi setidaknya bisa mengobati lukaku karena terlalu menyesali kebodohan dan kehidupanku yang gamblang.” Kini Hyun Ki semakin terisak-isak dipelukanku. Aku mengerti perasaannya. Bagaimana rasanya hidup dibayangi oleh rasa penyesalan yang tak kunjung hilang. Setiap hari kau seperti memikul beban berat di setiap waktu, tidak akan berkurang atau justru malah semakin memberat.

“Bagaimana menurutmu? Aku tidak sebaik dan menyenangkan seperti yang kau kira, aku hanya seorang kakak yang jahat…” ujarnya di sela tangisannya.

“Kau tidak jahat, Hyun Ki-ya. Kau gadis yang baik. Aku tahu itu…”

“Aku…ingin Eomma seperti dulu. Aku ingin Eomma kembali menyayangiku…kau tahu, saat aku mengobrol bersama Eomma-mu di Kona Beans, aku merasa aku sudah lama tidak memiliki waktu sebahagia ini dengan Eomma-ku. Aku ingin semuanya kembali seperti semula…” Aku merenggangkan pelukanku padanya. Aku mengangkat wajahnya dan mengusap setiap bulir air mata yang keluar dari sudut matanya.

“Kau bisa merasakannya kembali. Katakanlah pada Eomma-mu apa yang kau rasakan sekarang, kau tetap anaknya dan seorang ibu harus tetap memperhatikan anaknya walau sebesar apapun kesalahan yang diperbuat. Kau pantas mendapatkannya kembali…”

*

From : Choi Hyun Ki

 

Aku akan melakukannya sekarang…

Oppa, doakan aku 🙂

 

Dan sukses untuk performance-mu! Fighting~^^

 

Di sela menunggu penampilan Super Junior yang merupakan urutan terakhir di salah satu acara musik ditelevisi, aku mendapat sebuah pesan singkat dari Hyun Ki. Aku tersenyum tipis saat membaca isi pesan singkat dari gadis itu. Dia akan melakukannya sekarang. Aku berharap jika kehidupannya akan baik-baik saja setelah semuanya selesai.

“Kenapa senyum-senyum seperti itu?” sontak aku mengangkat wajahku. Leeteuk Hyung sedang memandangku aneh saat melihatku tersenyum sendiri, memandangi layar ponselku. Aku hanya menggeleng pelan.

“Kau mulai menyembunyikan sesuatu padaku, baiklah…”

“Hahaha, kapan-kapan akan kuberitahu, Hyung!”

“Terserah kau saja, ayo bersiap-siap! Sebentar lagi giliran kita!” Leeteuk Hyung kembali bersama para member lain yang sedang berkumpul di sofa yang tak jauh dari tempatku duduk bersantai di depan meja rias. Untuk saat ini, aku tidak terlalu tertarik dengan percakapan mereka hingga berkumpul mengerubungi sofa layaknya para ibu yang baru saja mendapat gosip baru. Aku lebih tertarik pada gadis yang satu ini, menunggu kabar baik darinya. Tiba-tiba aku tergerak untuk membalas pesan singkatnya.

 

To : Hyun Ki

 

Setelah acara ini selesai, bagaimana kalau kita minum cappucino bersama di Kona Beans? Aku ingin meminum cappucino buatanmu. Cappucino buatanmu enak sekali~^^

 

*

 

Choi Hyun Ki

 

Usai mengirim pesan singkat pada Sungmin Oppa, aku menaruh ponselku rapi di atas meja belajar. Aku akan pergi ke kamar Eomma dan melakukan hal yang sudah seharusnya aku lakukan dari awal. Aku harus melakukannya demi hubunganku dengan Eomma. Aku ingin memperbaiki semuanya.

Aku pergi ke halaman belakang, tempat Eomma menghabiskan waktu sepanjang hari di sana jika tidak ada kegiatan. Seperti biasa, Eomma selalu duduk di kursi berbahan kayu mahoni favoritnya yang di letakkan tepat di depan halaman belakang. Tentu saja dengan foto adikku di tangannya. Kedua mata hazelnya –yang diwariskan olehku –memandang foto tersebut dengan nanar. Tangannya terus membelai sosok adikku dalam bingkai foto itu. Membuatku semakin merasa menyedihkan karena merasa Eomma hanya menangisi kepergian adikku saja selama setahun ini, tidak pernah berpaling padaku. Tidak ada perhatian apapun. Tidak peduli apakah aku sudah makan atau tidak, sakit atau sehat, tidak ada kalimat cemas seperti itu lagi yang kudengar. Dan aku sangat menginginkan kalimat itu terdengar lagi di telingaku.

Aku berjalan mendeketi Eomma. Aku berdiri di depan Eomma dengan wajah nanar. Baru berdiri beberapa detik saja di sini rasanya ingin menangis. Eomma tidak menatapku, hanya menatap bingkai foto adikku.

“Eomma…mianhae…” aku meminta maaf pada Eomma.

“Eomma…” aku terus memanggilnya tanpa henti, tidak menyerah sekalipun walaupun sama sekali tidak ditanggapi. Kedua lututku kemudian melemas, aku berlutut di depan Eomma, aku menangis. Meluapkan semua apa yang kurasakan sekarang.

“Eomma! Jebal! Lihat aku! Aku ada di sini! Kenapa Eomma tidak pernah mau melihatku selama ini! Anak Eomma bukan Hyun Rin saja! Aku juga anak Eomma! Aku butuh Eomma! Aku butuh kasih sayang Eomma! Aku ingin Eomma seperti dulu lagi…” aku terisak-isak di hadapannya.

Ajaib, Eomma menolehkan kepalanya kearahku. Menatapku tidak lagi dengan tatapan mata menyudutkan dan menyalahkanku atas kepergian Hyun Rin, adikku. Kali ini Eomma menatapku dengan getir, merasa bersalah begitu tahu bagaimana perasaanku yang selama ini tidak pernah kukeluarkan sedikitpun karena aku memilih untuk diam. Eomma meneteskan air mata. Kedua tangannya menyentuh wajahku, mengangkat wajahku lalu mengusap air mataku.

Mulut Eomma yang selalu terkatup rapat untukku seketika terbuka. “Maafkan Eomma, Sayang…”

 

 

*

 

 

Kakiku melangkah ringan, berjalan melewati kerumunan para pejalan kaki yang berlawanan arah denganku. Perasaanku yang sekarang…benar-benar tak dapat kudeskripsikan dengan mudah. Kalaupun di depanku ada kertas kosong untuk kutulis, kertas itu akan tetaplah menjadi sebuah kertas kosong, aku tidak akan menulis apapun. Karena sudah kubilang sebelumnya, aku tidak mendeskripsikan perasaanku saat ini.

Masih jelas teringat diotakku, bagaimana aku memandang wajah Eomma dengan sendu, berharap jika Eomma masih sudi untuk menatap kedua mataku walaupun hanya satu detik. Aku menangis di depan Eomma, mengatakan seluruh perasaanku juga emosiku yang turut membuncah, mengeluarkan apapun yang kurasakan selama setahun penuh ini. Memberitahukan bagaimana rasanya hidup selama setahun menjadi sosok tak kasat mata di depan orang yang melahirkanmu, orang yang membesarkanmu. Menjadi seorang gadis yang hidup tanpa kasih sayang dan perhatian seorang ibu yang jelas-jelas masih berada satu tempat denganmu. Cukup menyakitkan bukan?

Aku mengeluarkan semua, berteriak hingga suaraku habis. Meminta Eomma untuk kembali seperti dulu, kembali menganggapku ada, dan memperhatikanku. Aku berlaku seperti ini karena aku anak Eomma. Aku juga butuh kasih sayang dari Eomma-ku sendiri.

Sungmin Oppa…aku harus benar-benar berterima kasih padanya. Kalau saja aku tidak bercerita padanya dan dia tidak memberikan saran padaku, aku yakin aku tidak akan pernah merasa sesenang ini. Karena Sungmin Oppa, hubunganku dengan Eomma kembali membaik dan aku sangat bersyukur akan hal itu.

Pintu Kona Beans kubuka dengan cepat hingga gemerincing lonceng kecil yang tergantung di atas terdengar cukup keras dan mengejutkan Sungmin Oppa yang sedang terpaku dengan Ipad putihnya. Dengan senyum yang sejak tadi tak kunjung memudar, aku segera berlari kecil menuju tempatnya, menarik kursi lalu duduk di atasnya.

“Eottokhae? Berjalan baik?”

Aku tersenyum, memandangnya melalui mataku yang masih terlihat sangat bengkak sehabis menangis. Aku mengangguk pelan. “Ne, gomawo, Oppa…kau sangat membantu…”

“Syukurlah sekarang hubunganmu membaik dengan Eomma-mu, Hyun Ki-ya. Aku turut senang.” Sungmin Oppa tersenyum manis, ia meraih puncak kepalaku lalu mengacak-acak poni tipisku dengan lembut. Terkejut juga berdebar-debar hingga membuat wajahku bersemu merah. Hatiku pun berdesir hangat seiring dengan wajahku yang semakin memerah ketika melihat pria itu tersenyum di hadapanku.

“Ah, iya kau masih ‘kan kalau aku memintamu untuk membuatkan cappucino untukku? Aku sangat ingin meminumnya sekarang…”

“Arraseo, aku akan membuatnya dan kau harus membayarku dua kali lipat dari harga normal!” Aku terkekeh melihatnya membulatkan kedua mata. Aku meninggalkannya dan segera berlari menuju tempat Lee Ahjumma yang masih sibuk di depan kasir Kona Beans.

“Ya! Choi Hyun Ki! Kau tidak bisa melakukan hal itu padaku!!”

*

Lee Sungmin

 

Akhir dari musim gugur yang akan segera berganti ke musim semi. Perubahan cuaca yang cukup ekstrim membuat bulu kudukku merinding. Gemetaran begitu terkena udara dingin yang menyentuh kuat kulitku.

Hari ini, tepat dimana hari ulang tahun Hyun Ki ke-21 sekaligus peringatan kematian adiknya yang menginjak tahun kedua, ia mengajakku untuk pergi ke makam Choi Hyun Rin, adiknya. Kebetulan sekali aku tidak ada jadwal kerja sehingga aku dengan senang hati untuk ikut dengannya.

Kami tiba di sebuah nisan berukirkan nama ‘Choi Hyun Rin’ di atasnya. Aku masih tetap berdiri di tempatku, sedang Hyun Ki sudah lebih dulu berlutut dan menaruh bunga mawar putih di depan nisan adiknya. Dengan senyuman khas yang kini tidak lagi terlihat menyedihkan, ia berdoa sebentar. Mengaitkan seluruh jemarinya dalam satu kepalan lalu merapalkan doa, doa terbaik untuk kehidupan adiknya di dunia yang sama sekali berbeda dengan dunia kami sekarang.

Usai berdoa, ia kembali membuka matanya, dan kali ini ia mengajak ‘adiknya’ berbicara. “Hyun Rin-ah, mianhae Eonnie baru sempat datang kesini sekarang. Dan apa kau lihat siapa ada di belakangku sekarang? Dia Lee Sungmin Super Junior. Kau suka menonton Super Junior ‘kan di televisi? Sekarang dia ada di sini, dia datang untuk menemuimu.”

Aku hanya tersenyum mendengar perkataan Hyun Ki. Aku baru tahu kalau adiknya gemar menonton kami –Super Junior –di televisi.

“Hyun Rin-ah…kau harus tahu, aku dan Eomma kembali seperti dulu lagi, Sayang. Aku senang sekali, dan seandainya kau masih ada di sini…mungkin aku akan jauh merasa lebih lengkap…” Aku turut berjongkok di samping Hyun Ki. Alih-alih ia kembali lagi menangis, aku kembali menaruh tanganku di belakang punggungnya, dan sesekali mengusap punggung kecilnya berusaha memberi kekuatan.

“Hyun Rin-ah…maafkan aku kalau selama kau hidup aku tidak pernah berlaku baik padamu, aku selalu kasar dan menganggapmu sama sekali tidak berguna. Maafkan aku…justru akulah yang tidak berguna, aku hanya cerminan anak manja yang hanya bisa merepotkan orangtua…mianhae…” Persis seperti dugaanku, dia kembali menangis.

“Adikmu pasti akan memaafkanmu, karena dia terlalu sayang padamu. Seberapa banyak kesalahan yang kau torehkan pada adikmu, kau tetap kakaknya…” Hyun Ki membenamkan kepalanya dibahuku, mencengkram kerah mantelku kuat-kuat untuk menahan rasa sedihnya. Tidak banyak yang bisa kulakukan, aku hanya berusaha untuk menenangkannya.

Hyun Ki melepaskan cengkramannya di mantelku dan menjauhkan diri dariku. Ia mengusap air matanya lalu mencoba menarik napas dalam-dalam. Jauh terlihat lebih baik. “Aku…masih menyimpan scrapbook pemberianmu, Hyun Rin-ah. Aku selalu merawatnya dan akan selalu membukanya kalau aku sedang merindukanmu…I miss you so much, dongsaeng-ah…”

“Hyun Rin-ah…kalau saja kau masih ada di sini bersama kami, aku pasti akan mengajakmu jalan-jalan atau memberikan dua tiket konser gratis Super junior juga izin masuk backstage bersama kakakmu.” Aku berceletuk hingga membuat Hyun Ki tertawa. Tidak sampai disitu saja, tanpa sadar aku mengatakan hal itu tepat di depan Hyun Ki juga adiknya.

“Dan kalau saja kau masih ada di sini, aku ingin meminta izin padamu secara langsung kalau aku ingin kakakmu menjadi pacarku.” Tawa Hyun Ki terhenti, ia menoleh cepat dan memandangku dengan tatapan terkejutnya. Aku memandangnya serius dengan senyum mengembang di bibirku.

“Kau harus tahu, Hyun Rin-ah. Aku sangat menyukai kakakmu sejak aku mengenalnya lebih jauh. Kakakmu adalah gadis yang menyenangkan dan bisa membuatku merasa lebih nyaman saat aku bersamanya…kau mengizinkanku untuk memacari kakakmu, bukan?” aku memang terkesan seperti orang gila. Tapi aku yakin kalau Hyun Rin tengah mendengar perkataanku sekarang.

“Eottokhae, Hyun Rin-ah? Bagaimana menurutmu? Apa kakakmu akan menerimaku?” tanyaku enteng sembari memandang nisan Hyun Rin dengan penuh penasaran. Kulirik sebentar, Hyun Ki tersenyum sembari mendesah pelan. Tiba-tiba ia membuka mulutnya dan melakukan hal yang sama denganku.

“Hyun Rin-ah, katakan pada pria aneh di sampingku ini kalau aku akan menerimanya karena aku memiliki perasaan yang sama dengannya.”

*

Sung-Ki’ Family Moment : Happy Father Day!

Sung-Ki’ Family Moment : Happy Father Day!

 

 Time-set : 2017 (When Min Young was 5 years old)

“Appa…” Pria yang dipanggil ‘Appa’ itu sontak mengangkat wajahnya, berpaling dari setumpuk berkas-berkas dihadapannya menuju kearah pintu yang terbuka setengah setelah didorong susah payah oleh seorang gadis mungil yang muncul dibaliknya. Pria dewasa itu membetulkan letak kacamatanya lalu tersenyum dan mengibas-ngibaskan tangannya, menyuruh sang gadis kecil untuk mendekatinya.

 

“Kenapa? Sini,” gadis kecilnya mengangguk kemudian berlari kecil menuju kursi kerja ayahnya. Sang ayah merentangkan kedua tangannya untuk meraih tubuh mungil tersebut, mengangkatnya dan menaruhnya di atas pangkuan. Sejenak ia melupakan pekerjaannya, meluangkan sedikit waktu di malam hari untuk gadis kecil yang merupakan anak pertamanya.

 

“Ada apa, Sayang?” tanyanya lembut.

 

“Appa, kamis nanti ada acara peringatan Hari Ayah, lalu…” Gadis kecil itu menggantungkan ucapannya membuat Sungmin –pria itu –mengangkat kedua alisnya. Gadis kecilnya terlihat seperti sedang berpikir, ragu untuk mengatakan kelanjutan dari kalimatnya tadi.

 

“Lalu apa?”

 

“Setiap murid harus tampil dengan Appa-nya di atas panggung. Appa…bisa datang ‘kan?” tanya gadis itu. Sungmin tertawa kecil. Tangannya yang bebas meraih puncak kepala gadisnya lalu diacak-acak rambutnya pelan.

 

“Tentu saja Appa bisa datang, Youngie-ya! Kita akan tampil bersama nanti!” Gadis yang dipanggil ‘Youngie’ itu tidak menjawab dan hanya menatap ayahnya ragu.

 

“Kenapa lagi?”

 

“Aku tidak yakin Appa akan datang. Acara-acara kemarin saja Appa janji akan datang tapi ternyata tidak…” Min Young –Youngie –menunduk, sibuk meremas-remas ujung piyama bermotif bunga-bunga yang dikenakannya.

 

Astaga, anak gadisnya yang satu ini masih saja mengingat kesalahan-kesalahan Sungmin kemarin. Baiklah, Sungmin memang salah karena sudah berjanji untuk datang namun tidak sesuai harapan. Ia tidak datang. Tapi itu sama sekali bukan maunya. Pekerjaan, meeting mendadak, atau pertemuan dengan klien sukses menyita waktunya hingga membuat ia tidak bisa memenuhi janji ataupun permintaan anak-anaknya.  Membuatnya tidak memiliki waktu banyak untuk berkumpul bersama keluarga, hingga membuat anak-anak lebih dekat dengan ibunya daripada ayahnya, yaitu dirinya sendiri.

 

“Youngie tidak perlu khawatir, kali ini Appa benar-benar berjanji untuk datang dan tampil denganmu.” Tangan kekar Sungmin menepuk puncak kepala Min Young lembut diikuti dengan usapan hangat darinya hingga terbentuk sebuah senyum kecil di wajah cantik gadis kecilnya.

 

“Yaksok?” Min Young menunjukkan jari kelingking mungilnya pada Sungmin. Pria itu juga melakukan hal yang sama seperti anaknya, menunjukkan jari kelingking lalu ditautkannya dengan jari kelingking mungil milik anak gadisnya yang seketika membuat wajah gadis itu semakin berseri-seri dan sontak memeluknya.

 

“Gomawo, Appa!” Gadis itu terus memeluk ayahnya dengan erat. Terlalu senang. Baru kali ini ia melihat Min Young begitu senang mengingat jika gadis kecil itu termasuk tipikal pendiam dan introvert, juga jarang menunjukkan sisi kekanakkan dan kesenangannya pada setiap orang.

 

“Youngie-ya~ ternyata kau di sini. Eomma sudah mencarimu kemana-mana, Sayang.” Tak lama muncul seorang wanita dewasa dari balik pintu ruang kerja Sungmin. Wanita itu melangkah masuk kedalam mendekati keduanya –Sungmin dan Min Young –lalu menggendong gadis kecil tersebut.

 

“Youngie harus tidur sekarang. Youngie tidak mau dimarahi oleh Songsaenim bukan?” Gadis itu menggeleng pelan.

 

“Jadi sekarang Youngie harus tidur. Eomma akan menemanimu, ne?” Choi Hyun Ki –wanita itu –mencubit hidung mancung milik Min Young hingga membuat gadis kecil itu tersenyum dan kemudian tertawa. Manis.

 

“Appa, aku tidur dulu.” ujar Min Young polos. Sisi polos yang dimiliki Min Young sukses membuat Sungmin merasa gemas padanya. Pria itu mengacak-acak poni halus Min Young lalu memberikan sebuah kecupan manis dipipi Min Young.

 

“Selamat bermimpi indah, Youngie-ya. Jjaljayo!”

 

“Oppa, kau juga harus tidur. Kau ‘kan harus masuk kerja besok!” ucap Hyun Ki.

 

“Ne, sedikit lagi aku akan menyelesaikan pekerjaanku.”

 

“Kajja!” Bersama Min Young di dalam gendongannya, Hyun Ki beranjak pergi dari ruang kerja Sungmin menuju kamar Min Young yang berada di lantai dua. Sungmin tersenyum saat melihat anak pertamanya itu menguap, lalu menjatuhkan kepalanya di bahu Hyun Ki dan kemudian menutup matanya. Menggemaskan.

 

Ah, iya fokus. Pria itu kembali memfokuskan dirinya pada setumpuk berkas yang tidak akan selesai dengan sendirinya. Sungmin mengerjakannya dengan cepat, tidak ingin berlama-lama di ruangan sepi yang hanya ditemani dengan suara jarum jam bergerak. Ia harus menyelesaikannya sekarang juga dan kemudian beristirahat.

 

 

*

 

Next Thursday

 

 

Gadis kecil berkuncir dua itu terus menoleh setiap menit kearah pintu aula milik taman kanak-kanaknya. Ia menunggu seseorang, siapa lagi kalau bukan ayahnya. Kakinya terus digoyang-goyangkan, seiring tolehannya kearah pintu. Kenapa ayahnya belum datang sampai sekarang? Padahal sebentar lagi acaranya sudah mau dimulai. Kemudian gadis itu mendongakkan kepalanya kesebelah, kearah ibu-nya yang kini sedang sibuk dengan adiknya yang masih berusia tiga tahun.

 

Tangan mungilnya mencengkram cardigan hijau yang dipakai Hyun Ki –ibunya –dan ditariknya dengan pelan. “Kenapa, Sayang?”

 

“Appa…kenapa belum datang?” Hyun Ki tertegun. Benar juga. Sungmin belum datang dan memperlihatkan batang hidungnya di depan Hyun Ki. Kemana pria itu? Sepertinya Hyun Ki harus menelepon Sungmin. Memastikan pria itu masih mengingat janjinya untuk datang dan tampil bersama dengan Min Young.

 

“Ng…mungkin masih dijalan, Sayang. Eomma mau keluar sebentar, Eomma harus menelepon Appamu. Chakkaman!” Sambil menggendong Min Ji –anak keduanya, Hyun Ki beranjak berdiri. Ia berjalan kearah tengah ruangan untuk menemui Hae Mi yang sedang berbicara dengan salah satu staff guru taman kanak-kanak tersebut.

 

“Hae Mi-ya!” panggilnya. Wanita yang dipanggil ‘Hae Mi’ itu menoleh, meninggalkan guru wanita itu untuk mendekati Hyun Ki.

 

“Waeyo?”

 

“Aku harus menelepon Sungmin Oppa, bisa kutitipkan Youngie dan Min Ji sebentar?”

 

“Tentu saja. Lagipula Hyuk Jae Oppa dan Jae sedang berlatih di luar jadi aku tidak ada kegiatan. Min Ji-ya~ sini sama Hae Mi Eomma~” Hae Mi meraih tubuh mungil milik Min Ji dan mengambil alih Min Ji dari ibunya. Baguslah, tidak susah untuk menitipkan Min Ji pada Hae Mi. Tidak seperti Min Young ketika masih kecil. Sulit sekali menyuruhnya untuk bersama orang lain karena karakternya yang pendiam dan hanya ingin kedua orang tuanya.

 

“Gomawo, Hae Mi-ya! Aku segera kembali!” Hyun Ki berjalan cepat, bergegas keluar dari aula tersebut dan segera menelepon Sungmin.

 

“Yeoboseyo…” Suara yang terdengar memelas itu terdengar dari seberang.

 

“Oppa! kau dimana?” Tanya Hyun Ki tanpa basa-basi dan nada lembut sekalipun. Wanita itu mulai kesal karena suaminya tak kunjung datang.

 

“Aku…di kantor…”

 

“Mworago!? Ya! Bukankah Youngie sudah mengingatkanmu hari ini untuk datang?”

 

“Dengarkan aku dulu! Aku ingat dan selalu ingat kalau hari ini aku tampil dengan Youngie di sekolahnya! Aku sudah bersiap-siap untuk pergi tadi, tapi…”

 

“Tapi apa?” Hyun Ki menyela ketika Sungmin memberikan jeda pada perkataannya.

 

“Tapi aku ada meeting mendadak. Eottokhae?”

 

“Itu bukan urusanku. Aku tidak mau tahu, terserah kau bagaimana caranya kau datang tepat waktu sebelum kalian berdua tampil. Kalau kau coba-coba membuat Youngie kita kecewa lagi, aku tidak akan memperbolehkanmu masuk kedalam rumah apalagi masuk kamar!”

 

“Ya! Hyunnie! Kau…”

 

CLICK!

 

Hyun Ki langsung memutuskan pembicaraannya dengan Sungmin. Tidak mau tahu. Terserah pria itu mau beralasan apa yang jelas pria itu harus datang sesegera mungkin sebelum gadis kecil mereka menangis kecewa dihadapan mereka berdua.

 

Hyun Ki kembali memasuki ruangan, kembali ke tempat duduknya bersama anak-anak dan para orang tua murid yang lain di barisan depan. Sadar jika ibunya sudah kembali, Min Young segera memutar badannya yang semula menghadap Hae Mi dan Min Ji menjadi kearah Hyun Ki yang tengah mendesah keras.

 

“Eomma, bagaimana Appa?” Hyun Ki hanya bisa tersenyum lalu mengusap puncak kepala Min Young. “Appa akan datang nanti.”

 

“Appa pasti datang ‘kan?” Hyun Ki mengangguk.

 

Semoga saja.

 

 

*

 

“Ya! Hyunnie! Kau…”

 

TUT TUT TUT

 

Panggilannya diputus. Ponselnya diturunkan pelan-pelan dengan wajah memelas dan ia kembali memasukkan ponselnya kedalam saku jasnya. Pria itu tidak pernah bermaksud untuk mengecewakan Min Young untuk kesekian kalinya. Ini hanya tentang masalah waktu yang membuat selalu membuat putrinya kecewa. Lalu sekarang bagaimana? Kalau ia kembali melewati momen penting seperti ini, bukan hanya Min Young yang kecewa, bahkan Hyun Ki juga akan kecewa padanya.

 

“ARRGH!! Mati aku!” Sungmin meremas kuat-kuat rambut hitamnya. Frustasi.

 

“Sungmin-ah?” Sungmin mengangkat kepalanya, mendapati sosok tegas milik ayahnya sudah berdiri di sampingnya. Buru-buru ia merapihkan rambut juga penampilannya yang mulai berantakan saking frustasinya.

 

“O, Appa…” ucapnya ragu-ragu.

 

“Ada apa denganmu? Ada masalah?”

 

“Ng…anio…tidak ada apa-apa…”

 

“Benarkah? Sebentar lagi meeting akan dimulai. Ayo kita masuk bersama-sama,” Sang ayah mengajaknya untuk masuk bersama. Perlukah hari ini ia menyalahkan ayahnya? Ayahnya-lah yang membuat meeting mendadak hari ini, dan membuat rencananya berantakan. Beliau membuat meeting hanya bertujuan untuk mengetahui perkembangan perusahaannya yang kini dikelola oleh anaknya.

 

Anio. Jangan menyalahkan ayahmu sendiri. Dia tidak tahu apa-apa. Kaulah yang harus menyelesaikannya sendiri, batin Sungmin sembari meredakan emosinya.

 

“Ah, Appa! Chakkaman!” panggilnya.

 

“Kenapa?”

 

“Ah…tidak…tidak ada apa-apa…” Sungmin mengutuk dirinya sendiri, ia tidak bisa mengatakannya secara langsung pada ayahnya. Ditambah dengan melihat wajah bijak ayahnya juga para karyawan yang sudah berkumpul ruang meeting semakin membuatnya mengurungkan niat untuk tidak ikut rapat dan pergi sesegera mungkin ke sekolah Min Young.

 

Sungmin melihat arah jarum jam yang terlihat di arloji miliknya. Acara sudah dimulai. Pria itu hanya bisa berdoa agar meeting dapat selesai dengan cepat dan ia sampai tepat waktu di sekolah Min Young.

 

*

 

“Min Young-ah, sebentar lagi giliranmu! Ayo bersiap-siap!” Guru kelas Min Young memanggil gadis itu yang tengah duduk bersama Hyun Ki di barisan bangku para orangtua murid dan anak-anaknya.

 

Gadis kecil itu hanya diam dan melemparkan pandangan kearah Hyun Ki. Memandangnya dengan wajah sendu. Matilah kau, Lee Sungmin, batin Hyun Ki. Hyun Ki beranjak dari duduknya, mengajak staff itu berbicara berdua mengenai suaminya yang tak kunjung datang sampai sekarang dengan sesekali melirik kearah Min Young yang terus-terusan menunduk dan sama sekali tidak berniat untuk menonton penampilan teman-temannya bersama sang ayah.

 

“Jwesonghamnida, Songsaenim. Min Young Appa…belum datang sampai sekarang, jadi bagaimana?”

 

“Tidak apa-apa, Nyonya. Sambil menunggu ayahnya bagaimana kalau Min Young tetap pergi ke backstage untuk bersiap-siap?”

 

“Ah…baiklah,” ragu-ragu Hyun Ki kembali ke tempat asalnya. Wanita itu berjongkok di samping Min Young, tersenyum tipis memperhatikan garis wajah polos milik anaknya yang kini berubah sendu sembari memandangi lantai marmer di bawahnya.

 

“Youngie-ya~ kata Songsaenim kita harus ke backstage sekarang. Sebentar lagi penampilanmu. Kajja!” Hyun Ki mengusap-usap puncak kepala Min Young. Bukannya menurut, gadis itu justru menyandarkan tubuh mungilnya di kursi, mulai meremas ujung white-dress yang dikenakannya juga menggoyang-goyangkan kedua kaki kecilnya.

 

“Appa…tidak datang…” gumamnya kecil bahkan hampir tidak terdengar karena tertelan suara musik lagu anak-anak yang terlalu mendominasi di seluruh penjuru ruangan.

 

“Anio~ Appa datang, Sayang. Kita akan menunggu Appa di backstage. Ada Yun Jae di sana dan kau bisa bermain dengannya sambil menunggu Appa. Ne?” Min Young mengangguk pelan. Gadis itu turun dari bangkunya lalu meraih tangan Hyun Ki yang mengajaknya untuk bergandengan.

 

*

 

Min Young semakin menunduk, penampilannya sengaja diubah menjadi penampilan terakhir sembari menunggu Sungmin datang. Hyun Ki yang duduk di sebelahnya terus menerus mencoba untuk menghubungi Sungmin namun tidak ada jawaban. Tidak aktif. Pria itu benar-benar…rutuknya dalam hati.

 

Gadis kecil itu sedang menahan tangisnya, air mata yang keluar buru-buru dihapusnya dengan kasar. Kalau begitu sejak awal lebih baik ia tidak datang ke sekolah dan berdiam diri saja dirumah daripada berada di tempat ini, menunggu sang ayah yang tidak tahu kapan datang. Disisi lain Hyun Ki memandang iba gadis kecilnya itu. Kekecewaan Min Young kali benar-benar tidak bisa ditoleransi lagi, bisa-bisa hubungan ayah dan anak tersebut bisa makin renggang dan anak ini bisa saja tidak mau bicara lagi dengan ayahnya. Astaga, demi Tuhan Hyun Ki tidak tahu harus bagaimana lagi.

 

Hyun Ki berdiri, berhadapan dengan Min Young yang masih duduk dalam keadaan menundukkan kepalanya. Wanita itu berjongkok, memandang gadis itu dalam-dalam dengan sinar mata menenangkan.

 

“Youngie-ya~ uljima…” gumam Hyun Ki pelan dan lembut.

 

“Eomma…aku…tidak mau tampil…”

 

“Anio, Sayang. Kau harus tampil. Bagaimana kalau Youngie tampil bersama Eomma? Eomma bisa menggantikan Appa di atas panggung jadi kau tetap bisa tampil seperti semua teman-temanmu. Ya?” Min Young menggeleng, tangannya semakin meremas ujung white-dress. Jauh lebih kasar dari sebelumnya.

 

“Tidak mau…aku tidak mau tampil…Appa…jahat…” Min Young bicara dengan suara bergetar membuat sang ibu turut merasa bersalah karena tidak bisa berbuat apa-apa untuk gadis kecilnya.

 

“Sayang, sini peluk Eomma.” Hyun Ki merentangkan kedua tangannya hangat. Gadis itu turun dari bangkunya lalu memeluk Hyun Ki dengan erat. Menangis.

 

“Youngie-ya~” suara laki-laki kecil sontak membuat Hyun Ki menoleh. Yun Jae tengah berlari kecil menuju kearahnya lalu memandang gadis kecil yang tengah menangis itu dengan polos.

 

“Hyunnie-ya? Youngie kenapa?” Hyuk Jae –ayah Yun Jae –yang kebetulan sedang bersama Yun Jae bertanya pada Hyun Ki.

 

“Ini semua karena Hyung-mu…” gumam Hyun Ki sinis.

 

“Mwo? Sungmin Hyung?”

 

“Siapa lagi kalau bukan dia…”

 

“Youngie-ya, bukannya setelah ini kau tampil?” tanya Yun Jae pada Min Young yang masih sesenggukan dipelukan ibunya. “Aku tidak mau…aku mau pulang…Appa tidak datang…”

 

“Youngie-ya…kau bisa meminjam Appa-ku jika kau ingin tampil…” jawab Yun Jae polos hingga membuat Hyuk Jae melotot. Entah polos atau bagaimana, perkataan Yun Jae termasuk kedalam perkataan yang tidak mengenakkan untuk gadis polos seperti Min Young.

 

“Lee Yun Jae! Jangan berkata seperti itu…” Hyuk Jae berkata tegas.

 

“Tidak mau…aku mau Appa…” Jawab Min Young disela isakkannya.

 

Hyun Ki bangkit berdiri, menggendong Min Young sembari mengusap-usap punggung kecil miliknya dengan hangat. Berusaha untuk menenangkan sang anak agar tangisannya reda. Sementara itu Min Young masih sesenggukan, memeluk leher ibunya dengan kepala yang ditopangkan di atas bahu Hyun Ki. Wajah dan matanya masih memerah.

 

“Youngie-ya~ bagaimana kalau Youngie bermain dengan Hyuk Jae Ahjussi? Kita juga bermain bersama Yun Jae. Supaya Youngie tidak menangis lagi,” Hyuk Jae mengelus puncak kepala Min Young, mengajaknya untuk bermain bersama. Namun lagi-lagi Min Young hanya menggeleng dan terus menangis.

 

“Youngie-ya~ Hyuk Ahjussi dan Yun Jae mengajakmu bermain. Kau tidak mau? Atau Youngie mau bermain dengan Eomma?” Min Young tetap menggeleng. Hyun Ki mendesah pelan.

 

“Youngie hanya mau Appa-nya bukan yang lain,” gumam Hyun Ki.

 

“Dia bukan anakku, tapi aku merasa aku juga ikut repot dan merasa bersalah karena pria itu,” decak Hyuk Jae. Hyun Ki mengangkat bahunya dan kembali berusaha menenangkan anaknya.

 

*

 

Sungmin bergegas keluar dari mobilnya kemudian berlari cepat mencari letak aula. Sebentar lagi acara akan segera selesai. Astaga, bagaimana keadaan anaknya…ia harus cepat.

 

Pria itu bernafas lega saat menemukan sebuah gedung berukuran cukup besar dengan spanduk bertuliskan ‘Acara Peringatan Hari Ayah’ di atasnya. Sungmin kembali memacu kecepatannya, terus berlari seperti orang kesetanan untuk mencari Min Youngnya. Di pintu depan, ia bertemu guru yang ia ketahui adalah guru kelas Min Young.

 

“Songsaenim, annyeong haseyo.” Sungmin membungkukkan badannya sopan.

 

“O, Min Young Appa! Akhirnya Anda datang!” serunya dengan wajah berseri-seri.

 

“Jwesonghamnida, saya datang terlambat. Dimana Min Young?”

 

“Oh, Min Young ada di backstage bersama Eomma-nya. Mari saya antarkan!”

 

*

 

“Youngie-ya~ uljima…” Hyun Ki terus menepuk-nepuk punggung kecil Min Young. Entah sudah berapa lama gadis kecil itu menangis dipelukannya. Hyun Ki memandangi jam yang terpasang di dinding backstage. Tinggal beberapa menit lagi acara selesai, dan sampai sekarang suaminya masih belum datang. Karena sibuk menenangkan Min Young, bahkan Hyun Ki tidak tahu di mana Min Ji dan Hae Mi sekarang. Ah, mungkin sedang berada di luar.

 

“Youngie-ya!!” Hyun Ki menoleh. Matanya melebar ketika melihat Sungmin berjalan masuk kedalam backstage bersama guru Min Young. “Oppa!”

 

Sungmin berjongkok dihadapan Hyun Ki, tangannya meraih tubuh kecil Min Young. “Youngie-ya~ ini Appa, Sayang…”

 

Min Young memutar kepalanya, memperlihatkan wajah sembabnya pada ayahnya. “Aigoo~ anak Appa sedang menangis rupanya.” Sungmin menarik tubuh kecil gadis kecilnya lalu menggendongnya kuat. Pria itu mencium pipi Min Young lalu kembali mengusap-usap punggungnya. Gadis itu kembali menangis. Bukan karena kesal atau sedih, melainkan senang karena Appanya sudah datang dan kini menggendongnya.

 

“Maafkan Appa, Sayang. Appa salah karena terlambat. Youngie masih mau tampil dengan Appa ‘kan?” tanya Sungmin lembut. Gadis itu mengusap air matanya lalu mengangguk. Sungmin tersenyum.

 

“Youngie sekarang harus tersenyum kalau ingin tampil dan jangan menangis lagi, arrachi?” Hyun Ki mengusap wajah Min Young yang basah, menghapus air mata bening milik anaknya yang masih terus keluar. Gadis kecil itu tersenyum manis dan kembali mengangguk.

 

“Kalau begitu Min Young dan Min Young Appa harus bersiap-siap sekarang. Mari saya antar!”

 

“Oppa, aku akan kembali ke bangku penonton, aku akan merekam penampilan berdua!”

 

“Ne. Kajja, Youngie-ya!”

 

*

 

“Gom sema-ri-ga, han chi-be-yi-so, appa gom omma gom ae-gi gom, appa gommun tung-tung-hae, omma gommun nal-shin-hae, ae-gi gommun na bul-gwi-yo-wo, hishuk hishuk cha-rhan-da…” Gadis kecil itu bergerak lincah di atas panggung tampil bersama ayahnya sambil menyanyikan lagu ‘Gom Se Mari’. Sambil tertawa kecil, Hyun Ki merekam dari awal sampai akhir penampilan kedua orang anggota keluarga kecilnya tersebut.

Wajah Min Young…benar-benar terlihat senang saat tampil bersama ayahnya, begitupun sang ayah. Pria itu tidak merasa malu menari konyol sesuai dengan lagunya karena ada gadis kecil tersebut di samping. Tidakkah Hyun Ki bahagia melihat sebuah kehangatan yang terpancar dari kedua orang itu di atas panggung?

Begitu selesai, riuh tepuk tangan mulai memenuhi seluruh isi ruangan. Hyun Ki pun turut bertepuk tangan untuk mereka dan tak lupa memberi acungan jempol kepada keduanya yang kini tengah tersenyum lebar.

Sungmin mengecup pipi Min Young kembali. Gadis kecilnya tersenyum lalu menghadiahi sebuah pelukan kecil darinya untuk Sungmin. Erat dan hangat.

*

“Youngie-ya~ bagaimana perasaanmu setelah tampil bersama Appa, Sayang?” Hyun Ki bertanya pada Min Young yang berada di gendongan Sungmin. Min Young diam sejenak, memalingkan wajahnya kearah Sungmin sekilas lalu kembali kearah Hyun Ki.

“Ng!” Gadis itu mengangguk singkat sambil tersenyum. “Aigoo~ neomu kyeowo~” Gemas, Hyun Ki mencubit salah satu pipi Min Young dengan tangan yang bebas –sementara tangannya yang lain menggendong Min Ji.

“Appa…ini…” Setangkai bunga carnation pink digenggamnya diberikan untuk sang ayah. Melambangkan betapa gadis kecil itu sangat menyayangi ayahnya dan berterima kasih pada ayahnya karena telah datang dan tampil bersama.

Sebelum pulang bersama kedua orangtua juga adiknya, Min Young sempat pergi sebentar menemui gurunya. Ia meminta bantuan gurunya untuk mencari sebuah carnation pink yang ingin ia berikan kepada ayahnya. Karena telah dipersiapkan oleh sang guru di sebuah tempat, Min Young mengambil setangkai bunga carnation tersebut dan kemudian dibawanya.

“Ini buat Appa?” tanya Sungmin. Min Young mengangguk. Sungmin tersenyum lalu mengambil bunga tersebut dari tangan Min Young. “Bunganya bagus sekali, Sayang. Terima kasih.” Sungmin mengacak-acak poni halus milik anaknya.

Min Young kembali tersenyum, juga kembali memeluk ayahnya dengan erat. “Gomawo, Appa. Youngie sayang Appa.”

*

Lyrics Translation

Once there were three bears
who lived in a cottage
Papa Bear
Mama Bear
Baby Bear
Papa Bear was chubby and fat
Mama Bear was slender and tall
Baby Bear was the cutest one of all
That’s because he was so small

*