Oneshot: Forgiven
Note : There is no correlation with Sung-Ki Moment. This is another story with the same characters. Happy reading!
Lee Sungmin
Aku memarkirkan mobilku di sebuah tempat parkir kecil di sebelah gedung berukuran tidak terlalu besar tersebut di pagi menjelang siang ini. Aku menarik napas dalam-dalam, menghirup aroma udara pertengahan musim gugur yang bercampur dengan sekelebat aroma daun maple gugur yang beterbangan sesuai dengan pergerakan angin. Kuamati gedung itu dengan seksama, menelusuri dinding gedung yang sudah mulai mengelupas karena termakan waktu, namun tetap berdiri kokoh di pinggir kota.
Dengan tangan sibuk menenteng sekardus ramyeon yang baru saja kuambil dari bagasi mobilku, kakiku melangkah santai menuju pintu masuk Dongjak-gu Vocational Training Center tersebut. Mataku yang terus menatap kesekeliling penjuru gedung, menangkap pemandangan sebuah taman kecil manis yang berada di sekitar wilayah gedung. Melihat taman tersebut, membuatku menyusun rencana kecil-mendadak bagi para anak yang dirawat di sini. Bukan hal yang menarik, namun kurasa bisa menghibur. Yah, kau tahu sendiri apa hobiku. Bermain gitar atau menyanyi, oh jangan lupa mungkin mengadakan permainan kecil-kecilan yang kupikir tidak akan membuat mereka bosan dan berdiam diri saja.
Ini sudah merupakan tahun kelimaku bekerja sebagai relawan di sini. Membantu para perawat atau sekedar memberika sumbangan lalu mengajak mengobrol juga bermain para pasien yang mulai dari anak-anak sampai lansia. Aku telah menjadi relawan di sini semejak aku masih berada di bangku sekolah sampai sekarang, di mana aku menjadi bagian dari sebuah keluarga yang bernama ‘Super Junior’. Tidak hanya aku saja yang menjadi relawan di sini, bahkan teman-temanku dan juga beberapa penggemarku –terdengar kurang enak jika aku menyebutnya ‘penggemarku’ –menjadi relawan di sini walaupun hanya sekedar menyumbang.
Semenjak jadwal kerjaku semakin memadat dan menguras banyak tenagaku di umur 27 tahun, membuatku tidak bisa sesering dulu lagi mengunjungi Vocational Training Center ini. Bahkan aku ingat terakhir kali aku menginjakkan kakiku di sini yaitu bersama Eomma sekitar empat bulan yang lalu, dan itupun aku harus pergi duluan karena ada jadwal kerja yang tidak bisa kutolak. Dan hari ini –sengaja kukosongkan jadwal kerja –aku datang kesini untuk memberikan sumbangan dari keluargaku. Bukannya pamer, hanya sekedar informasi, keluargaku menyumbangkan beras juga ramyeon ke tempat ini setiap sebulan sekali, termasuk juga teman-teman dan penggemarku.
Karena Eomma, Appa, ataupun dongsaengku Sung Jin tidak dapat datang, aku menawarkan diri dengan senang hati untuk menggantikan mereka dan berencana untuk menghabiskan waktuku di sini bersama mereka. Para pasien…penyandang cacat yang membutuhkan sebuah pelatihan khusus di sini.
“Annyeong haseyo!” Sapaku pada seorang perawat yang sudah sangat kukenal. Seorang wanita paruh baya bersenyum hangat, tetap terlihat awet muda walaupun gurat-gurat keriput mulai menghiasi wajahnya.
“O, annyeong haseyo, Sungmin-ah! Aigo~ sudah lama sekali aku tidak melihatmu datang kesini!” ujarnya antusias.
“Ne, jadwal kerjaku terlalu padat sehingga aku tidak bisa menyempatkan diri untuk datang.”
“Seperti biasa, membawa beberapa karung beras dan kardus ramyeon?” aku tertawa renyah, beliau tidak perlu bertanya apa maksudku atau aku memberitahu apa maksudku untuk datang. Beliau sudah tahu.
“Ne. Eomma tidak bisa datang karena ada acara keluarga,”
“Oh, sayang sekali. Banyak sekali yang ingin kuceritakan padanya.” Aku tersenyum. Aku tahu kalau mereka merupakan teman dekat semasa sekolah sampai sekarang, wajar jika beliau kecewa begitu tahu Eomma tidak datang. Kalian harus tahu, setiap Eomma dan aku datang, aku pasti akan menjadi orang ‘terbuang’ –atau lebih halusnya ‘tersisihkan’ –karena mereka terlalu tenggelam dengan topik pembicaraan. Seperti biasa, aktivitas para wanita diwaktu senggang ataupun tidak. Bergosip. Tentang apapun.
“Kau bisa mengunjungi rumah kami kapanpun kau mau, kapan saja, itupun kalau teman bergosipmu –Eomma –ada dirumah.” Wanita bersanggul rendah itu tertawa mendengar leluconku. “Kau bisa saja, Sungmin-ah. Lain kali ajaklah teman satu grup-mu untuk datang kesini, aku yakin para pasien di sini akan terhibur dengan kalian.”
“Kuusahakan kami bisa datang bersama-sama, Ahjumma. Ah, iya apa anak-anak ada di ruangannya?” Aku bertanya mengenai pasien anak-anak, teman-teman kecilku yang sudah lama tak kutemui dalam beberapa bulan terakhir. Aku suka anak-anak, bermain dengan mereka merupakan salah satu hal favoritku. Tidak peduli apakah mereka –maaf –cacat atau normal, aku tetap menikmati waktuku bersama anak-anak. Mereka menyenangkan.
“Oh, mereka ada di taman. Bersama beberapa orang relawan dari SNU –Seoul National University.” Jawab Han Ahjumma –begitu aku memanggilnya. Relawan dari SNU? Ah, pantas saja aku sempat menangkap sebuah mobil asing yang datang.
“Relawan lain?”
“Ne, satu orang relawan baru yang sering mengunjungi tempat ini mengajak beberapa temannya untuk menjadi pekerja sukarela sampai siang.”
“Relawan baru? Nugu?” Aku penasaran.
“Seorang gadis, kau bisa melihatnya di taman kalau kau mau. Sekedar informasi untuk kau yang belum memiliki pacar sama sekali di umurmu yang sudah menginjak 27 tahun ini, dia gadis yang baik dan cantik. Dia juga menyenangkan, aku yakin kau akan suka jika kau mengenalnya.” Aku menyipitkan mata, memandang intens Han Ahjumma yang tidak ada bedanya dengan seorang ibu yang sedang memperkenalkan calon pendamping hidup pada anaknya.
“Dan sekedar informasi untuk Ahjumma, aku datang kesini untuk bermain bersama anak-anak bukan untuk mencari jodoh.” Han Ahjumma tergelak. Aku melangkah semakin masuk kedalam gedung dan meninggalkan resepsionis tempat Han Ahjumma menghabiskan waktunya setiap hari selama tidak ada kerjaan. Aku sangat tahu seluk beluk tempat ini, tanpa perlu melihat kearah papan penunjuk arah, kakiku akan melangkah dengan sendirinya ke tempat yang ingin kutuju sesuai dengan perintah otakku. Taman.
Aku bersembunyi di balik pintu berdaun dua yang menghubungkan bagian dalam Vocational Training Center dengan lorong yang di kelilingi oleh taman. Ya, aku menangkap sekitar lima orang mahasiswa –tiga orang gadis dan dua orang laki-laki –memakai almamater SNU sedang bermain bersama para anak. Mereka terlihat sangat bersenang-senang, bisa kulihat dari pancara mata bahagia mereka.
Sontak aku langsung bersembunyi di balik dinding ketika melihat kelima mahasiswa tersebut menuju kearah dalam gedung. Empat mahasiswa berpamitan pada seorang gadis bertubuh mungil lalu pergi meninggalkan gedung ini. Biar kutebak, gadis bertubuh mungil itu adalah relawan baru dan keempat mahasiswa itu adalah teman-teman yang diajaknya.
Gadis itu kembali ke tempatnya, kembali menemani para anak untuk mengobrol sambil menggambar di sebuah buku gambar berukuran kecil. Tiba-tiba aku tergerak untuk pergi ke taman dan mengajaknya…yah, sekedar berkenalan dan mengobrol. Gadis itu sama denganku bukan? Bekerja sebagai relawan di sini. Apa salahnya untuk mengenal?
Aku tersenyum pada para anak yang menyadari kehadiranku, namun tidak dengan gadis itu. Gadis itu tenggelam di buku sketsanya, melakukan hal yang sama seperti anak-anak yang lain. Menggambar sesuatu. Bahkan disaat aku sudah berdiri di hadapannya yang masih duduk santai di bawah pohon maple, dia masih tidak menyadari kehadiranku. Apa aku terlihat seperti makhluk tak kasat mata?
Aku berdeham singkat, dan gadis itu pun langsung mendongakkan kepalanya keatas. Kedua matanya terbelalak, oh ya aku tahu. Dia pasti sangat mengenaliku. Seorang laki-laki yang wajahnya sering terlihat menghiasi layar televisi. Bukan pamer, tapi memang seperti itulah kenyataannya. Gadis itu segera menaruh buku sketsanya di samping tubuhnya, lalu berdiri dan segera membungkukkan badan sopan.
“A-annyeong haseyo!” sapanya dengan suara lembut yang terdengar gugup. Aku hanya bisa tersenyum saat melihat paras wajah malu-malunya begitu melihatku.
“Annyeong haseyo. Ah, ya kau tidak perlu bersikap sesopan itu padaku.” Bibir tipisnya membentuk sebuah lekukan senyuman. Manis. Dan satu hal yang baru kusadari, aku sempat terbius dengan pancaran sinar mata milik gadis tersebut. Bola mata coklat hazel itu seperti menyihirku. Membuatku tidak ingin berpaling dari hal lain dan tetap menatap matanya yang menurutku sangat cantik.
“Namaku Lee Sungmin. Siapa namamu?” tanyaku dengan nada sedikit terbata-bata. Malu karena sejak tadi aku terus memandangnya dalam beberapa waktu hingga membuatnya bertanya ‘kenapa?’.
“Hyun Ki. Namaku Choi Hyun Ki.”
Kami berkenalan. Dan satu hal yang pasti, perkenalan kami tidak berakhir sampai di sini.
*
Choi Hyun Ki.
Nama yang manis. Menurutku. Dan seperti apa yang Han Ahjumma katakan, gadis itu memang gadis yang cukup menyenangkan. Kami memiliki beberapa kesukaan yang sama. Musim gugur, hari Jum’at, musik, anak-anak, juga wahana permainan yang menantang adrenalin. Lain kali dia akan kuajak untuk menghabiskan waktu bersama sambil melakukan kegiatan yang merupakan favorit kami berdua. Itupun jika dia tidak takut dengan ancaman para ELF.
Di saat waktu senggang, walaupun hanya memiliki beberapa jam sebelum kerja, aku menyempatkan diri untuk datang. Kali ini, alasanku untuk datang ke sini bukan hanya untuk bermain bersama anak-anak juga mengobrol dengan para lansia. Alasanku yang lain, tentu saja Hyun Ki. Gadis berumur tujuh tahun lebih muda dariku yang merupakan mahasiswa SNU di tingkat kedua. Gadis dengan bola mata hazel yang dapat membuat siapapun tersihir jika melihat kedua matanya. Jika kau melihatnya, kau seperti merasakan ada sesuatu yang menarikmu untuk segera mendekat. Perlahan demi perlahan kearahnya, tanpa mau melepaskan diri dari tarikan tersebut.
Usai menghabiskan waktu bersama di Dongjak-gu Vocational Training Center sepanjang hari, sore ini aku mengajak Hyun Ki pergi ke Kona Beans. Entahlah, aku merasa ingin mengenalkannya pada Eomma, dan aku yakin Eomma akan menilai gadis itu dengan pandangan yang sama denganku. Menyenangkan.
Tebakkanku benar. Lihatlah sekarang. Mereka –Eomma dan Hyun Ki –tidak ada ubahnya seperti sepasang sahabat yang sudah mengenal beberapa puluh tahun yang lalu. Aku yang duduk di meja yang menurutku sebuah tempat paling strategis karena bersebelahan dengan jendela, memperhatikan dengan senyum. Mereka merasa cocok satu sama lain. Hyun Ki dengan senang hati membantu Eomma untuk melayani beberapa pelanggan yang sebagian besar adalah ELF. Kurasa mereka terkejut dan cukup heran melihat gadis yang tak pernah mereka lihat sebelumnya itu. Aku bahkan bisa mendengar bisik-bisik mereka dari sini saat berjalan keluar cafe dan sedikit menyunggingkan senyum padaku. Bertanya-tanya siapa gadis itu dan apa hubunganku juga Eomma dengannya.
Kupikir ini bisa menjadi topik hangat para ELF dan mereka akan menyerbuku dengan serentetan pertanyaan yang memiliki satu maksud. Siapa gadis itu. Yang jelas, dia bukan pacarku. Hanya teman sesama relawan yang kebetulan memiliki kesamaan.
Aku memandang sebuah mug bertuliskan ‘Kona Beans’ berisikan sebuah cappucino hangat dengan asap mengepul di atas meja. Kudongakkan kepalaku keatas. Gadis itu sudah berdiri di sampingku sambil tersenyum simpul. Dia yang membawakan cappucino itu untukku.
“Melamun?” tanyanya singkat. Aku mengangkat bahu sekilas. “Seperti yang kau lihat.”
Hyun Ki tertawa. Gadis itu menarik kursi yang ada dihadapanku lalu duduk di atasnya dengan santai. Ia membawa dua mug berisi cappucino, satu untukku dan satunya lagi tentu saja untuknya. Aku memandanginya intens saat ia mulai menyeruput cappucino-nya pelan. Begitu sadar jika sedari tadi terus kupandang, gadis itu memandangku aneh. Kedua alisnya terangkat.
“Apa yang kau lihat? Cepatlah kau minum sebelum cappucino-mu mendingin. Itu buatanku dan kau harus tahu, tidak ada satupun orang –termasuk keluargaku –mengatakan kalau cappucino buatanku itu tidak enak.” Ujarnya sembari menggeser mug itu mendekat kearahku. Aku menertawakannya. Bukan. Bukan karena perkataannya yang terkesan sangat besar kepala atau percaya diri itu, tapi karena busa cappucino yang menempel di bibir atas sampai ke bagian philtrum-nya.
“Kenapa kau tertawa? Memangnya ada yang lucu?” tanya sekali lagi. Aku tidak menjawab, justru tetap tertawa. Aku mengambil sehelas tissue yang tersedia di meja yang kami tempati. Aku memajukan badanku agar tanganku dapat meraih wajahnya. Dengan tissue yang kupegang, aku menghapus sisa busa cappucino yang menempel di wajahnya. Kuusap pelan dan kupastikan tak ada yang bersisa.
Aku lihat gadis itu terdiam. Silih berganti memandangku juga memandang tanganku yang masih sibuk mengusap wajahnya. Saat ia memandangku, aku merasakan sensasi aneh di dalam diriku. Seperti ada kupu-kupu yang beterbang di dalam perutku, seperti ada sebuah dentuman keras di dadaku. Aneh, tapi menyenangkan jika dirasa. Dan sensasi tak biasa ini sudah kurasakan sejak aku semakin sering menghabiskan waktu dengannya.
“Maaf, aku terlalu refleks membersihkan busa cappucino di wajahmu.” Aku mulai salah tingkah. Alih-alih takut jika Hyun Ki tidak suka perlakuanku.
Berbanding terbalik dengan apa yang kupikirkan. Gadis itu sama sekali tidak merasa risih ataupun marah. Ia justru malah memasang wajah tak kalah gugup denganku. Dan yang tertangkap di mataku sekarang, wajahnya mulai bersemu merah di balik kulitnya yang putih halus seperti pualam. Malu.
“Anio~ tidak apa-apa…” gumamnya.
Kami sempat tak berbicara selama beberapa menit. Masih merasa gugup dan malu dengan apa yang terjadi tadi. Tidak special memang, hanya hal kecil. Tapi bagiku, hal sekecil apapun yang dilakukan, baik yang terlihat ataupun tidak terlihat, kadang bisa memberikan dampak besar.
Beberapa menit kemudian, aku memberanikan diri untuk membuka mulut. Bertanya sesuatu yang belum sempat kutanyakan padanya.
“Hyun Ki-ya, boleh aku bertanya padamu?” tanyaku ragu-ragu. Gadis itu memandangku polos. “Tentu saja boleh.”
“Kenapa kau ingin menjadi relawan? Di umur 20 tahun sepertimu harusnya kau lebih memilih menghabiskan waktu untuk bersenang-senang dengan teman sebayamu.” Ujarku, berhipotesa. Memang benar ‘kan? Sebagian gadis yang berumur sama sepertinya, lebih senang berjalan-jalan, menghabiskan waktu bersama teman sebaya, atau mengikui berbagai macam kegiatan di kampus. Umur 20 tahun, merupakan sebuah umur di mana kau merasa bahwa kau sekarang menjadi seseorang yang lebih dewasa. Membuat rencana yang menyenangkan, bebas melakukan apa saja karena kau bukanlah anak kecil yang masih terikat dengan orang tua karena mereka berpikir bahwa kau sudah bisa memilih apa yang terbaik atau terburuk untuk kehidupanmu.
Gadis itu tersenyum mendengar pernyataanku. Bukan senyum manis dan menyenangkan yang sudah biasa kulihat. Kali ini senyuman yang menurut terkesan…menyedihkan. “Oppa pikir…gadis berusia 20 tahun sepertiku ini tidak cocok menjadi seorang relawan?”
“O? Bukan begitu! Aku hanya bertanya alasanmu kenapa kau ingin menjadi relawan…” aku mengoreksi pertanyaanku yang ia pikir aku seperti meragukannya.
Hyun Ki kembali terdiam, ia memilih untuk menyeruput cappucino-nya yang mulai mendingin. Kemudian ia memangkukan wajahnya dengan salah satu tangan lalu melempar pandangannya kearah jendela.
“Alasanku menjadi relawan di sana adalah…adikku.”
*
Kini kami duduk bersisian, di sebuah bangku taman kosong tepat di bawah pohon maple berdaun kuning kecoklatan. Mungkin sebentar lagi satu per satu daun akan gugur menghujani kami berdua seperti guguran daun-daun sebelumnya. Kami memilih tempat ini karena jaraknya yang jauh dari pusat kota dan termasuk kedalam kawasan yang tidak ramai walaupun aku harus siap siaga memakai topi, masker, dan syal sebagai alat penyamaranku. Aku tidak mau gadis ini mendapat masalah besar karena tertangkap basah bersamaku dan aku tidak mau dia mati konyol ditangan para ELF.
Gadis itu, Choi Hyun Ki, memandangku dengan sendu. Bukan lagi dengan ekspresi segar dan ceria seperti biasa yang sering ia tunjukkan padaku. Ia menampilkan sisi lain seorang Choi Hyun Ki yang belum kuketahui. Sebuah sisi yang kurasa membuatnya terlihat terbebani akan sesuatu.
“Aku tidak pernah menceritakan alasanku ini sebelumnya pada semua orang, termasuk teman-teman terdekatku juga keluargaku.” Gumamnya pelan. Aku begitu terkejut mendengar pengakuannya. Rasanya tidak enak sama sekali, meminta seseorang untuk mengatakan sebuah alasan yang sebenarnya tidak pernah diketahui oleh orang lain.
“Benarkah? Ka-kalau begitu, kau tidak perlu mengatakannya padaku. Kupikir itu adalah privasimu dan aku tidak berhak tahu, lebih baik kita bicarakan hal lain saja.” Aku menarik kembali kata-kataku sebelumnya yang ingin tahu alasannya. Tidak ingin membuatnya merasa berat hati karena harus memberitahu pria yang sama sekali tidak mempunyai hubungan apapun dengannya.
Tiba-tiba gadis itu menggeleng pelan. Lagi-lagi tersenyum, walaupun bukan menampilkan senyum yang kusuka. Mata hazelnya memperlihatkan sinar kesedihan yang mendalam. Menyesal. “Aku…memutuskan untuk memberitahukan ini padamu. Karena kupikir kau adalah pria yang dapat kupercaya.”
Aku terdiam. Lantas, aku menggeser badanku semakin mendekati Hyun Ki hingga lengan kami yang berbalut mantel menempel satu sama lain. Bahkan saat angin berhembus, aku bisa mencium aroma parfum yang dipakainya. Tidak menyengat dan menusuk hidung seperti parfum yang dipakai oleh para gadis saat aku masih kuliah. Sungguh menyengat, dan hampir membuatku mati keracunan. Wangi ini justru membuatku nyaman.
“Kalau kau mempercayaiku…ceritakanlah padaku, aku siap mendengarkan. Kau tahu, aku termasuk tipikal good-listener,” ujarku untuk mencairkan suasana.
“Ceritanya panjang, dan kupikir kau akan tertidur jika mendengarkannya,” dia terkekeh. “Taruhan denganku, kalau aku tidak tertidur atau mengantuk sedikitpun, kau harus mentraktirku makan.”
Gadis itu mulai bercerita dan aku sibuk mendengarkan, juga memperhatikan gurat-gurat wajah kesedihan miliknya dan mata hazelnya yang tetap terlihat bersinar.
“Aku mempunyai adik perempuan berumur 10 tahun dan dia…cacat.” Hyun Ki menggantungkan kalimatnya saat mengucapkan kata ‘cacat’. Terdengar berat di telingaku. “Dulu aku beranggapan jika seseorang memiliki anggota keluarga yang cacat, itu hanya akan menjadi aib keluarga, tidak berguna sama sekali. Aku tidak pernah terima kalau aku mempunyai adik yang cacat. Tidak bisa berbicara dan hanya mengerti perkataan orang dengan isyarat tangan. Walaupun begitu, Eomma dan Appa tetap sayang padanya. Dan kupikir kau pasti bisa menebak tentang aku. Aku membencinya, aku tidak suka mempunyai adik yang cacat. Memalukan.”
Aku tidak berkomentar, tetap mendengarkan ceritanya yang semakin lama semakin terdengar memilukan. “Aku ingin sekali dia enyah, lebih baik aku menjadi anak tunggal untuk selamanya daripada aku memiliki adik yang cacat. Itu membuatku semakin berpikiran jahat dan picik. Aku menjahatinya, mengabaikannya, tidak pernah mengakuinya sebagai adik disaat teman-temanku datang dan bertemu dengannya. Aku hanya bilang dia anak panti asuhan yang diadopsi oleh orangtuaku karena belas kasihan.”
“Aku selalu memarahinya, mencari-cari kesalahan agar orangtuaku berpihak padaku. Kebencianku terus berlanjut sampai pada saat hari ulang tahunku…” tubuhnya mulai bergetar, dan aku melihat bulir-bulir air mata mulai jatuh di atas pahanya. Ia menunduk, menyembunyikan kesedihannya dariku. Refleks tanganku mencoba menyentuh bahunya dan segera merangkulnya.
“Kalau kau tidak ingin menceritakannya, tidak usah. Aku tidak memaksamu untuk meneruskan…” aku menahannya, tapi justru dia malah menolaknya. Ia ingin terus bercerita padaku.
“Adikku memberikan sebuah hadiah untukku. Sebuah scrapbook yang ia buat dengan susah payah, dan aku tahu dia sepanjang malam membuatkan scrapbook itu khusus untukku, sebagai hadiah ulang tahunku ke 19…”
“Saat hari ulang tahunku, Eomma dan Appa pergi keluar negeri untuk bekerja, dan aku hanya bersama adikku dan pelayan-pelayan di rumahku saja. Disaat aku tengah meniup lilin kue ulang tahunku yang dibawa oleh pelayan, adikku datang dengan riangnya memberiku sebuah scrapbook yang menurutku sangat jelek dan berantakan. Lem berantakan, potongan kertas tak beraturan, bahkan ada noda darah yang kupikir adalah darahnya membuat scrapbook itu semakin jelek dimataku…”
“Hal yang semakin membuatku terlihat seperti orang jahat, aku membanting scrapbook itu dengan kasar dan aku menginjaknya, di depan mata adikku. Aku berkata kalau hadiahnya jelek, tidak ada gunanya. Adikku menangis dan langsung berlari keluar rumah dan aku masih masih keras kepala untuk tidak peduli. Aku justru merasa senang karena dia sudah enyah dari rumahku.” Menyedihkan, komentarku yang pertama.
“Dan kau tahu, Oppa…itu hari terakhir dimana aku melihat adikku…dia…saat itu…tertabrak mobil dengan kecepatan penuh dan dia meninggal di tempat…” gadis itu semakin menangis dan membuatku langsung memeluknya dengan segera. Mengusap-usap punggungnya pelan untuk menenangkannya yang tengah kalut karena masa lalunya.
“Aku merasa bersalah, aku merasa kalau akulah yang membuatnya tertabrak mobil dan meninggal. Aku berkali-kali meminta maaf pada orangtuaku. Appa memaafkanku tapi tidak Eommaku. Kini Eomma membenciku…dia tidak pernah mau menatap wajahku dan berbicara denganku, aku seakan seperti makhluk yang tidak terlihat di matanya. Karena itulah, untuk menebus kesalahanku, aku menjadi relawan di sana, bermain dengan mereka, anak-anak penyandang cacat yang sebaya dengan adikku…”
“Aku tahu, walaupun aku bertekad menjadi relawan seumur hidupku, aku tidak akan menebus kesalahanku sebagai seorang kakak yang jahat. Tapi setidaknya bisa mengobati lukaku karena terlalu menyesali kebodohan dan kehidupanku yang gamblang.” Kini Hyun Ki semakin terisak-isak dipelukanku. Aku mengerti perasaannya. Bagaimana rasanya hidup dibayangi oleh rasa penyesalan yang tak kunjung hilang. Setiap hari kau seperti memikul beban berat di setiap waktu, tidak akan berkurang atau justru malah semakin memberat.
“Bagaimana menurutmu? Aku tidak sebaik dan menyenangkan seperti yang kau kira, aku hanya seorang kakak yang jahat…” ujarnya di sela tangisannya.
“Kau tidak jahat, Hyun Ki-ya. Kau gadis yang baik. Aku tahu itu…”
“Aku…ingin Eomma seperti dulu. Aku ingin Eomma kembali menyayangiku…kau tahu, saat aku mengobrol bersama Eomma-mu di Kona Beans, aku merasa aku sudah lama tidak memiliki waktu sebahagia ini dengan Eomma-ku. Aku ingin semuanya kembali seperti semula…” Aku merenggangkan pelukanku padanya. Aku mengangkat wajahnya dan mengusap setiap bulir air mata yang keluar dari sudut matanya.
“Kau bisa merasakannya kembali. Katakanlah pada Eomma-mu apa yang kau rasakan sekarang, kau tetap anaknya dan seorang ibu harus tetap memperhatikan anaknya walau sebesar apapun kesalahan yang diperbuat. Kau pantas mendapatkannya kembali…”
*
From : Choi Hyun Ki
Aku akan melakukannya sekarang…
Oppa, doakan aku 🙂
Dan sukses untuk performance-mu! Fighting~^^
Di sela menunggu penampilan Super Junior yang merupakan urutan terakhir di salah satu acara musik ditelevisi, aku mendapat sebuah pesan singkat dari Hyun Ki. Aku tersenyum tipis saat membaca isi pesan singkat dari gadis itu. Dia akan melakukannya sekarang. Aku berharap jika kehidupannya akan baik-baik saja setelah semuanya selesai.
“Kenapa senyum-senyum seperti itu?” sontak aku mengangkat wajahku. Leeteuk Hyung sedang memandangku aneh saat melihatku tersenyum sendiri, memandangi layar ponselku. Aku hanya menggeleng pelan.
“Kau mulai menyembunyikan sesuatu padaku, baiklah…”
“Hahaha, kapan-kapan akan kuberitahu, Hyung!”
“Terserah kau saja, ayo bersiap-siap! Sebentar lagi giliran kita!” Leeteuk Hyung kembali bersama para member lain yang sedang berkumpul di sofa yang tak jauh dari tempatku duduk bersantai di depan meja rias. Untuk saat ini, aku tidak terlalu tertarik dengan percakapan mereka hingga berkumpul mengerubungi sofa layaknya para ibu yang baru saja mendapat gosip baru. Aku lebih tertarik pada gadis yang satu ini, menunggu kabar baik darinya. Tiba-tiba aku tergerak untuk membalas pesan singkatnya.
To : Hyun Ki
Setelah acara ini selesai, bagaimana kalau kita minum cappucino bersama di Kona Beans? Aku ingin meminum cappucino buatanmu. Cappucino buatanmu enak sekali~^^
*
Choi Hyun Ki
Usai mengirim pesan singkat pada Sungmin Oppa, aku menaruh ponselku rapi di atas meja belajar. Aku akan pergi ke kamar Eomma dan melakukan hal yang sudah seharusnya aku lakukan dari awal. Aku harus melakukannya demi hubunganku dengan Eomma. Aku ingin memperbaiki semuanya.
Aku pergi ke halaman belakang, tempat Eomma menghabiskan waktu sepanjang hari di sana jika tidak ada kegiatan. Seperti biasa, Eomma selalu duduk di kursi berbahan kayu mahoni favoritnya yang di letakkan tepat di depan halaman belakang. Tentu saja dengan foto adikku di tangannya. Kedua mata hazelnya –yang diwariskan olehku –memandang foto tersebut dengan nanar. Tangannya terus membelai sosok adikku dalam bingkai foto itu. Membuatku semakin merasa menyedihkan karena merasa Eomma hanya menangisi kepergian adikku saja selama setahun ini, tidak pernah berpaling padaku. Tidak ada perhatian apapun. Tidak peduli apakah aku sudah makan atau tidak, sakit atau sehat, tidak ada kalimat cemas seperti itu lagi yang kudengar. Dan aku sangat menginginkan kalimat itu terdengar lagi di telingaku.
Aku berjalan mendeketi Eomma. Aku berdiri di depan Eomma dengan wajah nanar. Baru berdiri beberapa detik saja di sini rasanya ingin menangis. Eomma tidak menatapku, hanya menatap bingkai foto adikku.
“Eomma…mianhae…” aku meminta maaf pada Eomma.
“Eomma…” aku terus memanggilnya tanpa henti, tidak menyerah sekalipun walaupun sama sekali tidak ditanggapi. Kedua lututku kemudian melemas, aku berlutut di depan Eomma, aku menangis. Meluapkan semua apa yang kurasakan sekarang.
“Eomma! Jebal! Lihat aku! Aku ada di sini! Kenapa Eomma tidak pernah mau melihatku selama ini! Anak Eomma bukan Hyun Rin saja! Aku juga anak Eomma! Aku butuh Eomma! Aku butuh kasih sayang Eomma! Aku ingin Eomma seperti dulu lagi…” aku terisak-isak di hadapannya.
Ajaib, Eomma menolehkan kepalanya kearahku. Menatapku tidak lagi dengan tatapan mata menyudutkan dan menyalahkanku atas kepergian Hyun Rin, adikku. Kali ini Eomma menatapku dengan getir, merasa bersalah begitu tahu bagaimana perasaanku yang selama ini tidak pernah kukeluarkan sedikitpun karena aku memilih untuk diam. Eomma meneteskan air mata. Kedua tangannya menyentuh wajahku, mengangkat wajahku lalu mengusap air mataku.
Mulut Eomma yang selalu terkatup rapat untukku seketika terbuka. “Maafkan Eomma, Sayang…”
*
Kakiku melangkah ringan, berjalan melewati kerumunan para pejalan kaki yang berlawanan arah denganku. Perasaanku yang sekarang…benar-benar tak dapat kudeskripsikan dengan mudah. Kalaupun di depanku ada kertas kosong untuk kutulis, kertas itu akan tetaplah menjadi sebuah kertas kosong, aku tidak akan menulis apapun. Karena sudah kubilang sebelumnya, aku tidak mendeskripsikan perasaanku saat ini.
Masih jelas teringat diotakku, bagaimana aku memandang wajah Eomma dengan sendu, berharap jika Eomma masih sudi untuk menatap kedua mataku walaupun hanya satu detik. Aku menangis di depan Eomma, mengatakan seluruh perasaanku juga emosiku yang turut membuncah, mengeluarkan apapun yang kurasakan selama setahun penuh ini. Memberitahukan bagaimana rasanya hidup selama setahun menjadi sosok tak kasat mata di depan orang yang melahirkanmu, orang yang membesarkanmu. Menjadi seorang gadis yang hidup tanpa kasih sayang dan perhatian seorang ibu yang jelas-jelas masih berada satu tempat denganmu. Cukup menyakitkan bukan?
Aku mengeluarkan semua, berteriak hingga suaraku habis. Meminta Eomma untuk kembali seperti dulu, kembali menganggapku ada, dan memperhatikanku. Aku berlaku seperti ini karena aku anak Eomma. Aku juga butuh kasih sayang dari Eomma-ku sendiri.
Sungmin Oppa…aku harus benar-benar berterima kasih padanya. Kalau saja aku tidak bercerita padanya dan dia tidak memberikan saran padaku, aku yakin aku tidak akan pernah merasa sesenang ini. Karena Sungmin Oppa, hubunganku dengan Eomma kembali membaik dan aku sangat bersyukur akan hal itu.
Pintu Kona Beans kubuka dengan cepat hingga gemerincing lonceng kecil yang tergantung di atas terdengar cukup keras dan mengejutkan Sungmin Oppa yang sedang terpaku dengan Ipad putihnya. Dengan senyum yang sejak tadi tak kunjung memudar, aku segera berlari kecil menuju tempatnya, menarik kursi lalu duduk di atasnya.
“Eottokhae? Berjalan baik?”
Aku tersenyum, memandangnya melalui mataku yang masih terlihat sangat bengkak sehabis menangis. Aku mengangguk pelan. “Ne, gomawo, Oppa…kau sangat membantu…”
“Syukurlah sekarang hubunganmu membaik dengan Eomma-mu, Hyun Ki-ya. Aku turut senang.” Sungmin Oppa tersenyum manis, ia meraih puncak kepalaku lalu mengacak-acak poni tipisku dengan lembut. Terkejut juga berdebar-debar hingga membuat wajahku bersemu merah. Hatiku pun berdesir hangat seiring dengan wajahku yang semakin memerah ketika melihat pria itu tersenyum di hadapanku.
“Ah, iya kau masih ‘kan kalau aku memintamu untuk membuatkan cappucino untukku? Aku sangat ingin meminumnya sekarang…”
“Arraseo, aku akan membuatnya dan kau harus membayarku dua kali lipat dari harga normal!” Aku terkekeh melihatnya membulatkan kedua mata. Aku meninggalkannya dan segera berlari menuju tempat Lee Ahjumma yang masih sibuk di depan kasir Kona Beans.
“Ya! Choi Hyun Ki! Kau tidak bisa melakukan hal itu padaku!!”
*
Lee Sungmin
Akhir dari musim gugur yang akan segera berganti ke musim semi. Perubahan cuaca yang cukup ekstrim membuat bulu kudukku merinding. Gemetaran begitu terkena udara dingin yang menyentuh kuat kulitku.
Hari ini, tepat dimana hari ulang tahun Hyun Ki ke-21 sekaligus peringatan kematian adiknya yang menginjak tahun kedua, ia mengajakku untuk pergi ke makam Choi Hyun Rin, adiknya. Kebetulan sekali aku tidak ada jadwal kerja sehingga aku dengan senang hati untuk ikut dengannya.
Kami tiba di sebuah nisan berukirkan nama ‘Choi Hyun Rin’ di atasnya. Aku masih tetap berdiri di tempatku, sedang Hyun Ki sudah lebih dulu berlutut dan menaruh bunga mawar putih di depan nisan adiknya. Dengan senyuman khas yang kini tidak lagi terlihat menyedihkan, ia berdoa sebentar. Mengaitkan seluruh jemarinya dalam satu kepalan lalu merapalkan doa, doa terbaik untuk kehidupan adiknya di dunia yang sama sekali berbeda dengan dunia kami sekarang.
Usai berdoa, ia kembali membuka matanya, dan kali ini ia mengajak ‘adiknya’ berbicara. “Hyun Rin-ah, mianhae Eonnie baru sempat datang kesini sekarang. Dan apa kau lihat siapa ada di belakangku sekarang? Dia Lee Sungmin Super Junior. Kau suka menonton Super Junior ‘kan di televisi? Sekarang dia ada di sini, dia datang untuk menemuimu.”
Aku hanya tersenyum mendengar perkataan Hyun Ki. Aku baru tahu kalau adiknya gemar menonton kami –Super Junior –di televisi.
“Hyun Rin-ah…kau harus tahu, aku dan Eomma kembali seperti dulu lagi, Sayang. Aku senang sekali, dan seandainya kau masih ada di sini…mungkin aku akan jauh merasa lebih lengkap…” Aku turut berjongkok di samping Hyun Ki. Alih-alih ia kembali lagi menangis, aku kembali menaruh tanganku di belakang punggungnya, dan sesekali mengusap punggung kecilnya berusaha memberi kekuatan.
“Hyun Rin-ah…maafkan aku kalau selama kau hidup aku tidak pernah berlaku baik padamu, aku selalu kasar dan menganggapmu sama sekali tidak berguna. Maafkan aku…justru akulah yang tidak berguna, aku hanya cerminan anak manja yang hanya bisa merepotkan orangtua…mianhae…” Persis seperti dugaanku, dia kembali menangis.
“Adikmu pasti akan memaafkanmu, karena dia terlalu sayang padamu. Seberapa banyak kesalahan yang kau torehkan pada adikmu, kau tetap kakaknya…” Hyun Ki membenamkan kepalanya dibahuku, mencengkram kerah mantelku kuat-kuat untuk menahan rasa sedihnya. Tidak banyak yang bisa kulakukan, aku hanya berusaha untuk menenangkannya.
Hyun Ki melepaskan cengkramannya di mantelku dan menjauhkan diri dariku. Ia mengusap air matanya lalu mencoba menarik napas dalam-dalam. Jauh terlihat lebih baik. “Aku…masih menyimpan scrapbook pemberianmu, Hyun Rin-ah. Aku selalu merawatnya dan akan selalu membukanya kalau aku sedang merindukanmu…I miss you so much, dongsaeng-ah…”
“Hyun Rin-ah…kalau saja kau masih ada di sini bersama kami, aku pasti akan mengajakmu jalan-jalan atau memberikan dua tiket konser gratis Super junior juga izin masuk backstage bersama kakakmu.” Aku berceletuk hingga membuat Hyun Ki tertawa. Tidak sampai disitu saja, tanpa sadar aku mengatakan hal itu tepat di depan Hyun Ki juga adiknya.
“Dan kalau saja kau masih ada di sini, aku ingin meminta izin padamu secara langsung kalau aku ingin kakakmu menjadi pacarku.” Tawa Hyun Ki terhenti, ia menoleh cepat dan memandangku dengan tatapan terkejutnya. Aku memandangnya serius dengan senyum mengembang di bibirku.
“Kau harus tahu, Hyun Rin-ah. Aku sangat menyukai kakakmu sejak aku mengenalnya lebih jauh. Kakakmu adalah gadis yang menyenangkan dan bisa membuatku merasa lebih nyaman saat aku bersamanya…kau mengizinkanku untuk memacari kakakmu, bukan?” aku memang terkesan seperti orang gila. Tapi aku yakin kalau Hyun Rin tengah mendengar perkataanku sekarang.
“Eottokhae, Hyun Rin-ah? Bagaimana menurutmu? Apa kakakmu akan menerimaku?” tanyaku enteng sembari memandang nisan Hyun Rin dengan penuh penasaran. Kulirik sebentar, Hyun Ki tersenyum sembari mendesah pelan. Tiba-tiba ia membuka mulutnya dan melakukan hal yang sama denganku.
“Hyun Rin-ah, katakan pada pria aneh di sampingku ini kalau aku akan menerimanya karena aku memiliki perasaan yang sama dengannya.”
*